Kesadaran Melaporkan Kekerasan di Ranah Privat Tumbuh
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kekerasan yang menimpa perempuan, terutama kekerasan seksual yang terjadi di ranah privat yang selama ini tertutup rapat, kini semakin terbuka dan mendapat perhatian publik. Terbukti, sepanjang tahun 2018, kasus paling banyak diadukan ke Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan adalah kekerasan pada perempuan di ranah privat yang mencapai 768 kasus (77 persen) dari total 993 kasus.
Catatan Tahunan (Catahu) Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Tahun 2019, yang diluncurkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Rabu (6/3/2019), di Jakarta, menunjukkan pada 2018, jumlah kasus kekerasan pada perempuan yang dilaporkan ke organisasi perlindungan perempuan dan lembaga pemerintah meningkat. Pada 2018 jumlah laporan 348.466 kasus, tapi tahun 2018 menjadi 406.178 kasus.
“Meningkatnya laporan kekerasan pada perempuan di ranah privat menunjukkan kekerasan yang tertutup dengan dinding kamar atau rumah mulai terungkap. Ini hal positif. Karena kita tak bisa menyelesaikan kejahatannya kalau kasus itu tak terungkap,” kata Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu pada Peluncuran Catahu Komnas Perempuan 2019 yang berjudul “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara”.
Meningkatnya laporan kekerasan pada perempuan di ranah privat menunjukkan kekerasan yang tertutup dengan dinding kamar atau rumah mulai terungkap.
Kekerasan di ranah personal/privat, pelakunya ialah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Dari Catahu Komnas Perempuan Tahun 2019, kekerasan di ranah privat persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41 persen (3.951 kasus), diikuti kekerasan seksual 31 persen (2.988 kasus), kekerasan psikis 17 persen (1.638 kasus) dan kekerasan ekonomi 11 persen (1.060 kasus) .
“Di tahun ini, Catahu juga menemukan pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah privat/ personal adalah pacar 1.670 orang, diikuti ayah kandung 365 orang, lalu di peringkat ketiga adalah paman 306 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman selaras dengan meningkatnya kasus inses berjumlah 1.071 kasus,” kata Azriana.
Terungkapnya berbagai kekerasan di ranah privat, juga memberi arti meningkatnya kesadaran dan keberanian perempuan untuk mengungkapkan dan melaporkan berbagai kasus yang menimpanya, serta meningkatnya dukungan dari keluarga dan komunitas kepada korban. “Kesadaran dan dukungan pada korban keduanya mempunya korelasi, dalam pengungkapan kasus yang menimpa perempuan,” tegas Azriana.
Perkosaan dalam perkawinan
Dalam Catahu Komnas Perempuan 2019 yang dipaparkan Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin dan Adriana Venny Aryani, meningkatnya laporan kasus perkosaan dalam perkawinan (marital rape) menjadi perhatian khusus. Sebab laporan hubungan seksual dengan cara tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap istri ini, mencapai 195 kasus pada 2018.
Mayoritas kasus perkosaan dalam perkawinan dilaporkan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (sebanyak 138 kasus), sisanya dilaporkan ke organisasi masyarakat dan lembaga lainnya.
“Perkosaan dalam perkawinan angkanya kelihatan muncul karena terus meningkat. Sebelumnya kasus tersebut tidak kelihatan. Tetapi pada tahun 2018 marital rape banyak dilaporkan ke institusi pemerintah seperti P2TP2A. Dari Catahu 2019 kami ingin menegaskan kepada publik bahwa kasus tersebut ada, sebab banyak yang tidak percaya ada marital rape. Padahal istri mengalami penderitaan terus menerus karena perlakuan tak manusiawi dari suami,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin.
Meningkatnya pelaporan kasus marital rape itu mengindikasikan implementasi UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) memiliki sejumlah persoalan, terutama pada bagian pencegahan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dan penanganan KDRT sendiri. Selama ini hanya 3 persen dari kasus KDRT yang dilaporkan ke lembaga layanan yang sampai ke pengadilan.
Selain itu, Komnas Perempuan mencatat fenomena baru kasus kekerasan dalam berpacaran, terutama berbasis siber yang tren kasusnya meningkat. Pada Catahu 2018 kasus yang dilaporkan 65 kasus, tapi Catahu 2019 mencapai 97 kasus. Bentuknya bervariasi, mulai dari ancaman menyebar konten pribadi ke publik (revenge porn), distribusi foto atau video pribadi (malicious distribution), pelecehan-pelecehan dilakukan secara daring melalui cyber harassment/bullying/ spamming, dan perilaku pelecehan seksual lain.
“Perkosaan terhadap disabilitas juga tinggi. Paling banyak korbannya adalah disabilitas mental, tuna grahita. Pelakunya adalah warga dan komunitas lingkungan mereka,” papar Mariana.
Atas berbagai kasus yang terus menimpa perempuan di Tanah Air, Komnas Perempuan meminta kepada semua elemen negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) agar segera mengakhiri impunitas dan pembiaran atas sejumlah persoalan kekerasan terhadap perempuan. Langkah kongkritnya adalah menindaklanjuti rekomendasi yang dikeluarkan mekanisme nasional dan internasional HAM.
Melalui Catahu 2019, Komnas perempuan juga menyampaikan pentingnya penanganan korban dan pelaku. Pencegahan perlu mendapat perhatian dari semua pihak. “Kalau kasus terus terjadi, sementara kita belum berhasil melakukan pencegahan, padahal dampak dirasakan korban sangat serius apalagi pelaku selalu berada dalam lingkaran hidup korban. Karena itu, pemulihan korban perlu dipikirkan,” tegas Azriana.
Karena itu, pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang menjadi jalan untuk membuat pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual menjadi optimal serta pemulihan korban juga menjadi prioritas.