JAKARTA, KOMPAS — Semua elemen bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat, perlu menahan diri dan menjaga suasana tetap kondusif menjelang pemilu 17 April 2019. Kedewasaan berdemokrasi dari semua pihak kini amat dibutuhkan.
Hal ini penting di tengah munculnya sejumlah polemik yang berpotensi mengganggu ketenangan pemilu. Polemik terbaru terkait langkah polisi menangkap Robertus Robet, pengajar pada Universitas Negeri Jakarta yang juga penggiat gerakan hak asasi manusia, Kamis (7/3/2019) dini hari. Robet lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus penghinaan terhadap TNI karena menyanyikan pelesetan ”Mars ABRI”, saat orasi di Istana Merdeka pada 28 Februari lalu.
Proses hukum terhadap Robet ini menambah daftar kasus yang terjadi menjelang pemilu. Kasus lainnya antara lain pembakaran sejumlah kendaraan bermotor di beberapa daerah di Jawa Tengah dan peledakan petasan di dekat lokasi debat pemilihan presiden pada 17 Februari lalu. Kedua kasus itu sampai kini belum terungkap.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor, di Jakarta, Kamis, mengingatkan, ketenangan menjelang pemilu harus dijaga agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab untuk mengacaukan proses demokrasi. Semua elemen bangsa harus berdemokrasi secara dewasa. Dengan demikian, masyarakat dapat hidup tenang dan kualitas demokrasi dapat terjaga.
Minta maaf
Polisi menangkap Robet pada Kamis sekitar pukul 00.30. Setelah diperiksa, ia lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penghinaan terhadap institusi TNI.
Dari video yang viral di media sosial, antara lain, terlihat Robet yang berorasi di depan Istana Negara menyanyikan pelesetan lagu ”Mars ABRI” yang kerap dikumandangkan saat unjuk rasa 1998. Namun, Robet tidak ditahan karena pidana yang disangkakan tidak mensyaratkan penahanan.
Seusai diperiksa di Markas Besar Polri, Kamis sore, Robet mengaku bersalah terkait orasinya yang ditujukan ke institusi TNI. ”Pertama-tama, saya ingin menyampaikan permohonan maaf. Tidak ada maksud saya menghina atau merendahkan institusi TNI yang sama-sama kita cintai,” ujarnya.
Robet juga membenarkan bahwa orang yang ada di video orasi dalam aksi Kamisan 28 Februari 2019 adalah dirinya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan, penyidik menilai perbuatan Robet memenuhi unsur-unsur Pasal 207 KUHP. Pasal itu mengatur pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
Saat diperiksa, lanjut Dedi, Robet juga menyampaikan ada video berisi ancaman terhadap dirinya. Terkait hal itu, Dedi menegaskan, Polri akan menjamin keamanan serta memberikan pelayanan pengamanan kepada Robet dan keluarga.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi mengapresiasi langkah Polri. Dia menilai, dari sisi konten ada ujaran kebencian dalam orasi Robet. ”Itu ranah penegak hukum, yaitu Polri, menindaklanjuti dan Polri memang sudah mengambil langkah yang seharusnya mereka lakukan,” katanya.
Di sisi lain, lanjut Sisriadi, dalam orasi Robet, ada konten yang tengah jadi pembicaraan masyarakat, yaitu agar TNI tidak lagi menjalankan dwifungsi seperti pada era Orde Baru. ”Konten ini akan jadi masukan bagi TNI untuk membangun kepercayaan masyarakat,” ujarnya. (EDN/E02/E14/ABK)