Menjaga Kewarasan Berdemokrasi
Mendekati hari pemungutan suara, iklim politik semakin memanas. Kegaduhan merambat dari tingkat elite hingga akar rumput. Meskipun kegaduhan dalam demokrasi adalah keniscayaan, ada etika dan aturan main yang harus ditegakkan untuk menjaga agar politik tidak mempertajam perpecahan di masyarakat.
Pada Oktober 2008, di Minnesota, Amerika Serikat, di tengah kampanye calon presiden dari Partai Republik, John McCain, dalam Pemilihan Presiden AS, seorang perempuan bertanya pada McCain terkait lawan politiknya, Barrack Obama, yang berasal dari Partai Demokrat.
Perempuan paruh baya itu menyampaikan, ia tidak percaya pada Obama karena mendengar hoaks bahwa Obama adalah keturunan Arab. “Saya tidak bisa percaya pada Obama. Saya pernah baca di suatu tempat bahwa dia itu seorang Arab,” kata perempuan itu sedikit terbata-bata.
Dari kacamata elektoral, informasi seperti itu bisa saja menguntungkan McCain. Namun, Mccain memilih sebaliknya. Ia menggelengkan kepala, mengambil alih mic pengeras suara dari tangan perempuan itu, dan meluruskan informasi hoaks tersebut. McCain meminta para pendukungnya untuk tidak menyerang pribadi Obama.
“Tidak, tidak. Obama adalah pria dari keluarga baik-baik. Ia warga AS biasa yang kebetulan berbeda pendapat dengan saya terkait beberapa hal mendasar, tapi dia bukan (seorang Arab),” ucap McCain.
Enam tahun setelah itu, AS menghadapi Pilpres 2016 di mana Hillary Clinton maju melawan Donald Trump. Kontestasi pemilu lebih sengit, bebas, sarat hoaks dan ujaran kebencian, hingga mempertajam polarisasi di masyarakat. Kini, dalam berbagai kajian indeks berdemokrasi terbaru, AS yang dulunya patron kehidupan demokrasi, terjun bebas menjadi negara berkategori demokrasi cacat.
Indonesia saat ini dikhawatirkan berada di persimpangan. Dalam dua bulan terakhir, elite berkali-kali mengibaratkan pemilu sebagai ajang perang. Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Moeldoko, menyebut pilpres sebagai ‘perang total’ untuk merebut kemenangan. Prabowo juga menyoroti kerasnya pertarungan pilpres kali ini yang penuh kebohongan. Ia menyebutnya lebih sulit daripada perang.
Jargon \'pesta demokrasi\' yang sejak reformasi kerap dipakai untuk menggambarkan pemilu, seolah tidak tepat lagi. Nuansa pemilu lebih menegangkan dengan dihalalkannya berbagai cara, dari hoaks, politik identitas, sampai ujaran kebencian yang mengancam keutuhan bangsa.
Dalam acara bincang-bincang Satu Meja yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (6/3/2019), Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Kiki Sjahnakrie mengatakan, mengikisnya kohesi sosial saat ini seharusnya menjadi peluit peringatan jangka panjang.
Kondisi sekarang adalah residu dari Pilpres 2014 ketika Jokowi dan Prabowo pertama kali beradu. Polarisasi di masyarakat dipupuk oleh rivalitas yang terus hidup selama 4,5 tahun terakhir akibat tahun politik yang datang lebih cepat, khususnya, dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017.
Menurutnya, kondisi sekarang adalah residu dari Pilpres 2014 ketika Jokowi dan Prabowo pertama kali beradu. Polarisasi di masyarakat dipupuk oleh rivalitas yang terus hidup selama 4,5 tahun terakhir akibat tahun politik yang datang lebih cepat, khususnya, dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017.
Kondisi ini diperparah dengan masa kampanye Pemilu 2019 yang panjang dan sengit serta liarnya peran media sosial dalam diskursus politik.
“Saya bukan pesimistis, tetapi ini peringatan bahwa cara-cara yang keras yang semakin mendorong keterbelahan di masyarakat harus dihentikan,” kata Kiki di acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu.
Turut hadir dalam acara itu Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Jimly Asshidiqie, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanudin Muhtadi, Pendiri Gerakan Arah Baru Indonesia Fahri Hamzah, Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin Maman Imanulhaq, dan Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandaiga Uno Priyo Budi Santoso.
Tenggelamnya akal sehat
Burhanudin mengatakan, polarisasi dalam kehidupan berdemokrasi mulai menjadi masalah ketika menenggelamkan akal sehat, seperti saat ini. Hasil risetnya, kewarasan publik untuk berpikir obyektif dan kritis mengikis dengan berkembangnya fanatisme dan keberpihakan politik pada Jokowi dan Prabowo.
Di tengah kondisi itu, ujarnya, harus ada aturan main dalam berpolitik. Seperti yang dilakukan McCain saat kampanye Pilpres AS 2008, elite Indonesia pun harus sadar diri dan tahu batasan untuk tidak memperparah perpecahan di masyarakat. "Teladan seperti itu harus muncul. Dalam berlalu lintas, ada aturan yang tidak boleh dilabrak, demikian juga politik," ujarnya.
Kegaduhan saat ini diyakini Jimly tidak bertahan lama. Menurutnya, Indonesia sudah berkali-kali menghadapi turbulensi politik, tetapi terbukti tetap bisa bertahan. Kondisi saat ini bagian dari proses mematangkan demokrasi, asal diiringi etika politik elite serta kedewasaan publik dalam bersikap.
“Nuansa pragmatis transaksional membuat politik kita jauh dari deadlock, karena elite akan mengikuti siapapun yang menang. Bagi-bagi kue kekuasaan yang pragmatis itu menunjukkan elite kita tidak terlalu serius dalam berpolitik, makanya masyarakat juga jangan terlalu serius,” katanya.
Lantas, di sisa 40 hari masa kampanye ini, apakah para elite akan terus menabuh genderang perang?
Priyo mengatakan, elite perlu introspeksi diri dan mengambil inisiatif untuk mendinginkan suasana. “Ini pekerjaan rumah elite-elite, saya, kita semua, yang mulai defisit kenegarawanan. Namun, saya percaya ini tidak lama, hanya badai musiman lima tahun,” katanya.
Menurut Maman, pemilu yang gaduh sah-sah saja, asalkan substantif. Tantangan pendewasaan politik saat ini bukan hanya untuk elite, tetapi juga publik yang mudah termakan hoaks dan fitnah.
Pemilu yang gaduh sah-sah saja, asalkan substantif. Tantangan pendewasaan politik saat ini bukan hanya untuk elite, tetapi juga publik yang mudah termakan hoaks dan fitnah
“Demokrasi itu adu gagasan, berdebat tidak apa-apa, para founding fathers juga dulu sampai menggebrak meja, tetapi tetap substantif dan jangan menyimpan kebencian,” katanya.
Mungkin benar, kita ibarat sedang berperang. Bukan sekadar pertarungan elektoral di tingkat elite, melainkan perang sosial sehari-hari untuk melawan sesat pikir, fanatisme politik, kebencian, diskriminasi, dan semburan kebohongan yang diwajarkan.
Di tengah ancaman kewarasan yang semakin menipis ini, demi menjaga keutuhan masyarakat, alangkah baiknya kalau sikap keteladanan seperti Mccain saat Pemilu AS 2008 juga ditunjukkan oleh Jokowi, Prabowo, dan para elite di lingkaran mereka.