Galaxy S10 dan Titik Balik Wartawan Era Digital
Di tengah peluncuran ponsel pintar Galaxy S10 oleh Samsung Indonesia, menarik untuk melihat kontribusi dari perjalanan bersama wartawan ”Kompas” bersama seri pendahulunya, yakni Galaxy S2.
Samsung Indonesia memperkenalkan ponsel kelas andalan mereka yakni Galaxy S10 dalam sebuah acara yang berlangsung di The Tribrata, Jakarta, Rabu (6/3/2019) lalu, dan menurut rencana akan resmi dijual kepada konsumen Indonesia pada Jumat (8/3/2019) ini. Saya datang meliput sebagai wartawan, tetapi sekaligus membawa sesuatu ke acara tersebut, yakni ponsel Galaxy S2 milik pribadi.
Galaxy S2 adalah ponsel dengan sistem operasi Android pertama yang saya gunakan pada tahun 2011 dan saat itu mengubah secara drastis cara kerja saya sebagai seorang wartawan. Dan rasanya tidak ada momen yang lebih pas untuk mengeluarkannya dari tempat penyimpanan, menyalakannya sekali lagi untuk bertemu ponsel penerus yang terpaut zaman, lompatan teknologi, hingga kiblat desain.
Bagi saya, datang ke acara tersebut merupakan sebuah introspeksi dari kemudahan yang ditawarkan teknologi kepada manusia untuk memudahkan kehidupannya meskipun pada saat yang sama juga membebaninya dengan hal-hal trivial baru.
Dari sisi mana pun, Galaxy S10 memang menawarkan teknologi yang jauh melampaui Galaxy S2. Hadir dalam tiga varian, yakni S10, S10+, dan S10e, seri ponsel ini menawarkan desain layar Infinity-O yang memungkinkan muka ponsel seperti tidak dikungkung bingkai. Kehadiran duet lensa ultralebar dan tele untuk mendampingi lensa utama (bagi varian S10 dan S10+) menyodorkan opsi kreatif bagi penggunanya untuk mengambil gambar ataupun video.
Tidak berhenti di perangkat keras, Samsung juga membangun kolaborasi dengan perangkat lunak sehingga fitur-fitur yang ditawarkan seri Galaxy S10 menyodorkan pengalaman paripurna bagi pengguna, seperti panduan mengambil gambar, pengamanan biometrik lewat sensor sidik jari ultrasonik yang terletak di bawah permukaan layar, serta pengisian daya perangkat lain melalui kontak nirkabel.
Dibandingkan seri Galaxy S9 yang diluncurkan semester I tahun 2018, lompatan teknologi yang dilakukan Samsung cukup terlihat jelas, mulai dari layar hingga fitur-fitur kamera. Namun, ketika disandingkan dengan Galaxy S2, gambaran lain akan terlihat, yakni pergulatan Samsung untuk menyajikan produk ponsel pintar yang menjadi ujung tombak mereka, konsistensi, termasuk pelajaran dari kesalahan yang sudah dibuat.
Salah satu kesalahan yang dibuat Samsung adalah mazhab desain bagian punggung dari plastik yang dipakai untuk seri Galaxy S3, Galaxy S4, dan Galaxy S5 sehingga mendatangkan keluhan bahwa desain produknya tidak mencerminkan inovasi dan cenderung menjemukan. Titik balik penting bisa dilihat pada Galaxy S6 sewaktu memperkenalkan desain badan yang menyatu dengan baterai. Artinya, pengguna tidak lagi bisa melepas baterai dari badan ponsel.
Inisiatif tersebut dinamakan Project Zero dan taruhan Samsung terbayar sudah. Kepercayaan konsumen makin tumbuh. Tidak hanya itu, mereka juga mengawali tren layar melengkung di bagian sisi. Taruhan berikutnya adalah mendorong harga jual hingga melampaui Rp 10 juta, terbilang jarang untuk ukuran produk pada tahun 2015.
Dan selebihnya adalah sejarah. Samsung merebut perhatian pasar ponsel Indonesia dengan seri Galaxy S setiap semester pertama dan seri Galaxy Note pada semester berikutnya.
Dunia baru
Kembali pada tahun 2011, Galaxy S2 merupakan perangkat yang sudah saya incar sebagai perangkat pintar pertama saya untuk pindah ke sistem operasi Android. Sebelumnya saya menggunakan E71 yang disediakan oleh kantor sebagai perangkat penunjang kerja. Performanya memang luar biasa, kenyamanan dari papan tuts untuk mengetik tiada dua, tetapi ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhinya saat itu.
Lembar spesifikasi, seperti prosesor inti ganda 1,2 gigahertz, RAM 1 gigabita, bentang layar 4,3 inci dengan teknologi Super AMOLED, sistem operasi Android Gingerbread, serta resolusi kamera 8 megapiksel, sudah cukup membuat saya menaruh banyak harapan. Harga Rp 5,2 juta pada tahun 2011 saya anggap sebagai investasi untuk alat kerja yang menunjang profesi, tanpa tahu bahwa apa yang saya dapatkan justru lebih dari itu.
