Wujudkan Kesetaraan dan Bebaskan Perempuan dari Kekerasan
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski ada kemajuan di berbagai bidang, perempuan di Indonesia masih berada dalam lingkaran berbagai persoalan. Kenyataannya, perempuan di berbagai daerah masih terus berjuang menuntut hidup yang demokratis, sejahtera, setara, dan bebas dari kekerasan yang berbasis jender.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai undang-undang sangat dinantikan perempuan di Tanah Air. Sebab, kehadiran undang-undang tersebut merupakan salah satu jalan untuk memastikan perlindungan warga negara khususnya perempuan dan anak dari tindakan kekerasan seksual, serta menjamin pemulihan dan restitusi bagi korban.
Hal tersebut disuarakan para perempuan pada puncak Peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women Day) 2019 di Taman Aspirasi, kawasan Monumen Nasional di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Dua ribuan perempuan yang tergabung dalam 65 organisasi yang terkait dengan perempuan, Jumat siang berkumpul di sekitar patung kuda di Jalan Thamrin dan berjalan kaki menuju Taman Aspirasi di seberang Istana Merdeka, Jakarta.
Mereka menggelar “Panggung Refleksi Politik Perempuan Independen” untuk menyuarakan berbagai tuntutan perempuan terhadap negara. Sejumlah perempuan tampil berorasi seperti Gunarti (petani dan perempuan Kendeng), dan Sumarsih (pelopor Aksi Kamisan yang menuntut negara untuk segera menyelesaikan 9 pelanggaran HAM di Indonesia).
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Magdalena Sitorus menyuarakan tingginya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah privat/personal, termasuk kasus inses (hubungan sedarah).
Pada peringatan Hari Perempuan Internasional 2019 tersebut, sejumlah persoalan disuarakan mulai dari persoalan perempuan dengan ketenagakerjaan, pendidikan, kekerasan seksual, kesehatan, identitas, ekspresi, hingga perempuan dengan ruang hidup, agraria, kebijakan dan perlindungan hukum, serta media dan teknologi.
Kekerasan di ranah siber
Di bidang teknologi informasi, para perempuan menyampaikan kejahatan di dunia siber yang menyasar perempuan. Mereka mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membangun sistem dan kebijakan yang mencegah dan menangani meluasnya kekerasan berbasis jender dan seksual di ranah siber (online sexual gender based violent).
Akhir dari panggung refleksi politik perempuan independen tersebut ditandai dengan pembacaan deklarasi oleh sejumlah perwakilan perempuan. “Perempuan dan masyarakat marginal masih menghadapi situasi menyempitnya ruang demokrasi, pemiskinan, ketimpangan sosial dan maraknya kriminalisasi serta kekerasan seksual,” ujar Mutiara Ika Pratiwi, dari Komite IWD (International Women Day) 2019.
Sebelum membubarkan diri, para perempuan menyalakan obor sebagai simbol nyala semangat dan pencerahan, diikuti peniupan peluit secara serentak sebagai tanda bahaya terhadap tingginya angka kekerasan berbasis kender di Indonesia.
Lini Zurlia, juru bicara Komite IWD 2019 menyampaikan selain berorasi, pada acara tersebut pihaknya menggelar kain putih untuk menuliskan berbagai aspirasi perempuan.
Selain aksi di Taman Aspirasi Monas, berbagai organisasi perempuan mengeluarkan seruan dan harapan kepada negara untuk meningkatkan perlindungan terhadap perempuan, seperti Koalisi Perempuan Indonesia, Migrant Care, Institut Kapal Perempuan, dan sejumlah lembaga lainnya.
Migrant Care, meminta kepada pemerintah untuk memikirkan, mengupayakan dan memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan pekerja migran Indonesia, dengan memastikan aturan turunan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Ini penting, karena pekerja migran Indonesia mayoritas perempuan.
Dua hari sebelum puncak IWD 2019, pada Rabu (6/3/2019) sekitar 500 perempuan akar rumput dari berbagai daerah juga hadir di Istana Negara, Jakarta. Presiden Joko Widodo berdialog langsung dengan sejumlah perwakilan perempuan yang hadir.
“Presiden merespons langsung dan mencarikan jalan keluar masalah-masalah yang dihadapi perempuan, terutama terkait kemandirian ekonomi, kesehatan, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, partisipasi dan masalah lain yang dialami perempuan pinggiran,” ujar Direktur Kapal Perempuan Misiyah.