Situs Goa Liang Bua Flores Menunggu Sentuhan Kreatif
Masih ingat situs Liang Bua di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang sempat menggemparkan dunia antropologi dan ilmuwan purbakala pada tahun 2003?
Di situs itu ditemukan manusia purba Flores, Homo floresiensis, dan binatang-binatang purba. Temuan ini memiliki makna penting secara umum bagi ilmuwan dan secara khusus bagi masyarakat Flores. Sayang, lokasi ini belum mendapat sentuhan kreasi dan inovasi yang bisa mendatangkan manfaat bagi masyarakat lokal.
Memasuki situs Goa Liang Bua di Dusun Gola Manuk, Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, lolongan anjing kampung seakan menyapa setiap pengunjung. Pagi itu, Senin (28/1/2019), warga Dusun Golo Manuk yang berjumlah 189 jiwa tampak sibuk.
Beberapa perempuan menyapu halaman rumah dan menyiram bunga. Kaum pria membelah dan memotong kayu bakar. Sebagian warga lain bersiap pergi ke ladang. Gapura berdiri di sisi kiri jalan desa. Sejumlah huruf tidak dapat dibaca lagi karena kusam dan lapuk.
Sekitar 20 meter dari gapura, di sisi kiri jalan, terdapat sebuah bangunan beton berukuran sekitar 20 meter x 10 meter. Itulah Museum Mini Liang Bua yang berisikan seluruh kisah tentang proses penemuan manusia purba Flores di dalam goa itu.
Penjaga museum itu bernama Martha (53), warga dari Dusun Golo Manuk. Setiap tamu diperkenankan mengisi buku tamu, kemudian membayar tiket masuk senilai Rp 20.000 per orang untuk WNI dan Rp 70.000 untuk WNA.
Martha yang mengatakan hanya bersekolah sampai kelas III SD itu mempersilakan pengunjung membaca, melihat, dan mempelajari sendiri semua informasi yang dipajang di museum mini itu. Informasi tentang goa dan semua temuan di dalam goa cukup lengkap tersaji.
Temuan yang disebut manusia purba Flores itu diumumkan pada 2003. Sampai hari ini, tampilan semua temuan sejarah itu seperti sebuah museum kuno, tanpa kreasi dan inovasi ala era milenial.
Budayawan NTT, Pastor Gregor Neonbasu SVD, mengatakan, Pemerintah Kabupaten Manggarai mestinya bekerja sama dengan seniman dan budayawan lokal, menerjemahkan kembali temuan purba itu untuk kehidupan sehari-hari. Caranya bisa dilakukan dalam bentuk karya yang kreatif dan inovatif tanpa menghilangkan makna asli dan hakiki temuan.
Pemerintah Kabupaten Manggarai mestinya bekerja sama dengan seniman dan budayawan lokal, menerjemahkan kembali temuan purba itu untuk kehidupan sehari-hari.
”Perlu dibangun semacam sanggar budaya, pusat budaya Flores di sekitar Goa Liang Bua, dilengkapi panggung hiburan dan melibatkan masyarakat setempat. Pelaku seni atau budayawan boleh diambil dari luar asal mereka mampu menerjemahkan, mengkreasikan, semua temuan itu untuk dihidupkan kembali dalam bentuk seni,” kata Neonbasu.
Kisah tentang temuan manusia purba Flores sudah lengkap tersaji di Museum Mini Liang Bua. Seniman dan budayawan boleh mengambil semua kisah, cerita, gambar, dan kehidupan manusia purba Liang Bua, kemudian dipresentasikan kembali dalam bentuk sandiwara, drama, film, cerita rakyat, atau jenis seni lain.
Selain temuan yang sudah dipublikasikan oleh ahli, para tetua adat setempat pun dipastikan memiliki sejarah, legenda, cerita rakyat, atau kisah masa lalu yang masih ada kaitan dengan kehidupan manusia purba Liang Bua. Cerita dari tetua adat bisa dikaitkan dengan sejumlah temuan yang ada, kemudian dikolaborasikan menjadi semua kisah yang menarik untuk dipresentasikan.
