Pengembangan Sistem Vokasi Bukan ”Mission Impossible”
Keseriusan Presiden Joko Widodo mengembangkan sumber daya manusia Indonesia melalui vokasi bukan tanpa sebab. Dalam Revolusi Industri 4.0, kompetensi dan produktivitas menjadi dua kata kunci utama dalam memenangi kompetisi global yang bisa dicapai melalui sistem vokasi nasional.
Apa yang terjadi pada Indonesia saat bonus demografi muncul tahun 2020-2035 jika kualitas sumber daya manusia (SDM) tidak segera dibenahi? Indonesia akan kembali menjadi pasar empuk bagi produk-produk negara lain, yang membuat kita kehilangan banyak peluang untuk memajukan industri dan menciptakan lapangan kerja layak dari ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy).
Presiden Jokowi telah memerintahkan anggota Kabinet Kerja untuk membenahi vokasi, baik pendidikan maupun pelatihan, agar Indonesia bisa memiliki angkatan kerja kompeten dan produktif. Tugas mereka jelas, agar perekonomian berbasis pengetahuan, kreativitas, dan inovasi bisa semakin maju di Indonesia berkat SDM yang kompeten dan produktif.
Untuk menuju ke sana memang tidak mudah. Ada 77 juta (58,78 persen) pekerja berpendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dalam angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2018 (Badan Pusat Statistik) serta 11,24 persen dari 7 juta penganggur terbuka merupakan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK).
Hal itu yang membuat Indonesia membutuhkan peta jalan tahapan dan target perjalanan secara gamblang dan terukur dalam sistem vokasi terintegrasi. Kita bisa belajar dari kesuksesan sejumlah negara mengembangkan vokasi untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, seperti Jerman, Swiss, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (8/3/2019), mengatakan, pengembangan SDM melalui sistem vokasi nasional, baik lewat pendidikan maupun pelatihan, bukanlah misi yang mustahil (mission impossible). Bagi dunia usaha, keseriusan Presiden Jokowi membangun sistem vokasi nasional seperti pucuk dicinta ulam tiba.
”Selama ini, kita mengalami keterbatasan SDM kompeten dan produktif setiap kali berinvestasi. Belum lagi persoalan upah minimum yang naik setiap tahun tanpa tolok ukur kenaikan produktivitas sehingga semakin membebani daya saing nasional di pasar global,” ujar Anton.
Isu kenaikan upah minimum setiap tahun yang mengabaikan tingkat produktivitas buruh turut membuat pasar kerja Indonesia relatif kaku. Di sisi lain, sedikitnya 2,7 juta pencari kerja baru masuk ke pasar kerja setiap tahun. Apabila tidak memiliki cukup keterampilan untuk bekerja, mereka akan menambah angka pengangguran terbuka.
Kondisi ini yang membuat Presiden Jokowi berkukuh mengembangkan sistem vokasi nasional tahun 2019 dengan menyasar para pekerja berpendidikan SD dan SMP di pasar kerja saat ini. Sistem vokasi nasional juga mendorong remaja usia sekolah menikmati kurikulum pendidikan yang tidak semata mengajarkan teori, tetapi juga praktik keterampilan dasar.
Kepemimpinan
Pemerintah pun meningkatkan alokasi dana pengembangan SDM dalam APBN 2019, yang untuk pendidikan saja mencapai Rp 492 triliun. Namun, dana saja tidaklah cukup.
Kita membutuhkan kepemimpinan Presiden Jokowi dalam mengerahkan dan mengarahkan semua instrumen pemerintahan bersatu padu bersama pemangku kepentingan, terutama dunia usaha dan akademisi, membangun sistem vokasi nasional yang berkelanjutan. Visi kuat mengembangkan SDM kompeten dan produktif akan membawa Indonesia semakin maju karena mampu menciptakan ekonomi berbasis pengetahuan.
”Dalam jangka pendek harus ada program yang terkait antara kebutuhan sektor riil, terutama industri dan jasa, untuk pemenuhan kebutuhan SDM kompeten dan produktif. Sekarang, yang dibutuhkan adalah program terpimpin pengembangan vokasi melibatkan industri-industri padat karya sehingga langkah pembangunan SDM jadi lebih fokus,” tutur Enny.
