Sebagian wilayah Indonesia diperkirakan memasuki musim kemarau lebih awal. Hal itu meningkatkan ancaman kebakaran lahan dan bencana kekeringan.
JAKARTA, KOMPAS—Sebanyak 25 persen zona musim di Indonesia diprediksi memasuki kemarau lebih awal sehingga perlu diantisipasi dampaknya terhadap berbagai sektor terkait. Meski beberapa hari terakhir terjadi hujan sehingga memicu banjir di sejumlah daerah di Jawa, tetapi Nusa Tenggara telah memasuki peralihan musim kemarau pada Maret ini.
Berikutnya, wilayah Bali dan Jawa akan memasuki musim kemarau pada April 2019, kemudian sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi pada Mei. Monsun Australia yang jadi pemicu musim kemarau dominan di wilayah Indonesia pada Juni hingga Agustus mendatang.
”Pembentukan gugusan awan di sebagian wilayah Indonesia, terutama bagian selatan, terkait penjalaran Madden Julian Oscillation (MJO) fase basah yang menggantikan fase kering sebelumnya,” kata Kepala Subbidang Produksi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, di Jakarta, Kamis (7/3/2019).
Pembentukan gugusan awan di sebagian wilayah Indonesia, terutama bagian selatan, terkait penjalaran Madden Julian Oscillation (MJO) fase basah yang menggantikan fase kering sebelumnya.
Peningkatan hujan itu akan berlangsung hingga awal dasarian ketiga Maret, terutama di bagian tengah dan selatan, mulai Jawa Timur ke timur hingga Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Namun, memasuki April nanti, terjadi transisi musim kemarau di sejumlah wilayah.
Awal kemarau
Menurut Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Indra Gustari, musim kemarau terkait erat dengan peralihan angin baratan atau monsun Asia menjadi angin timuran atau monsun Australia. Peralihan angin monsun menandai musim kemarau akan dimulai dari Nusa Tenggara pada Maret 2019, Bali dan Jawa pada April nanti, lalu sebagian Kalimantan dan Sulawesi pada Mei mendatang. ”Monsun Australia sepenuhnya dominan di Indonesia pada Juni sampai Agustus 2019,” ujarnya.
Saat ini El Nino aktif, tetapi karena kekuatannya lemah, pengaruhnya tak signifikan. Kondisi musim kemarau 2019 diperkirakan lebih dipengaruhi kekuatan monsun Australia dan gangguan cuaca berupa gelombang atmosfer tropis skala submusiman, yakni MJO.
Jika dibandingkan rerata klimatologis kurun 1981-2010, awal musim kemarau 2019 di 37,1 persen wilayah zona musim di Indonesia masih normal. Namun, 25,5 persen zona musim akan lebih maju dan 37,4 persen sisanya mundur. Daerah yang perlu mewaspadai musim kemarau lebih awal, antara lain Nusa Tenggara Timur, NTB, Jatim bagian timur, Jawa Tengah, sebagian Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan
Terkait intensitas kekeringannya, sebanyak 62,6 pesen zona musim masih kategori normal. Akan tetapi, 24 persen di bawah normal atau intensitas hujannya lebih rendah dan 13,4 persen lebih banyak hujan dibandingkan rata-rata musimnya. Daerah yang diprediksi mengalami kemarau lebih kering dari normalnya adalah NTT, NTB, Bali, Jawa bagian selatan dan utara, sebagian Sumatera, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Merauke.
Deputi Bidang Klimatolog BMKG Herizal mengatakan, puncak musim kemarau 2019 diprediksi terjadi pada Agustus- September 2019. Karena itu, institusi terkait dan masyarakat diimbau bersiap menghadapi meningkatnya kerentanan bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, serta ketersediaan air bersih.
Deputi Bidang Meteorologi Mulyono Prabowo menambahkan, berdasarkan aspek cuaca, potensi terjadinya kebakaran saat ini meningkat di sebagian Sumatera dan Kalimantan bagian timur. Untuk itu, pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat luas diminta waspada dan siap siaga terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih dan mengikuti informasi terbaru dari BMKG.