Pemda setempat harus mulai menginisiasi sehingga temuan yang telah menelan biaya miliaran rupiah itu tidak hanya sekadar memenuhi literatur sejarah kehidupan purba Flores. Namun, temuan masa lalu itu bisa diaplikasikan, diterjemahkan menjadi sebuah seni yang bermanfaat bagi masyarakat. Selain menghibur, hal itu juga mengingatkan generasi muda Flores tentang nenek moyang mereka di masa lalu.
Hasil kreasi dan inovasi itu bisa dijual dalam berbagai bentuk untuk kesejahteraan masyarakat setempat, misalnya sajak-sajak serta gambar-gambar manusia dan binatang purba Flores. Adapun cerita rakyat dapat menjadi buku bacaan untuk tingkat sekolah.
”Apalagi kalau dibangun pusat budaya di Liang Bua, tentu ada pergelaran seni budaya di situ. Setiap pengunjung pasti berkontribusi dalam bentuk tiket masuk, pemakaian rumah penduduk menjadi homestay. Kuliner dan produk lokal lain, seperti kopi Manggarai, dapat dijual di tempat itu,” kata Neonbasu.
Apabila perlu, cerita tentang kehidupan manusia purba Flores diajarkan di sekolah dasar sebagai salah satu muatan lokal sekolah. Ini untuk mengingatkan generasi muda Flores tentang asal-usul mereka dan kehidupan nenek moyang zaman dulu.
Fidelis Jambak (45), tokoh masyarakat Liang Bua, mengatakan, penemuan situs itu sejauh ini hanya menjadi pajangan sejarah. Tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar, terutama dalam kehidupan sosial ekonomi warga.
Penemuan situs itu sejauh ini hanya menjadi pajangan sejarah. Tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar, terutama dalam kehidupan sosial ekonomi warga.
Dusun Gola Manuk, Desa Liang Bua, dengan jumlah penduduk 189 jiwa tetap miskin. Buktinya, semua menerima beras warga miskin dan dana Program Keluarga Harapan.
Ia berharap pemda bisa memfasilitasi kegiatan tertentu di sekitar Liang Bua untuk menarik massa. Jika makin banyak pengunjung, desa itu pun akan hidup.
Saat ini, jumlah pengunjung Liang Bua rata-rata dua orang per hari. Mereka hanya datang, melihat, ambil gambar, kemudian pulang.
Warga bangga bahwa nenek moyang mereka diduga menetap di dalam goa itu. Tidak seperti di daerah lain, warga setempat tidak memberikan sesajen kepada leluhur mereka di Liang Bua tersebut.
”Kami tidak tahu, tempat itu adalah rumah nenek moyang dulu. Jika sebelumnya lokasi itu kami jadikan tempat pergelaran ritual kepada leluhur, tentu kami tidak biarkan dilakukan penggalian di situ,” kata Jambak.
Goa dingin
Liang Bua dalam bahasa Manggarai berarti goa yang dingin. Letaknya sekitar 14 kilometer arah utara Ruteng dengan ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut. Panjang goa 50 meter dengan lebar 40 meter dan tinggi (atap) 25 meter. Goa terletak sekitar 200 meter sebelah barat laut pertemuan Sungai Wae Rancang dan Sungai Wae Mulu.
Goa ini memang layak sebagai tempat tinggal di masa lalu. Permukaan goa luas dan relatif datar, sirkulasi udara sangat baik, mulut goa lebar, atap tinggi, dan sinar matahari cukup sepanjang musim. Terletak di dekat aliran sungai, lokasi itu memberi peluang bagi manusia zaman dulu untuk mendapatkan beberapa jenis makanan.
Manusia purba
Data yang disajikan di Museum Mini Liang Bua menyebutkan, kisah penghunian Nusantara diawali penemuan fosil manusia purba Jawa, Homo erectus. Manusia ini hidup pada zaman Pleistosen (2 juta hingga 10.000 tahun lalu). Mereka datang dari Benua Afrika melalui koridor sebelah barat Nusantara, melintasi Paparan Sunda. Bagi Homo erectus, Nusantara merupakan jalan buntu (cul-de-sac) bagi pengembaraan mereka.