Baca juga: Indonesia Butuh Sistem Vokasi Terintegrasi
Upaya pemerintah untuk membangun sistem vokasi nasional yang unggul sudah berjalan sejak tahun 2016. Presiden Jokowi sudah merintisnya ketika dia mengunjungi empat negara di Eropa dalam lima hari.
Dalam kunjungan kenegaraan ke Jerman, Inggris, Belgia, dan Belanda, Presiden Jokowi fokus pada isu SDM, investasi sektor jasa, dan pendidikan. Saat bertemu Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Jokowi secara terbuka mengemukakan, Indonesia ingin bekerja sama mengembangkan sistem vokasi yang menghasilkan SDM unggul seperti Jerman.
Kemajuan perekonomian Jerman, salah satunya, berkat SDM yang kompeten dan produktif. Jerman mencapainya setelah menjalankan vokasi sistem ganda sejak tahun 1869. Disebut vokasi sistem ganda karena menyatukan pembelajaran materi umum sekolah dan praktik kerja di perusahaan dengan komposisi 30 persen banding 70 persen. Biasanya 1-2 hari mereka belajar di kelas tentang materi pendidikan umum, 3-4 hari lagi praktik materi tentang profesi di perusahaan.
Upaya mendidik generasi muda agar kompeten sesuai kebutuhan pasar kerja itu lalu menjadi strategi Jerman berinvestasi modal manusia. Jerman menerapkan wajib belajar sembilan tahun. Empat tahun pertama di sekolah dasar, yang mengajarkan pendidikan umum, meski masih ada negara bagian menerapkan enam tahun. Kemudian, lima tahun berikutnya di sekolah menengah, yang mulai mengenalkan keterampilan praktis tentang permesinan dan pertukangan sebagai bagian dari orientasi profesi.
Pada kelas 9 atau 10, siswa dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah vokasi untuk menekuni salah satu dari 327 profesi kerja atau kuliah. Sebanyak 41 persen lulusan sekolah menengah, rata-rata berusia 15 tahun, melanjutkan ke vokasi. Namun, ada pula 34 persen lulusan sekolah tinggi yang kembali mengikuti pendidikan vokasi agar lebih mudah memasuki pasar kerja.
Kolaborasi
Saat ini, Kadin Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Karawang dan Bekasi, Jawa Barat, tengah mengembangkan vokasi sistem ganda. Di Karawang, dunia industri atas dukungan penuh Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana dan pendampingan Kadin Jerman (Industrie-und Handelskammer/IHK Trier) berkolaborasi mengubah pola pikir dan cara pandang terhadap vokasi.
Kadin Indonesia bersama para pemangku kepentingan mengembangkan vokasi sistem ganda dengan mengawinkan proses belajar-mengajar sekolah menengah kejuruan dengan kebutuhan pasar kerja. Kegiatan belajar di SMK, yang sebelumnya didominasi pembelajaran teori dengan praktikum tiga bulan terakhir menjelang lulus, secara bertahap dirombak menjadi didominasi 70 persen praktik di dunia industri dan 30 persen belajar di kelas.
Belajar dari vokasi pelatihan di Jerman, seorang peserta yang belajar di suatu pabrik produksi teknologi perkebunan anggur akan berlatih mengikir logam setiap hari selama empat bulan pertama dari tiga tahun masa pelatihannya. Salah satu tujuannya adalah melatih kesabaran, ketelitian, dan membangun kompetensi dasar seorang pekerja yang selalu bekerja tuntas.
Strategi ini bertujuan membuat siswa SMK lebih cepat menyelami dunia kerja sehingga memiliki etos kerja tinggi dan produktif. Ibarat pepatah, alah bisa karena biasa, proses pembelajaran praktik secara simultan dan terus-menerus akan mampu menghasilkan pekerja kompeten dan produktif.
Tentu saja pemerintah bersama legislatif juga harus mampu menghasilkan regulasi kuat yang mendukung implementasi pola pembelajaran sekaligus praktik kerja dalam sistem vokasi nasional. Bagaimanapun, mengembangkan sistem vokasi nasional demi menghasilkan SDM berkualitas dan memajukan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan tidak seperti menegakkan benang basah. Keseriusan pemerintah dan para pemangku kepentingan membuat tekad membangun sistem vokasi nasional bukanlah mission impossible.