HPP Lama Tetap Jadi Acuan Pemerintah Membeli Gabah Petani
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah tetap mengacu pada harga pembelian pemerintah atau HPP lama untuk menyerap harga gabah di tingkat petani pada panen raya nanti. Sejumlah kelangan menilai, kondisi itu akan membuat Perum Bulog kesulitan menyerap gabah di tingkat petani.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti mengatakan, pemerintah tetap akan mengendalikan harga gabah di tingkat petani pada musim panen raya nanti. Pengendalian itu akan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
"Pada dasarnya pemerintah masih akan menggunakan Inpres tersebut untuk menyerap gabah di tingkat petani," kata Tjahya, saat dihubungi Kompas, Jumat (8/3/2019).
Selasa lalu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan, Bulog masih bisa menyerap gabah di tingkat petani sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2015 itu. Pemerintah memberikan fleksibilitas harga serapan sebesar 10 persen-20 persen di atas HPP.
"Jika harganya masih belum cocok, penyerapan Bulog mesti melalui skema komersial agar dapat tetap memberikan keuntungan bagi petani," kata Amran.(Kompas.id, 5 Maret 2019)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Februari 2019, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 5.114 per kilogram (kg), atau turun 4,46 persen dibandingkan Januari 2019. Diprediksi, harga akan terus menurun pada Maret 2019 hingga menuju titik terendahnya pada April 2019, yaitu sekitar Rp 4.300 per kg.
Kendati begitu, harga GKP yang mencapai titik terendah tersebut masih lebih tinggi dibandingkan HPP yang diatur dalam Inpres Nomor 5/2015. Inpres itu menetapkan, GKP di tingkat petani seharga Rp 3.700 per kg.
Menanggapi keadaan ini, pengamat pertanian Khudori menilai, penyerapan GKP oleh Bulog akan sulit selama HPP tidak disesuaikan dengan harga pasar yang harus bersaing dengan swasta. Swasta bisa membeli dengan harga pasar, sementara pembelian oleh Bulog dibatasi dengan Inpres Nomor 5/2015.
"Walau ada fleksibilitas 10 persen-20 persen lebih tinggi dari HPP, tapi nggak terkejar juga," kata dia.
Walau ada fleksibilitas 10 persen-20 persen lebih tinggi dari HPP, tapi nggak terkejar juga.
Sementara itu, Khudori juga menyoroti, harga beras di pasar semakin menjauh dari HPP. Pada 2013, harga beras medium mencapai Rp 7.871 per kg (19,25 persen di atas HPP). Di 2015 mencapai Rp 9.450 per kg (29,45 persen di atas HPP). Data terakhir, pada 2018, harga beras medium mencapai Rp 9.798 kg (34,21 persen di atas HPP).
"Maka, peningkatan HPP merupakan langkah baik dalam membuat pengadaan beras Bulog. Dengan pengadaan yang baik, fungsi Bulog di hulu sebagai pelindung petani dengan mengamankan HPP dapat terjaga," ujar Khudori.
Peningkatan HPP merupakan langkah baik dalam membuat pengadaan beras Bulog. Dengan pengadaan yang baik, fungsi Bulog di hulu sebagai pelindung petani dengan mengamankan HPP dapat terjaga.
Jangka panjang
Khudori menambahkan, peningkatan HPP memang berpotensi membuat pengadaan beras Bulog membaik, namun itu hanya solusi di hulu. Sementara untuk di hilir, dengan adanya program bantuan pangan nontunai (BPNT), beras yang disalurkan Bulog sulit mencapai target.
Sebab, melalui BPNT, warga penerima manfaat dibebaskan membeli beras di pasar yang berpotensi menambah konsumen beras baru di pasar dan berdampak pada inflasi harga beras. Berbeda dengan program beras miskin (raskin) dan beras sejahtera (rastra) dahulu yang penyalurannya dilakukan langsung oleh Bulog.
"Stok awal di tahun ini mencapai 2,2 juta ton. Dengan outlet penyaluran yang semakin kecil, pada saat yang sama Bulog diberi target pengadaan tahun ini 1,8 juta ton. Namun, jika pengadaan tercapai, tapi outlet penyaluran kecil, berasnya mau dikemanakan," ujar Khudori.
Padahal, lanjut Khudori, penugasan Bulog sebagai penyedia dan penyalur beras ke masyarakat berpenghasilan rendah, tidak hanya ada di Inpres Nomor 5/2015. Penugasan itu juga ada di Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perusahaan Umum (Perum) Bulog dan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional.
"Harus ada keselarasan antara aturan dan pelaksanaan. Dalam hal ini, outlet penyaluran beras Bulog harus diadakan kembali agar terjadi integrasi hulu-hilir," kata Khudori.
Selain itu, menyangkut program BPNT, agar penyaluran Bulog mencapai target, maka penerima manfaat BPNT harus diarahkan untuk membeli beras yang disediakan Bulog di outlet yang ditentukan. "Dengan cara ini, stabilisasi harga di tingkat produsen dan konsumen dapat terjaga," ucap Khudori. (SHARON PATRICIA)