Alarm Kewaspadaan Campak Global Telah Berbunyi
Dua bulan lalu, keceriaan masih menghiasi rumah Dada, nelayan di kota pantai Fort Dauphin, Madagaskar tenggara. Saat itu, putranya yang berusia empat tahun bermain bola dan bermandikan sinar matahari dengan dua sepupunya yang lebih muda di salah satu pantai terkenal di Madagaskar.
Namun, beberapa minggu kemudian, ketiga anak tersebut telah tiada. Ketiganya menjadi korban wabah campak terburuk dalam beberapa dekade di negara pulau di Samudra Hindia itu.
Kasus campak sedang meningkat secara global. Bukan hanya di negara miskin seperti Madagaskar, tetapi juga di negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis. Di negara-negara kaya itu, sebagian orang tua tidak mengizinkan anaknya divaksin karena termakan teori-teori palsu yang menyatakan bahwa anak yang diimunisasi bakal terkena autisme.
Tiga perempat kasus campak global tahun lalu berasal hanya dari 10 negara. Sebanyak 98 negara juga melaporkan adanya peningkatan kasus campak thaun 2018 dibandingkan tahun 2017. Konflik, kelengkapan vaksinasi, dan gerakan antivaksin yang merebak menjadi kendala terbesar program vaksinasi.
“Ini adalah panggilan untuk bertindak. Kita memiliki vaksin yang aman, efektif, dan terjangkau untuk melawan penyakit menular. Vaksin inilah yang telah menyelamatkan hampir 1 juta nyawa setiap tahun selama dua dekade,” kata Eksekutif Direktur UNICEF Henrietta Fore awal Februari 2019 lalu.
“Kasus campak sekarang tidak terjadi dalam semalam. Ini mulai terjadi sejak tahun 2018. Jika tidak bertindak sekarang maka konsekuensi buruk menanti anak-anak besok,” kata Henrietta menambahkan.
Campak, meski lebih mudah menular dibandingkan tuberkulosis atau ebola, bisa dicegah dengan vaksinasi yang harganya terjangkau. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, kasus campak telah meningkat 50 persen di tahun 2018 dan menyebabkan 136.000 orang meninggal.
Di Madagaskar, salah satu negara termiskin di dunia, orang tua putus asa untuk memvaksinasi anak-anak mereka. Banyak orangtua yang berjalan jauh untuk sampai ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi. Tetapi tidak ada cukup vaksin di sana. Banyak warga yang terlalu miskin untuk sanggup membelinya.
Dada yang seorang nelayan, telah mengizinkan putranya, Limberaza, untuk divaksinasi di rumah mereka di distrik bagian selatan dari Fort Dauphin.
Tetapi dosis penguat (booster) keduanya seharga 15 dolar AS di sebuah klinik. Harga itu jelas di luar kemampuan keluarga Dada yang dalam sehari hanya menggantungkan hidup pada penghasilan 2 dolar AS. Ia pun membawa bocah itu ke pengobat tradisional.
"Aku tidak sanggup membawanya ke rumah sakit," kata Dada pelan ketika istrinya yang masih muda menggendong adik laki-laki Limberaza yang berusia dua tahun.
Pada bulan Januari, Limberaza mulai batuk. Terjadi ruam. Setelah seminggu dia meninggal setelah demam tinggi.
Pada saat itu keponakan Dada, Martina yang berusia tiga tahun, juga sakit. Ibunya yang menangis, Martine, membelai wajahnya saat demamnya terus meninggi. Martina meninggal delapan hari kemudian.
Malam itu, keponakan Dada yang lain, Mario, juga meninggal dunia. "Mereka begitu penuh kehidupan," kata Dada, suaranya pecah.
Tiga bocah tersebut termasuk di antara hampir 1.000 orang yang meninggal akibat campak di Madagaskar sejak Oktober. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak.
Kematian mereka menunjukkan kenyataan yang suram bagi mereka yang tidak terlindungi dari salah satu penyakit paling menular di dunia. Virus campak yang dapat menyebabkan kebutaan, pneumonia, pembengkakan otak, dan kematian mampu bertahan hingga dua jam di udara setelah dikeluarkan melalui percikan batuk atau bersin. Dengan mudah virus itu bisa menginfeksi orang di dekatnya.
Meskipun tersedia vaksin yang sangat efektif, secara global, jumlah kematian akibat campak masih tinggi, sekitar 110.000 pada tahun 2017 dan 136.000 di tahun 2018. Sebagian besar dari mereka, seperti Limberaza dan sepupunya, adalah anak-anak di bawah usia lima tahun.
Selama tahun 2000 hingga 2017, WHO memperkirakan bahwa penggunaan vaksinasi campak secara luas telah mencegah 21,1 juta kematian. WHO pun menyebut vaksinasi sebagai "pembelian terbaik dalam kesehatan masyarakat."
