JAKARTA, KOMPAS — Rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia guna memperluas cakupan instansi sipil yang dapat dimasuki prajurit aktif masih panjang prosesnya. Hingga saat ini draf revisi masih belum diterima Dewan Perwakilan Rakyat. DPR menilai, langkah itu harus dipertimbangkan secara matang karena dapat bertentangan dengan semangat reformasi TNI.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Hendrawan Supratikno, pada Jumat (8/3/2019), mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 itu memang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015–2019 sebagai inisiatif pemerintah. Namun, hingga saat ini, draf usulan belum disampaikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, revisi ini tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019.
”Setahu saya, sebagai anggota Baleg DPR, belum ada kemajuan. Bahkan, kami dengar dari Kementerian Hukum dan HAM, pemerintah belum berencana merevisinya dalam waktu dekat dan karena itu tidak masuk Prolegnas Prioritas 2019,” kata Hendrawan.
Penambahan jumlah instansi yang dapat ditempati perwira aktif itu dinilai Hendrawan tidak tepat dan berpotensi tidak sesuai dengan semangat reformasi TNI. Pemisahan peran TNI dan sipil dan meniadakan doktrin dwifungsi merupakan hasil reformasi yang diapresiasi masyarakat luas.
”Itu sebabnya kita tidak boleh terburu-buru mengubah hasil positif dari reformasi itu atas nama godaan dan tarikan apa pun yang sifatnya tidak esensial,” kata Hendrawan.
Pandangan serupa juga disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha. Sebagai mitra TNI di DPR, Satya menilai, untuk menyelesaikan masalah sumber daya manusia ini, sebaiknya diselesaikan oleh internal TNI melalui penataan organisasi yang lebih baik.
”Penyelesaian internal TNI lebih diutamakan, harus berdasarkan merit system, dan menjunjung mekanisme penataan organisasi yang lebih baik, seperti piramida,” kata Satya.
Meski demikian, anggota Fraksi Partai Golkar itu mengatakan, Komisi I akan tetap terbuka terhadap permintaan pertimbangan penambahan instansi yang dapat dimasuki perwira aktif. ”Ini perlu kajian mendalam bersama DPR dan pemerintah,” katanya.
Saat ini ada kelebihan jumlah perwira menengah dan tinggi TNI. Akibatnya, ratusan perwira menengah dan tinggi tanpa jabatan. Restrukturisasi itu akan dilakukan. Salah satunya dengan menempatkan sejumlah perwira tinggi TNI yang ”menganggur” ke sejumlah kementerian dan lembaga sipil (Kompas, 13/2/2019).
Sejauh ini, berdasarkan Pasal 47 UU TNI, ada 10 instansi sipil yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan, yaitu Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Pertahanan; Sekretaris Militer Presiden; Intelijen Negara; Sandi Negara; Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas); Dewan Pertahanan Nasional; Badan Search and Rescue (SAR) Nasional; Badan Narkotika Nasional; dan Mahkamah Agung.
Namun, pada Selasa lalu, Inspektur Jenderal TNI Letnan Jenderal Muhammad Herindra mengatakan, pihaknya sedang dalam proses penyusunan revisi UU TNI guna menambahkan beberapa lembaga yang jabatannya dapat dipegang perwira aktif. Lembaga itu adalah Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kantor Staf Presiden, dan Badan Keamanan Laut.
Direktur Imparsial Al Araf menilai, langkah itu tidak tepat. Seharusnya, problem perwira tinggi dan menengah yang ”menganggur” diselesaikan melalui restrukturisasi internal TNI.
Menurut dia, banyak cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan penumpukan perwira itu. Pertama membangun divisi-divisi baru yang berfungsi tempur, seperti di Divisi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Komando Pertahanan Udara (Kohanud), Armada Laut, dan Unit Siber. ”Dengan demikian, ada jabatan baru,” kata Al Araf.
Upaya-upaya lain yang dapat dilakukan adalah pembatasan seleksi Sekolah Staf dan Komando TNI dan mengkaji ulang sistem perekrutan tentara dengan memperhatikan jumlah personel dan jabatan yang dibutuhkan.
Rencana penambahan institusi ini mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil. Salah satunya aktivis HAM dan pengajar Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet.
Robertus berorasi menolak wacana itu yang dinilainya mencederai semangat anti-dwifungsi militer dalam reformasi, pada akhir Februari 2019, dalam aksi kamisan. Saat itu, Robertus menyanyikan potongan pelesetan ”Mars ABRI”.
Akibat orasi itu, Robertus ditangkap pada Rabu (6/3/2019) atas tuduhan menghina institusi TNI.