Derita Panjang di Jalan Kalimalang
Pembangunan jalan antara Jakarta dan Bekasi menuntut pengorbanan warga. Bertahun-tahun mereka terjebak dalam kemacetan kendaraan. Keamanan pengguna jalan pun kerap terancam.
Jamaludin (23) masih ingat saat sepeda motornya tergelincir di Jalan Raya Kalimalang atau Jalan KH Noer Ali yang berlubang tiga tahun lalu. Ia terpelanting, tubuhnya membentur jalan dengan keras sehingga lengan mahasiswa Universitas Gunadarma Bekasi itu pun patah. Akibatnya, ia tak bisa beraktivitas selama beberapa minggu.
“Waktu itu saya sama sekali tidak melihat ada lubang karena jalan gelap, tidak ada penerangan jalan umum,” kata Jamal saat ditemui di Jalan Raya Kalimalang, Jumat (1/3/2019).
Kala itu jalan berlubang dimana-mana karena pembangunan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) baru saja dimulai. Alat berat berlalu lalang membawa material bangunan, penggalian tanah untuk membuat fondasi juga telah dilakukan.
Mulai 2015, pembangunan Tol Becakayu memang baru saja dimulai setelah mangkrak selama 16 tahun. Pembangunan jalan layang itu mulanya dilakukan pada 1997, namun setahun setelahnya proyek terganjal krisis ekonomi. Peletakan batu pertama baru dilakukan kembali pada Oktober 2014. Menurut rencana awal, tol akan membentang sepanjang 21 kilometer (km) dari Kasablanka-Duren Jaya (Kompas, 7/1/2015).
Meski demikian, Jamaludin tidak kapok melintasi jalan tersebut. Bagi warga Cipinang, Jakarta Timur, itu, Jalah Raya Kalimalang merupakan akses utama dari rumah menuju kampusnya dan sebaliknya.
Semangat Jamaludin melintas di jalan tersebut berbanding lurus dengan pembangunan tol. Hingga saat ini, pembangunan masih berlangsung di Jalan Raya Kalimalang, khususnya Tol Becakayu Seksi 2A, yaitu dari Jaka Sampurna sampai simpang Bekasi Cyber Park (BCP).
Proyek yang berada di tengah jalan dan dikerjakan di balik pagar seng itu mengerjakan beberapa kegiatan, di antaranya penggalian dan pemasangan fondasi. Sejumlah alat berat pun beroperasi selama 24 jam. Adapun Seksi 1B dan 1C sudah tuntas lebih awal. Pada 2017, kedua seksi sepanjang 8,2 km itu sudah bisa digunakan dari Cawang sampai Jaka Sampurna.
Karena itu, kondisi Jalan Raya Kalimalang tidak jauh berbeda dengan tiga tahun lalu. Bahkan, lebih parah. Baik dari arah Jakarta menuju Bekasi maupun sebaliknya, lubang jalan bertebaran dimana-mana, diameternya bervariasi mulai dari 50 centimeter (cm) hingga 2 meter.
Contohnya, dari Jakarta menuju Bekasi, yaitu dari Pasar Sumber Artha hingga simpang BCP yang berjarak 6,7 km, lubang jalan selalu ada. Jarak antarlubang paling jauh 300 meter. Setiap hujan, lubang-lubang itu berubah menjadi kubangan.
Sementara itu, dari arah Bekasi menuju Jakarta, lubang jalan sudah ada sejak Simpang BCP hingga simpang Jalan Raya Caman. Beberapa pekan lalu, di depan Metropolitan Mal jalan berlubang hingga menyerupai kolam. Sebab, beberapa lubang ada di sepanjang 50 meter jalan, diameter setiap lubang mencapai 2 meter dengan kedalaman sekitar 30 cm.
Kondisi serupa ada di simpang Jalan Raya Caman. Selain berlubang dan retak, permukaan jalan juga licin. Sehabis hujan, tidak jarang pengendara sepeda motor yang tergelincir di sana.
Macet
Eka (25), pemasok bakso dan tahu mentah asal Jatiwaringin, Kota Bekasi, mengatakan, kerusakan jalan itu menghambat bisnisnya. Sebab, waktu perjalanan menjadi jauh lebih panjang karena macet.
Setiap hari, ia harus mengantar bakso dan tahu mentah ke beberapa restoran di Metropolitan Mal. Untuk menempuh jarak sekitar 10 km itu semestinya ia hanya perlu waktu 15-20 menit. “Tetapi karena macet, perjalanan Jatiwaringin-Metropolitan Mal selalu lebih dari satu jam,” kata Eka.
Bukan hanya macet yang ia hadapi, melainkan juga risiko kecelakaan. Sepeda motornya selalu menyerempet atau diserempet kendaraan lain, karena ia membawa keranjang makanan di jok bagian belakang.
“Paling bahaya jika saya sedang menghindari lubang jalan, kendaraan di belakang saya bisa terperosok karena awalnya mereka tidak melihat lubang itu,” ujar Eka.
