Ombudsman RI Usulkan UU Khusus ”Peer to Peer Lending”
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya regulasi setingkat undang-undang untuk mengatur teknologi finansial peminjaman antarpihak atau peer to peerlending. Sebab, peraturan yang berlaku saat ini belum bisa menindak perusahaan yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Hal ini dikemukakan Komisioner Ombudsmasn Republik Indonesia (ORI), Dadan Suharmawijaya, Jumat (8/3/2019), dalam jumpa pers di Kantor ORI, Jakarta. Hadir pula Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Teknologi Finansial OJK Hendrikus Passagi, dan Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Tongam L Tobing.
Selain itu, turut hadir Ketua Subdirektorat Pengendalian Konten Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika Anthonius Malau dan Analis Senior Bank Indonesia Yosamartha. Sebelum jumpa pers, mereka mengadakan pertemuan tertutup.
”Dari pertemuan ini, kami sepakat bahwa dibutuhkan regulasi setingkat UU untuk menindak penyelewengan atau penipuan oleh kriminal online berbaju tekfin peminjaman antarpihak,” kata Dadan.
Dadan menambahkan, pertemuan itu bertujuan menelusuri dan memproyeksikan perkembangan industri teknologi finansial (tekfin) peminjaman antarpihak. Ia juga menggarisbawahi, permasalahan seperti teror untuk membayar utang yang menimpa para peminjam dari tekfin peminjaman antarpihak digolongkan sebagai pidana umum.
Hendrikus mengatakan, belum ada UU khusus untuk mengatur peminjaman antarpihak berbasis tekfin. Hal ini berbeda dengan jasa keuangan lainnya seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi yang sudah diatur UU.
Saat ini, aktivitas perusahaan tekfin peminjaman antarpihak diregulasi Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun, POJK tidak bisa memidanakan pelanggarnya.
”POJK hanya bisa memberikan sanksi paling jauh berupa pencabutan tanda daftar serta perizinan, tidak ada sanksi pidana. Kami butuh rekan untuk menopang tumbuhnya ekonomi digital. Karena itu, usulan dari Ombudsman untuk mengusulkan UU ini sangat baik,” katanya.
Menurut Hendrikus, UU itu akan melengkapi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Konsumen yang masuk Program Legislasi Nasional 2019. Namun, UU yang diusulkan tidak boleh bersifat terlalu rigid untuk memberikan peluang bagi perusahaan berbasis digital terus tumbuh.
Saat ini, POJK Nomor 77/POJK.01/2016 hanya mengawasi 99 perusahaan anggota AFPI yang tercatat di OJK. Hendrikus mengatakan, AFPI bisa mengatur dirinya sendiri tanpa pengawasan prudential dari OJK seperti bank dan asuransi.
Menurut Sunu, AFPI membuat sendiri acuan perilaku (code of conduct) bagi anggotanya, seperti membatasi bunga pinjaman 0,8 persen per hari hingga hari ke-90 atau hingga senilai 100 persen pinjaman. Kredit juga harus dijaminkan kepada lembaga asuransi kredit.
Selain itu, cara penagihan harus sopan, misalnya tidak menggunakan kata kasar. Perusahaan juga hanya boleh mengakses kamera ponsel, global positioning system (GPS), serta mikrofon ponsel melalui aplikasi yang diunduh pengguna. Celakanya, acuan ini tidak berlaku bagi penyedia tekfin peminjaman antarpihak non-anggota AFPI.
”Yang dilakukan oleh kriminal online ini adalah bunga yang gila-gilaan dan penagihan tak beretika. Data-data pribadi pengguna diambil dan digunakan untuk menagih utang. Karena itu, perlu upaya untuk menjaga agar industri tekfin ini bisa tumbuh dengan sehat,” kata Sunu.
Pengawasan menjadi penting karena industri ini memiliki perputaran uang yang besar, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Mengutip data Kementerian Koperasi dan UMKM, Hendrikus mengatakan, ada sekitar 60 juta unit UMKM secara nasional.
”Diperkirakan kebutuhan pembiayaan UMKM yang belum mampu dipenuhi perbankan mencapai Rp 600 triliun. Ini tidak bisa disediakan oleh bank karena kebanyakan UMKM tidak punya rekening bank ataupun kolateral. Tekfin peminjaman antarpihak bisa mengisi ruang ini,” kata Hendrikus.
Hingga Januari 2019, sejumlah 99 anggota AFPI telah menyalurkan dana sebesar Rp 26 triliun dari total 260.000 pemberi pinjaman untuk sekitar 5,6 juta peminjam. Menurut data Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pinjaman yang disalurkan berkontribusi menyerap 215.433 tenaga kerja.
Menutup ilegal
Tongam mengatakan, sejak Februari hingga awal Maret ini Satgas Waspada Investasi OJK sudah menutup 168 aplikasi tekfin pinjaman antarpihak ilegal.
”Kami punya tim pemantauan siber yang mengecek keberadaan aplikasi-aplikasi tidak berizin ini. Kami bekerja sama dengan Kominfo dan Bareskrim Polri untuk menutup aplikasi ini,” ujar Tongam.
Ia mengatakan, aplikasi itu berasal dari Google Play Store ataupun situs daring. Para pengembang aplikasi ilegal itu bukan hanya dari dalam negeri, melainkan juga berasal dari China dan Amerika Serikat.
Tongam menjelaskan, sejak pertengahan tahun lalu hingga saat ini, satgas telah menutup total 803 aplikasi tekfin pinjaman antarpihak yang ilegal.
Ia mengakui, setelah aplikasinya ditutup, sejumlah pelaku terus membuat aplikasi serupa yang ilegal.
Anthonius mengatakan, Kominfo melakukan pemblokiran aplikasi dan situs itu dengan berkoordinasi dengan satgas OJK.
”Ketika satgas bilang aplikasi A, B, C ini ilegal, kami akan langsung segera blokir. Ini memang tugas dan kewenangan kami,” ujar Anthonius.
Ia mengatakan, tidak hanya menutup aplikasi yang sudah dipastikan ilegal, Kominfo juga aktif secara mandiri melakukan penyisiran di dunia maya. Ketika menemukan aplikasi yang terindikasi ilegal, mereka akan berkoordinasi dengan satgas OJK. Setelah dipastikan ilegal, aplikasi itu segera akan ditutup.