Pendidikan Masyarakat Berdayakan Komunitas Marjinal
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pendidikan masyarakat tidak hanya bertujuan membangun literasi di komunitas yang tak memiliki kesempatan dan akses menikmati pendidikan formal. Pendidikan masyarakat juga harus memberdayakan mereka dengan membangun mental wirausaha dan menajamkan keterampilan kerja.
Pesan itu menjadi inti dalam Kongres Asosiasi Pendidikan Masyarakat Indonesia (Apenmasi) yang diadakan di Universitas Negeri Jakarta pada hari Rabu (6/3/2019). Kongres diikuti 17 perguruan tinggi yang memiliki program studi pendidikan masyarakat ataupun pendidikan luar sekolah ini mengangkat tema "Agenda Strategis: Memajukan Mereka yang Tertinggal".
"Pada dasarnya, konsep pendidikan masyarakat berlandaskan teori Paulo Freire, filsuf asal Brazil, bahwa negara miskin dengan masyarakat pengangguran dan tidak terlatih itu karena pendidikan sangat jauh dari masyarakat," kata Ketua Umum Apenmasi Hafid Abbas. Artinya, pendidikan tidak terjangkau secara geografis maupun sistem yang tidak ramah kepada para penduduk miskin dan memiliki standar akademik yang dianggap tidak sesuai untuk sekolah formal.
negara miskin dengan masyarakat pengangguran dan tidak terlatih itu karena pendidikan sangat jauh dari masyarakat.
Hafid yang pernah menjabat sebagai Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2012-2017 menjelaskan, kewajiban negara ialah mencerdaskan semua rakyatnya. Dalam praktiknya segenap masyarakat harus terlibat untuk pendidikan karena pendidikan manfaatnya untuk semua.
Kongres memetakan 18 komunitas sasaran Apenmasi bersama dengan permasalahan, rencana pendekatan atas permasalahan, dan solusi. Menurut Hafid, agenda strategi ini berguna bagi para pelaku pendidikan masyarakat yang bisa berupa perguruan tinggi, yayasan swasta, organisasi keagamaan, hingga lembaga pemerintah untuk memiliki peta prioritas. "Pelaksanaan di lapangan agar tidak tumpang tindih, lebih terarah, berkesinambungan, dan bisa membangun kolaborasi," katanya.
Beberapa komunitas tujuan pendidikan masyarakat adalah perempuan, nelayan, masyarakat adat, orang dengan HIV/AIDS, penyandang disabilitas, pekerja migran, masyarakat miskin kota, dan pekerja di sektor informal.
Diskriminasi, kemiskinan, keterasingan geografis, perubahan iklim, keterbatasan fisik, usia, dan status kepegawaian menjadi hambatan bagi komunitas itu untuk maju. Padahal, dengan pendidikan yang cukup, identitas mereka tidak akan menjadi beban karena mereka memiliki keterampilan.
"Anggota komunitas ini bekerja keras tetapi tak bisa keluar dari jebakan kemiskinan. Penyebabnya adalah tak memiliki literasi mulai dari membaca dan menulis, pengelolaan keuangan, hingga aturan dan perlindungan hukum. Pendidikan masyarakat bertugas memberi pengetahuan literasi ini," kata Hafid.
Komunitas nelayan, misalnya, memiliki wilayah tangkapan yang menyempit karena bersaing dengan nelayan modern yang menggunakan alat tangkap berteknologi tinggi. Nelayan tradisional tidak memiliki kuasa dalam menentukan harga ikan hasil tangkapan dan juga sukar untuk mendapat modal untuk pengembangan usaha.
Menurut Hafid, dalam agenda strategis masalah ini bisa diturunkan ke dalam agenda penelitian dan pengembangan (litbang) serta agenda pengabdian kepada masyarakat. Agenda litbang misalnya bisa meneliti peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan tradisional, bisa juga meneliti tingkat akses ke lembaga permodalan.
"Agenda pengabdian masyarakat bisa diwujudkan dengan melakukan pelatihan dan pembinaan koperasi nelayan dan kewirausahaan produk turunan hasil tangkapan," ungkapnya. Kedua agenda bisa dikembangkan lebih lanjut sesuai temuan lapangan.
Berdaya
Perguruan-perguruan tinggi dengan prodi pendidikan masyarakat umumnya sudah menerapkan kewirausahaan sosial dan finansial di wilayah dampingan mereka. Universitas Pendidikan Indonesia misalnya, sudah mengembangkan usaha pengolahan eceng gondok menjadi berbagai produk siap pakai seperti tas dan perabotan.
Dosen pendidikan masyarakat dari Universitas Ibnu Chaldun Bogor Karim Abdul Halim mengembangkan usaha pengolahan sampah di wilayah dampingannya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. "Kami mendampingi para pemulung. Selain mengajar membaca, menulis, pengasuhan anak, dan gizi, juga mengajar mengenai daur ulang sampah yang baik sehingga bisa menyejahterakan mereka," paparnya.
Kantong plastik keresek biasanya menjadi masalah bagi pemulung karena harga per kilogram hanya Rp 200, padahal bobot itu setara 1,5 karung. Karim dan mahasiswanya memberi pelatihan peleburan kantong keresek menjadi balok yang bisa digunakan sebagai pengganti ubin. "Juga ada daur ulang popok bekas menjadi medium tanam. Sekarang mulai dikembangkan budi daya pohon-pohon buah dengan medium dari olahan popok," ujarnya.
Menurut Karim, setelah peningkatan pendapatan keluarga, para pemulung mulai mempraktikkan pola pengasuhan dan pengelolaan keuangan yang baik. Setiap tahapnya dipantau oleh pihak perguruan tinggi.