Pelaksana Harian Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bekasi Bambang N Putra mengatakan, macet di Jalan Raya Kalimalang memang tidak dapat dihindari. Antrean kendaraan bukan hanya disebabkan oleh kerusakan jalan, tetapi juga limpahan dari Tol Jakarta-Cikampek.
Di atas tol yang juga melintas di wilayah Kota Bekasi itu, tengah dibangun tiga proyek strategis nasional. Ketiga proyek itu adalah tol Jakarta-Cikampek II Layang, kereta ringan (LRT) Jabodebek, dan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Akibatnya, rata-rata ada 110 mobil dan 730 sepeda motor yang melintas di Jalan Raya Kalimalang dari arah Jakarta menuju Bekasi setiap pukul 06.00-08.00. Sementara itu, dari arah Bekasi menuju Jakarta, dilintasi 183 mobil dan 1.107 sepeda motor pada periode waktu yang sama.
Untuk mengurangi kemacetan dan kerusakan jalan, Dishub melarang truk bermuatan lebih dari 8 ton untuk melintas di Jalan Raya Kalimalang. Meski jalan itu merupakan salah satu akses utama dari Jakarta menuju kawasan industri di Kota dan Kabupaten Bekasi, jalan tersebut berstatus jalan kota atau jalan kelas II. Beban terberat yang bisa ditanggung adalah 8 ton.
Namun, kebijakan itu tidak berdampak signifikan. Kerusakan jalan dan kemacetan terus terjadi. Deputi Pimpinan Proyek Tol Becakayu dari PT Kresna Kusuma Dyandra Marga (KKDM) Deden Suharyana mengatakan, kondisi tersebut masih akan terus terjadi setidaknya hingga enam bulan ke depan.
“Kami menargetkan, Tol Becakayu Seksi 2A selesai pada Agustus 2019,” kata Deden. Masih ada dua segmen jalan lagi yang harus dipasangi 24 tiang beton. Selama pengerjaan itu, pekerja dan alat berat akan beroperasi selama 24 jam. Pihaknya pun siap memperbaiki segala kerusakan yang muncul akibat pembangunan tol.
Ironi
Johanes Randy (28), pengguna jalan asal Jatiasih, Kota Bekasi, mengatakan, kondisi Jalan Raya Kalimalang kontras dengan Tol Becakayu. Di Kalimalang, pengguna jalan harus berjibaku dengan jalan rusak, kemacetan, dan manajemen rekayasa lalu lintas yang berubah-ubah seiring dengan berpindahnya lokasi pengerjaan proyek.
“Berkendara di Jalan Raya Kalimalang sangat melelahkan. Selain jalan tidak mulus, ada penyempitan jalan di beberapa bagian, rekayasa lalu lintas juga mengharuskan saya berputar ke Galaxy dulu untuk menuju Jatiasih via Jalan Raya Caman,” kata Randy. Untuk itu, perjalanannya bertambah sekitar 3 km.
Bagi pengendara yang tidak terbiasa melewati Jalan Raya Kalimalang, alur jalan memang amat membingungkan. Pemasangan tiang beton mengubah alur jalan yang semula lurus menjadi berkelok-kelok keluar masuk arah Bekasi ke Jakarta dan sebaliknya.
Apalagi di malam hari, PJU begitu minim. Dari arah Bekasi menuju Jakarta, lampu jalan hanya ada di sekitar Metropolitan Mal dan di sekitar terowongan Tol Jakarta-Cikampek. Selain itu tidak ada.
Sementara itu, dari arah Jakarta menuju Bekasi, atau dari Pasar Sumber Artha sampai Simpang BCP yang berjarak 6,7 km, jumlah PJU yang menyala hanya sekitar 50 unit. Padahal, berdasarkan ketentuan Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi, idealnya PJU dipasang di setiap 50 meter. Jalan Raya Kalimalang masih bercahaya karena pendaran PJU yang ada di Tol Becakayu dan areal komersial di sekitarnya.
“Kalau melewati Tol Becakayu lalu lintas sangat lancar, jalan juga bagus,” kata Randy. Meski demikian, ia tak mau terlalu sering melintas di jalan tersebut.
“Biayanya terlalu mahal, apalagi untuk saya yang hanya menempuh jarak dekat,” ujar Randy. Adapun tarif Tol Becakayu untuk kendaraan Golongan I adalah Rp 14.000.
Sejak beroperasi pada 2017, Tol Becakayu memang belum menjadi pilihan masyarakat yang menggunakan kendaraan roda empat atau lebih. Setiap hari jalan bebas hambatan itu sepi, jarang ada pengguna jalan yang melewatinya. Padahal, kondisi jalan begitu baik, PJU ideal, dan tidak ada kemacetan.
Derita pengguna Jalan Kalimalang adalah buah dari perencanaan pembangunan. Jika aspek tersebut disiapkan lebih baik, cerita mereka mungkin akan seperti ini.