Tantangan pertama yang dihadapi adalah membiasakan diri mengetik di layar sentuh. Keahlian untuk mengetik di papan tuts secara buta tiba-tiba tidak bisa dilakukan untuk layar sentuh. Beruntung ada fitur haptic feedback yang memberikan umpan balik pada permukaan jari berupa getaran kecil sehingga terasa familiar seolah mengetik di papan tuts.
Hal yang paling berkesan bagi saya dari proses transisi ke ponsel pintar Android ini adalah ekosistem aplikasi dan layanannya. Di sinilah saya pertama kali memahami dan memanfaatkan layanan berbasis awan, bahwa kita menyimpan file di awan untuk kemudian diakses di berbagai perangkat.
Layanan pertama yang saya manfaatkan adalah Evernote. Aplikasi pencatat yang menggunakan layanan berbasis awan mengubah cara kerja saya yang selama ini terpaku pada satu perangkat untuk mengetik menjadi lebih bebas.
Sebelumnya, mengetik dilakukan pada satu perangkat, entah itu komputer pribadi atau komputer jinjing. Saat kita sedang jauh dari perangkat dan ingin mengakses dokumennya, kita tidak berdaya. Lain halnya dengan layanan Evernote, kita bisa mengetik dari mana saja, termasuk melanjutkan ketikan di perangkat lain asalkan tersambung dengan internet.
Saat itu, kemudahan tersebut sampai membuat saya terperangah.
Begitu pula kemudahan untuk mengirimkan file seperti foto. Saat itu, saya menggunakan kamera digital EOS 40D yang tidak memiliki akses ke penyimpanan apabila terhubung melalui kabel USB, kecuali menggunakan aplikasi khusus. Artinya, kita harus menghubungkannya ke komputer untuk menarik gambar untuk kemudian disunting lantas dikirim.
Jangan berpikir soal fitur koneksi nirkabel seperti Wi-Fi atau bluetooth yang kini menjadi hal lumrah di setiap kamera digital.
Fitur USB on the go (OTG) yang dimiliki Galaxy S2 memungkinkan saya untuk menghubungkan ponsel dengan perangkat penyimpanan eksternal melalui sambungan micro-USB yang tersambung dengan adapter ke kabel USB. Yang saya lakukan kemudian, mencabut kartu memori dengan format CF dari kamera, dipasang ke pembaca kartu memori, lantas dihubungkan ke ponsel pintar melalui adapter OTG.
Dengan mudah gambar masuk ke dalam ponsel dan saya sunting ringan, termasuk membubuhkan keterangan, lantas dikirim ke kantor melalui surel atau protokol pengiriman file (FTP). Alur kerja ini saya gunakan sewaktu ditugaskan meliput Kejuaraan Dunia Karate Yunior dan Kadet VII di Melaka, Malaysia, pada Oktober 2011.
Pun sama dengan teks berita yang harus dikirimkan. Semua bisa dilakukan secara praktis tanpa harus membuka komputer jinjing.
Kondisi yang mengharuskan saya mengambil gambar menggunakan kamera ponsel ternyata menjadi kebiasaan baru. Saya makin terbiasa mengambil gambar dengan kamera ponsel hingga dalam beberapa peristiwa sengaja tidak membawa kamera digital dengan alasan kepraktisan ataupun keamanan.
Sentuh tombol rana, lalu pilih ikon ”bagikan”, lantas masuk surel. Begitulah kemudahan yang ditawarkan dari ponsel pintar bagi tugas kewartawanan. Tugas untuk meliput Pasar Malam Indonesia 2013 di Lapangan Malieveld, Den Haag, Belanda, sepenuhnya menggunakan kamera ponsel. Pengiriman teks berita dan foto sepenuhnya dilakukan menggunakan kamera dari ponsel pintar Galaxy S2 saya.
Menengok ke belakang, ponsel pintar ini punya andil besar dalam transisi saya menjadi wartawan di era digital seperti sekarang. Saya beruntung karena bisa menikmati keajaiban teknologi dari hal yang sekarang mungkin terkesan ada begitu saja (taken for granted).
Jembatan
Setelah menyandingkan ponsel Galaxy S2 saya dengan unit Galaxy S10 di lokasi peluncuran, terlihat jelas bahwa masa pakai ponsel lawas ini akan mendekati garis akhir. Ini sudah terlihat mulai dari layar yang menampilkan warna kekuningan.
Pun dengan kamera yang tidak lagi gegas mengambil gambar, kerap meleset fokusnya. Semua tidak lepas dari pemakaian yang cukup intens, mulai dari benturan, jatuh, hingga uji coba custom ROM untuk memberinya pengalaman penggunaan yang baru.
Saya tidak yakin Galaxy S2 ini akan bertahan hingga semester pertama tahun 2020, barangkali untuk menyambut penerus Galaxy S10. Namun, momen satu dekade dari Galaxy S menjadi kesempatan berharga buat saya untuk merenung dan merefleksikan andil sebuah perangkat dalam perjalanan karier saya sebagai seorang wartawan.
Pemahaman ini tidak harus menjadikan kita tergantung pada teknologi, tetapi seharusnya mengembalikan teknologi pada tempatnya, yakni perkakas yang membantu atau memudahkan hidup manusia.