Namun informasi yang salah telah menggoyahkan kepercayaan publik terhadap keamanan vaksinasi dan merusak kemajuan yang dicapai dalam mencegah campak. Ketika sudah mulai terkendali penyakit ini justru kemudian menyebar kembali.
Pada bulan Januari 2019, WHO menyebut "keragu-raguan akan vaksin", keengganan atau penolakan terhadap vaksinasi, sebagai salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan global tertinggi di tahun 2019. Tahun lalu, misalnya, Eropa mengalai kasus campak tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Di Madagaskar, kemiskinan adalah risiko yang lebih besar. Sementara turis kaya datang berduyun-duyun ke hutan hujan Madagaskar untuk melihat lemur bermata lebar serta pebisnis menawar safir bercahaya dan vanila harum, hampir setengah dari anak-anak Madagaskar justru kekurangan gizi. Kasus malnutrisi di Madagaskar merupakan yang tertinggi di Afrika.
Negara bekas koloni Perancis ini telah dihancurkan oleh kudeta dan ketidakstabilan selama beberapa dekade. Bantuan asing menarik diri setelah kudeta 2009 yang memicu perkelahian politik jalanan yang kelam. Para pemimpin yang korup mengabaikan sistem kesehatan yang hancur meskipun sering terjadi wabah penyakit, demam dengue, dan kasus penyakit akibat virus mematikan lain.
Penyakit campak adalah endemik di negara pulau itu. Akan tetapi, imunisasi terakhir dilakukan pada tahun 2004. Hampir dua pertiga anak belum divaksinasi. Padahal, untuk mencegah penyakit menyebar diperlukan cakupan minimal 95 persen agar terbentuk kekebalan kelompok.
WHO menyebutkan, negara itu kekurangan 3 juta dollar AS dari 7 juta dollar AS yang dibutuhkan untuk menjalankan program vaksinasi campak yang cukup untuk memenuhi populasinya.
Tidak hanya soa kemampuan fiansial. Ada rintangan lain. Vaksin harus tetap dingin agar kualitasnya tetap terjaga. Namun, kurang dari 15 persen orang di Madagaskar yang memiliki listrik. Mayoritas jalan di negara tropis ini berlumpur. Perjalan pun jadi sulit dan biayanya mahal.
Meskipun ada program darurat untuk memvaksinasi 2,2 juta dari total populasi 26 juta jiwa, masih ada setidaknya 922 orang yang mayoritas anak-anak telah meninggal akibat campak di Madagaskar sejak Oktober 2018.
Beberapa dari mereka, seperti Limberaza, sebelumnya telah divaksinasi tetapi hanya menerima satu suntikan dan masih membutuhkan suntikan kedua sebagai penguat. Madagaskar berharap untuk bisa memiliki program vaksinasi campak rutin yang gratis yang mencakup pemberian dua dosis vaksin campak. Saat ini, suntikan pertama gratis tetapi penguatnya tidak.
Wakil UNICEF Perwakilan Madagaskar, Jean Benoît Mahnes, mengatakan, meskipun kesulitan beberapa orang tua berjalan bermil-mil jauhnya untuk mendapatkan vaksin. Namun, mereka seringkali mendapati fasilitas kesehatan yang dituju justru tutup, ada dokter tapi tidak ada vaksin, atau ada vaksin tapi sudah kedaluwarsa. "Memvaksinasi anak bisa menjadi rintangan yang nyata di sini," katanya.
Seorang warga, Lydia Rahariseheno (33), bercerita, dirinya harus berjalan 1,5 jam ke klinik di sepanjang jalan yang banyak perampok untuk mendapatkan vaksin bagi tiga anaknya. Dia hanya berhasil mendapatkan satu suntikan vaksin.
Sistem kesehatan yang gagal membuat orangtua yang miskin sering membawa anak-anaknya yang sakit ke pengobat tradisional yang meresepkan ramuan herbal, tingotingo, yang direbus dan diberikan kepada mereka untuk diminum.
“Anak-anak itu hanya dibawa ke rumah sakit kalau kondisinya memburuk,” kata Manitra Rakotoarivony, Direktur Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan Masyarakat.
Ayah Limberaza berharap dosis penguat vaksin harganya lebih murah akan melindungi anaknya. Tetapi ternyata tidak. Sepupunya, Mario dan Martine, sama sekali tidak divaksinasi. Sekarang keluarga itu putus asa untuk melindungi anak-anak mereka yang tersisa.
"Kami tidak menyangka kegagalan memvaksinasi dia akan membunuhnya," ratap Pela, ibu Mario. "Anak saya yang lain, pasti, saya akan membawanya untuk mendapatkan vaksinasi.” (REUTERS/AFP)