JAKARTA, KOMPAS — Pernikahan pada anak-anak tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga berdampak buruk pada kemajuan negara. Karena itu, batas usia perkawinan perlu direvisi agar para calon pengantin sudah matang ketika berkeluarga.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin menegaskan, perkawinan anak harus dilarang dan dicegah. Ia menuturkan, Indonesia dalam kondisi memprihatinkan karena berada di peringkat ketujuh dunia dan kedua di Asia Tenggara terkait perkawinan anak dibawah 18 tahun.
“Perkawinan anak berpengaruh pada kematian ibu saat melahirkan dan bayi yang dilahirkan, munculnya pekerja anak, serta gizi buruk,” kata Lenny dalam dialog media di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Berdasarkan data yang ia analisa, perkawinan anak berpengaruh pada kualitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Selain itu, perkawinan anak menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015, sebanyak 10 persen anak yang menikah di bawah umur tidak pernah sekolah atau tidak lulus sekolah dasar, 40 persen tamat sekolah dasar, dan 41 persen tamat sekolah menengah pertama.
Badan Pusat Statistik mencatat, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menjadi daerah paling banyak kasus perkawinan anak di bawah 18 tahun, sedangkan paling sedikit yakni Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Situasi tersebut berpengaruh pada jumlah siswa putus sekolah dasar (SD) pada tahun ajaran 2017/2018. Jumlah siswa putus SD di Kalsel sebanyak 462 orang, sedangkan DIY hanya 151 orang. Begitu juga dengan kasus siswa putus sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), Kalsel lebih banyak dibandingkan DIY.
Perkawinan anak juga berpengaruh pada masalah kesehatan. Kasus gizi buruk di Kalsel lebih banyak dibandingkan dengan DIY.
Gizi buruk terjadi karena asupan gizi yang seharusnya digunakan untuk ibu tumbuh dan berkembang harus dibagi dua dengan janin yang ada di kandungannya. Situasi tersebut dapat menyebabkan anak yang dilahirkan menjadi stunting atau tengkes.
Perkawinan anak juga menyebabkan kemajuan negara menjadi terhambat. Lenny mengatakan, mereka yang menikah di bawah umur 18 tahun, sebagian besar bekerja di sektor informal. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi dan kemampuan yang dapat digunakan di sektor formal.
Hal tersebut berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Lenny membandingkan antara IPM Kalsel dengan DIY. IPM Kalsel hanya 69,65 persen dan dibawah IPM Indonesia yakni sebesar 70,81 persen. Adapun IPM DIY sebesar 78,89 persen.
Lenny mendorong agar pernikahan anak dapat dikurangi melalui pendekatan kerjasama berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah pusat dan daerah, forum anak, lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media.
Revisi batas perkawinan
Koordinator Kelompok Kerja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia Indry Oktaviani mendorong agar pembahasan revisi Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan segerah dibahas di parlemen.
Adapun UU Perkawinan masih memberikan ruang untuk perkawinan anak di bawah 18 tahun. Pasal 7 ayat 1 disebutkan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”.
Bahkan, UU Perkawinan masih memberikan peluang perkawinan anak perempuan di bawah 16 tahun. Hal tersebut terjadi, ketika ada penyimpangan dalam Pasal 7 ayat 1, pasal tersebut dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau wanita. Akibatnya, masih ada anak yang menikah pada usia 10 tahun.
Koalisi Perempuan Indonesia pun melakukan advokasi kebijakan terhadap UU Perkawinan. Mereka telah melakukan Judicial Review UU Perkawinan hingga dua kali.
Setelah melalui berbagai proses, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan dan memberikan tenggat waktu bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maksimal tiga tahun untuk merevisinya. MK memutuskan, frasa usia 16 tahun bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
MK memberi mandat pada pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Perkawinan, khususnya menaikkan batas usia perkawinan perempuan. Indry berharap, putusan revisi UU Perkawinan dapat keluar sebelum pergantian anggota DPR dan pemerintahan.