Ketika zaman es, sebagian permukaan Laut China Selatan membentuk daratan luas (Paparan Sunda), menghubungkan Benua Asia dengan Pulau Sumatera, Pulau Jawa dengan Pulau Kalimantan. Paparan ini layaknya sebuah jembatan darat, mengantar mereka sampai tempat penghunian terakhir, yakni Jawa.
Laut Arafura juga mengalami pendangkalan sehingga beberapa wilayah di Indonesia timur (Papua) seakan-akan menyatu dengan Benua Australia. Daratan bekas laut itu kemudian disebut Paparan Sahul.
Pada saat inilah terjadi proses migrasi manusia secara dua arah, baik wilayah Indonesia timur maupun Indonesia barat. Proses bergabungnya pulau-pulau dengan daratan Asia dan daratan Australia ini ternyata tidak pernah terjadi dengan Pulau Flores.
Hal ini mendorong para ahli berkeyakinan bahwa Flores tidak pernah didatangi dan dihuni oleh manusia dari luar sebelum manusia modern yang sudah memiliki kemampuan membuat perahu tiba.
Pada tahun 1950-1065, pastor dari Belanda, Theodorus Verhoeven SVD, yang mengajar di Seminari Mataloko, Ngada, menemukan artefak batu dengan tulang-tulang stegodon (gajah purba) di Cekungan Soa, Ngada, dan di sekitar Liang Bua, Manggarai, Flores. Ia memperkirakan, usia tulang stegodon itu sekitar 750.000 tahun.
Temuan ini mengundang reaksi para ahli. AA Sukadana, ahli antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, misalnya, pada tahun 1960-an melakukan penelitian dan menemukan sisa-sisa tulang manusia, termasuk rahang bawah.
Tahun 1978-1989, R Panji Soejono menemukan, antara lain, tulang paha di Liang Bua. Sisa-sisa kerangka dari periode awal penemuan hingga periode terakhir disimpan di Leiden, London, Yogyakarta, Jakarta, dan Ledalero (Flores).
Penelitian dihentikan karena keterbatasan dana. Penelitian dilanjutkan setelah terjalin kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang dipimpin RP Soejono dan Universitas New England, Australia, yang dipimpin Mike Morwood.
September 2003, tim ini menemukan kerangka unik yang kemudian diidentifikasi sebagai Homo floresiensis. Manusia purba Flores ini ditemukan pada kedalaman 195 sentimeter di situs Liang Bua. Saat ditemukan, kondisinya sangat rapuh.
Manusia purba Flores itu berjenis kelamin perempuan, berumur 25-30 tahun, tinggi badan sekitar 106 sentimeter, dan volume otak 380 cc. Manusia purba ini diperkirakan tinggal di Liang Bua pada 100.000-17.000 tahun lalu.
Ia ditemukan dalam satu konteks dengan lapisan yang mengandung artefak batu dan tulang-tulang binatang, yakni stegodon kerdil, biawak raksasa, tulang komodo, serta burung besar dan tikus besar yang oleh orang Manggarai disebut ”betu”.
Hasil analisis gigi stegodon di Liang Bua menunjukkan adanya sekitar 47 stegodon. Sesuai ciri-ciri giginya, disimpulkan bahwa stegodon yang ditemukan di Liang Bua 71 persen adalah anak-anak, 23 persen bayi, dan 6 persen stegodon dewasa.
Ini memperlihatkan bahwa binatang-binatang ini adalah makanan utama manusia Flores, Homo floresiensis, yang menempati Liang Bua sekitar 100.000 tahun lalu. Manusia purba ini cenderung memburu stegodon yang masih anak-anak atau bayi untuk dimakan.
Perkakas batu yang telah digunakan Homo erectus (seperti ditemukan di Sangiran) digunakan pula oleh manusia purba Flores.
Setelah temuan itu, lalu apa? Neonbasu, Jambak, dan masyarakat berharap ada langkah pemerintah untuk mengembangkan temuan itu sehingga berguna bagi kehidupan warga setempat dan warga Flores pada umumnya.