Korporasi Diduga Terlibat Pencemaran di Pulau Buru
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan PT Prima Indo Persada sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran lingkungan di sekitar lokasi tambang emas liar Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Polisi menyatakan, perusahaan tersebut menggunakan sianida untuk mengolah emas. Limbah pengolahan dibuang ke alam bebas sehingga mencemari lingkungan.
"Tersangkanya adalah korporasi. Artinya, pelanggaran hukum itu dilakukan sebagai bagian dari kebijakan korporasi. Sanksi hukum yang dijatuhkan nanti untuk korporasi seperti mem-black list atau menutup korporasi itu jika terbukti bersalah," kata Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat, di Ambon, Jumat (8/3/2019).
Menurut Roem, dugaan pencemaran lingkungan itu diperoleh penyidik setelah beberapa kali melakukan olah tempat kejadian perkara. Ditemukan sejumlah fakta seperti perusahaan menggunakan sianida untuk mengolah emas, pengolahan dilakukan secara terbuka, dan limbah pengolahan dibuang ke alam terbuka.
Pelanggaran yang dilakukan sangat banyak dan sangat fatal.
Selain itu, perusahaan dimaksud tidak memiliki izin pengolahan emas, tidak melaksanakan pengolahan limbah bahan berbahaya dengan benar, dan tidak memiliki tempat pembuangan sementara. "Pelanggaran yang dilakukan sangat banyak dan sangat fatal," ujar Roem. Perusahaan itu mulai beroperasi sejak tahun 2017.
Akibat pembuangan limbah itu, lanjut Roem, daerah di sekitar pengolahan, tepatnya Dusun Wamsait, Desa Dava, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru, tercemar. Warga setempat melaporkan bahwa ternak mereka mati mendadak. Beberapa sapi milik warga mati setelah meminum air yang diduga tercemar sianida.
Dalam kasus itu, penyidik memeriksa 13 orang karyawan perusahaan, dua pegawai dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buru, enam pegawai dari beberapa dinas di Provinsi Maluku, dan lima ahli dari sejumlah institusi berkompeten. Penetapan tersangka terhadap korporasi itu dengan tuduhan atas pelanggaran Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hingga Jumat malam, Kompas berusaha mencari tanggapan dari pihak perusahaan terkait penetapan status tersangka tersebut, tapi belum berhasil. Perusahaan itu berkantor di Pulau Buru, tepatnya di lokasi pengolahan emas. Tidak ada perwakilan di Kota Ambon.
Diproses jaksa
Dalam kasus berbeda, Kepala Seksi Humas dan Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Maluku Sammy Sapulette menuturkan, perkara tindak pidana penambangan tanpa izin di Gunung Botak, yang dilimpahkan dari polisi kepada jaksa, sedang diproses. Jaksa penuntut umum secepatnya akan membawa kasus itu ke persidangan. Ini menjadi kasus tambang tanpa izin yang pertama kalinya diproses ke pengadilan.
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku telah menyerahkan tiga tersangka berserta barang bukti kepada Kejaksaan Tinggi Maluku. Mereka yang terlibat kasus tambang ilegal itu terdiri dari Juma, Imran Harun, dan Muhammad Attas. "Secepatnya akan diproses ke pengadilan," ujar Sammy.
Ketiga tersangka memiliki peran berbeda-beda. Juma dan Imran sebagai pengelola tambang sedangkan Attas selaku penyandang dana. Namun, di luar ketiga orang itu, masih banyak pelaku lain yang belum disentuh oleh polisi.
Tambang liar Gunung Botak mulai beroperasi sejak 2011. Sebanyak puluhan ribu orang pernah merambah lokasi itu. Mereka mengolah emas menggunakan merkuri dan sianida. Pada Oktober 2018, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa memimpin penutupan lokasi itu.
Pemerintah Provinsi Maluku mengapresiasi langkah penegak hukum dalam menangani masalah tambang di Gunung Botak, yang oleh publik dianggap sebagai benang kusut yang sulit diuraikan. "Semoga penegakan hukum ini menjadi efek jera. Jangan sampai ada yang masuk lagi ke sana," kata Kepala Bagian Humas Pemprov Maluku Bobby Palapia.