Mengincar Dapil Wilayah Timur
Memenangi dapil di wilayah timur Indonesia menjadi salah satu strategi lolos ke Senayan. Dapil ini menarik karena tiga indikator: indeks pembangunan manusia, partisipasi pemilih, dan domisili caleg.
Pengelompokan daerah pemilihan (dapil), berdasarkan indeks pembangunan manusia (IPM), membelah kualitas manusia di dapil-dapil pemilihan legislatif pada Pemilu 2019 menjadi dua kutub berlawanan. Implikasinya terlihat pada perilaku politik, baik dari sisi pemilih maupun calon anggota legislatif.
Satu hal yang bisa disimpulkan, sebagai daerah yang memiliki IPM relatif rendah, tetapi partisipasi pemilihnya tinggi, dapil di Indonesia bagian timur banyak menjadi incaran caleg dari luar dapil itu.
Dapil dengan IPM tinggi umumnya adalah dapil yang tergolong maju. Kelima dapil itu adalah DKI Jakarta 2, DKI Jakarta 1, Jawa Barat 6, Jawa Timur 1, dan Jawa Barat 1.
Sebaliknya, dapil dengan IPM rendah cenderung merupakan daerah yang belum berkembang pesat. Lima dapil yang memiliki IPM terendah ada di wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dapil Papua Barat, NTT 2, Papua, dan NTT 1, serta berada di urutan ke lima adalah dapil Jatim 11.
IPM mencerminkan kapabilitas sumber daya manusia di suatu wilayah. Ia mengandung makna dan dampak yang lebih luas pada aspek pembangunan manusia, termasuk dalam dinamika kehidupan politik.
Perilaku pemilih
Hasil kajian 80 dapil pada Pemilu 2019 menunjukkan, di dapil dengan IPM tinggi tingkat partisipasi pemilihnya saat Pemilu 2014 cenderung rendah. Sebagai gambaran, tingkat partisipasi pemilih di dapil DKI Jakarta 2, Jabar 6, dan Jatim 1 di bawah 70 persen.
Partisipasi pemilih di DKI Jakarta 2 sebesar 66,35 persen, Jabar 6 sebesar 66,57 persen, dan Jatim 1 sebesar 67,25 persen. Partisipasi pemilih DKI Jakarta 2 berada di peringkat 74 dari 80 dapil. Sementara Jabar 6 di peringkat 73, dan Jatim 1 di peringkat 72.
Sebaliknya, di dapil dengan IPM rendah, tingkat partisipasi pemilihnya cenderung tinggi. Partisipasi pemilih di lima dapil dengan IPM terendah mencapai di atas 77 persen. Bahkan, di dapil Papua, partisipasi pemilihnya 95,15 persen. Disusul dapil Jatim 11 dengan partisipasi pemilih 87,7 persen. Di dapil Papua Barat, partisipasi pemilih 85,26 persen.
Tingginya partisipasi di Papua ini juga terkait sistem pemungutan suara dengan menggunakan sistem noken yang sifatnya kolektif. Dalam sistem noken, kepala suku mewakili anggota sukunya baik dalam pilkada maupun pemilu.
Perilaku caleg
Hasil penelusuran data 80 dapil juga memperlihatkan, di dapil dengan angka IPM rendah dan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi, caleg di wilayah itu banyak yang berasal dari luar dapil.
Sebagai contoh, di dapil Papua Barat dan Jatim 11, jumlah caleg yang domisilinya bukan di dapil tempat ia mencalonkan diri mencapai 50 persen. Caleg pendatang di dapil Papua Barat 52,4 persen, sedangkan di dapil Jatim 11 mencapai 54,5 persen. Caleg pendatang terbanyak di dapil dengan IPM terendah adalah dapil NTT 1 yang mencapai 78,3 persen.
Adapun di dapil dengan IPM tinggi, caleg pendatang jumlahnya lebih sedikit, kurang dari 50 persen. Di dapil DKI Jakarta 2, misalnya, caleg pendatang sebesar 30,3 persen.
Masuk dalam lima besar dapil dengan IPM terendah, dapil Jatim 11 menjadi dapil yang unik. Dapil ini masih di Pulau Jawa, tetapi buruknya kualitas yang jadi aspek pengukuran IPM menempatkannya hanya sedikit lebih baik dibandingkan daerah di Indonesia bagian timur. Dapil Jatim 11 meliputi seluruh daerah di Pulau Madura.
Nilai IPM di dapil Jatim 11 mencapai 62,85. Partisipasi pemilih di dapil ini tergolong tinggi, yakni 87,7 persen yang menempatkannya di urutan kedua tertinggi dari 80 dapil setelah dapil Papua. Separuh caleg di dapil ini berdomisili di luar Madura (54,5 persen).
Pendatang diuntungkan
Banyaknya caleg pendatang di suatu dapil, terutama dapil di wilayah timur, berhubungan dengan karakter masyarakat yang terbuka terhadap pendatang. Sosok pendatang, terutama dari Pulau Jawa, tak jarang dianggap sebagai sosok yang berkualitas lebih baik. Apalagi, jika pendatang itu menyandang pendidikan yang lebih tinggi, ditambah latar pekerjaan dan kekayaan yang lebih baik dibanding masyarakat lokal. Mereka bisa dianggap pembawa harapan baru.
Di ajang kontestasi pemilu, di atas kertas caleg pendatang lebih diuntungkan. Dengan kekuatan modal finansial besar dan kemampuan persuasi, keberadaan mereka bisa menggeser eksistensi caleg lokal yang mungkin lebih memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal.
Dalam kondisi ini, yang dipertaruhkan adalah nasib dan masa depan masyarakat lokal. Akankah caleg pendatang ketika terpilih nanti benar-benar memperjuangkan suara masyarakat yang diwakilinya? Terutama dalam meningkatkan kapabilitas dan kualitas masyarakat lokal melalui perbaikan layanan dasar pendidikan dan kesehatan yang menjadi indikator IPM.
Atau, justru caleg pendatang ini hanya menjadikan dapil-dapil di bagian timur Indonesia ini sebagai mesin pendulang suara tanpa berjuang mengangkat kualitas dan kesejahteraan masyarakat lokal? Semuanya berpulang kepada pilihan masyarakat pada pemilu serentak nanti.