Kemenpora akan melakukan pertemuan dengan cabang-cabang olahraga dan Lembaga Anti Doping Indonesia agar pencegahan doping lebih ditingkatkan.
JAKARTA, KOMPAS - Temuan zat doping dari kelompok anabolik, metandienone, dalam pemeriksaan sampel lifter putri Indonesia kelas 59 kilogram, Acchedya Jagaddhita, semakin menegaskan pentingnya pengawasan dan pendampingan menyeluruh terhadap pelatnas cabang-cabang olahraga menuju Olimpiade 2020. Selain itu, kasus ini menjadi teguran keras agar Indonesia tidak terpaku dengan lifter elite yang ada, tetapi perlu disiapkan atlet-atlet angkat besi pelapis.
Wakil Ketua Pengurus Besar Persatuan Angkat Berat, Binaraga, dan Angkat Besi Seluruh (PB PABBSI) Djoko Pramono mengakui, ada keteledoran yang menyebabkan temuan zat doping dalam pemeriksaan sample Acchedya oleh Federasi Angkat Besi Internasional (IWF). ”Tidak ada satu pun orang di tim angkat besi Indonesia yang menginginkan bisa merebut prestasi dengan doping. Kami anggap ini sebagai musibah, kecelakaan. Kami mohon ampun, kami benahi lagi,” ujarnya, Rabu (6/3/2019).
Kasus doping Acchedya ini merupakan yang pertama terjadi di angkat besi Indonesia sejak kasus lifter putra Daryanto pada 1991. Ketika itu, menurut Djoko, Daryanto sangat terpukul, bahkan nyaris ingin mengakhiri hidupnya, karena mendapatkan larangan berlomba seumur hidup. Oleh karena itu, menurut Djoko, yang terpenting saat ini adalah mendampingi dan merehabilitasi Acchedya agar dia tetap mempunyai semangat hidup.
Tidak ada satu pun orang di tim angkat besi Indonesia yang menginginkan bisa merebut prestasi dengan doping
Di sisi lain, tim angkat besi Indonesia akan meningkatkan pengawasan dan pendampingan terhadap pelatih dan atlet di pelatnas. Pengawasan dan pendampingan itu dilakukan dengan melibatkan sejumlah dokter dan peneliti profesional untuk berkonsultasi terkait nutrisi dan obat-obatan atlet. Djoko juga meminta agar atlet dan pelatih tetap semangat mengikuti sejumlah kejuaraan penting menuju SEA Games 2019 dan Olimpiade Tokyo 2020.
Bukan kesengajaan
Kasus Acchedya ini diumumkan oleh IWF, Kamis (28/2/2019), terkait temuan zat anabolik Metandienone dalam pemeriksaan anti-doping. IWF menyebut telah menemukan zat terlarang itu dalam sampel A milik Acchedya saat tampil di kejuaraan Piala EGAT\'s Internasional di Thailand, 7-10 Februari.
Anabolik Metandienone adalah zat yang dipakai untuk meningkatkan massa otot. Penggunaannya dilarang oleh IWF. Acchedya mendapatkan larangan berlomba sementara hingga penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran aturan anti-doping.
Larangan berlomba bagi seorang atlet adalah neraka
Pelatih tim putri Indonesia, sekaligus Ibunda Acchedya, Supeni, mengaku lalai dalam mengawasi, mendampingi, dan menjalin komunikasi, dengan putrinya. ”Saya bertanggung jawab atas kejadian ini. Saya memohon maaf karena peristiwa ini telah mencoreng nama PB PABBSI,” ujarnya.
Supeni mengatakan, tidak ada faktor kesengajaan dalam peristiwa ini. ”Larangan berlomba bagi seorang atlet adalah neraka. Sebagai ibu, saya tidak mungkin menjerumuskan anak saya sendiri. Terhadap atlet-atlet lain saja saya membina sepenuh hati, apalagi terhadap anak sendiri,” ujar pelatih angkat besi asal Bekasi ini.
Sejak ada pengumuman dari IWF, tim angkat besi Indonesia sudah berkonsultasi dengan Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI) untuk menyelidiki kandungan obat-obatan yang digunakan Acchedya dalam tiga pekan terakhir.
Menurut Supeni, Acchedya sangat kooperatif melaporkan penggunaan obat-obatan, makanan, dan minuman yang dikonsumsi.
Persaingan Olimpiade
Hal yang sangat disesalkan Supeni adalah, tim angkat besi Indonesia harus kehilangan dua lifter putri potensial dalam waktu nyaris bersamaan, yaitu Sri Wahyuni Agustiani (kelas 49 kg) dan Acchedya Jagaddhita. Sri Wahyuni, peraih medali perak Olimpiade 2016 dan Asian Games 2018, absen dari pelatnas karena cuti hamil.
Tanpa kedua lifter putri ini persaingan angkat besi Indonesia ke Olimpiade 2020 semakin berat. Dua lifter putri yang tersisa, Nurul Akmal (+87 kg) menempati peringkat ke-8, sementara Syarah Anggraini (49 kg) menempati peringkat ke-20. Untuk tampil di Olimpiade, atlet harus duduk di peringkat delapan dunia.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto mengatakan, kasus doping yang menimpa tim angkat besi Indonesia harus menjadi pelajaran untuk cabang-cabang lain agar lebih ketat melakukan pengawasan dan pendampingan terhadap atlet. “Apalagi kita tahu, selama ini angkat besi sudah sangat ketat melakukan pengawasan terhadap atlet dengan menjalin kerja sama dengan perusahaan supplemen terpercaya,” katanya.
Selanjutnya, Gatot menuturkan, pihaknya akan melakukan pertemuan dengan cabang olahraga dan LADI agar perhatian terhadap pencegahan penggunaan doping bisa lebih ditingkatkan lagi. (DNA)