Program revitalisasi Danau Rawapening perlu memperhatikan dan mempertegas garis sempadan wilayah danau agar tidak menimbulkan konflik dalam pemanfaatan lahan.
UNGARAN, KOMPAS Ketidakjelasan garis sempadan di Danau Rawapening, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, menyebabkan tata guna lahan di sekitarnya rawan konflik. Daratan yang muncul akibat sedimentasi danau telah diolah menjadi lahan pertanian. Bahkan, lahan sabuk hijau di sekitar danau menjadi tempat usaha.
Berdasarkan pengamatan Kompas, Kamis (7/3/2019), kondisi perairan Danau Rawapening seolah menyatu dengan lahan sawah dan permukiman penduduk. Tidak ada lagi batas sabuk hijau dan sempadan.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana, Rubhan Ruzziyatno, mengakui, garis sempadan wilayah Danau Rawapening tidak lagi jelas. Patok merah dan hitam, yang menandai wilayah yang masih boleh ditanami, sebagian telah hilang akibat sedimentasi.
”Tanpa garis sempadan, danau itu rawan konflik hak pengelolaan lahan antara pemangku kepentingan dan warga setempat,” ujar Rubhan.
Terkait keberadaan kawasan wisata rumah makan yang dibangun di daerah sabuk hijau, tokoh masyarakat di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Nowo Sugiarto, mengaku tidak tahu. Pihak desa menerima hibah dari investor ketika terjadi konflik dengan warga. Sesuai aturan, daerah sabuk hijau semestinya steril dari bangunan.
”Apabila dikehendaki untuk direvisi, wisata kuliner yang terletak di tepi jalan lingkar Ambarawa itu bisa diatur kembali,” ujar Nowo.
Tidak mudah
Pakar hidrologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, Robert J Kodoatie, mengatakan, tidak mudah menetapkan garis batas sempadan danau. Akan tetapi, garis itu sangat penting agar program revitalisasi semakin fokus.
Garis sempadan itu bermanfaat bagi masyarakat, kelestarian danau itu sendiri, dan menunjang optimalisasi danau sebagai sumber mata air besar di Jateng.
”Konsep pembuatan sempadan danau akan menjadi garis pantai untuk dibangun tanggul. Tanggul itu mesti dibuat mengelilingi danau yang berfungsi sebagai pengaman danau dan konservasi,” ujar Robert.
Garis sempadan tersebut dapat digunakan sebagai acuan tata kelola danau sesuai zonasi. Mulai dari zonasi pertanian, budidaya perikanan, pariwisata, dermaga, hingga mata air.
Sesuai Peraturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 28 Tahun 2018, sempadan danau berfungsi sebagai wadah air. Penetapan garis sempadan bertujuan supaya fungsi danau tidak terganggu aktivitas yang berkembang di sekitarnya.
Tujuan lain agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya di kawasan danau dapat memberikan hasil optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi danau.
”Daya rusak lingkungan sekitar terhadap danau juga dapat dibatasi,” kata Robert. Robert menunjukkan, daya rusak lingkungan terhadap danau sangat tinggi akibat perubahan tata guna lahan.
Di antaranya, alih fungsi lahan di sejumlah daerah aliran sungai yang mengalir ke Rawapening. Tercatat 14 anak sungai yang bermuara ke Rawapening dari Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran.
Kepala Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan Rawa Pening (PSPKRP) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Naniek Sulistya Wardani berharap program revitalisasi Rawapening melibatkan seluruh warga dari hulu hingga hilir.
Masyarakat di wilayah hilir yang menerima gelontoran air untuk irigasi pertanian, seperti di Grobogan dan Demak. Menurut Naniek, program revitalisasi harus bertahap. ”Bukan program massal yang nanti hasilnya tidak maksimal,” ucapnya.
PSPKRP telah melakukan kajian dan riset, termasuk pendampingan ke masyarakat di sekitar Rawapening lebih dari 10 tahun. Akan tetapi, hasilnya belum optimal. Salah satu sebabnya, komitmen pemerintah dengan masyarakat di sekitar Rawapening masih lemah.
Naniek mencontohkan pembersihan eceng gondok yang sebaiknya dilakukan bertahap. Hal ini mengingat banyak warga sekitar danau yang masih menggantungkan bahan baku eceng gondok untuk usaha produk kerajinan. (WHO)