Bioskop Rakyat dan Kenangan Romantisisme Masa Lalu
Oleh
Khaerudin
·2 menit baca
Di bioskop, fantasi dan realitas bertemu. Tak ada yang lebih asyik daripada menonton drama percintaan sambil bersandar di bahu pasangan terkasih.
Kenangan tentang bioskop acap kali berkelindan dengan kisah cinta seseorang. Maka, tak heran jika ruang gelap di bioskop selalu mendapat tempat di hati masyarakat mana pun.
”Dulu setiap punya pacar baru pasti saya ajak ke (bioskop) Angkasa,” kata seorang penjual gorengan di Pasar Teluk Gong, Jakarta Utara, Kodir (43), Jumat (8/3/2019).
Menurut cerita Kodir, dulu di lantai tiga pasar itu ada tempat memutar film layar lebar, namanya Bioskop Angkasa. Dengan membayar Rp 2.000, warga sekitar bisa menikmati film dengan menggandeng kekasih tercinta di akhir pekan.
”Saya lupa tepatnya, tetapi kira-kira awal tahun 2000-an bioskop itu ditutup. Sejak itu, tempat itu dibiarkan kosong,” kata Kodir dengan kecewa.
Belakangan, harapan warga untuk memiliki tempat hiburan rakyat kembali bersemi. Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) 56 tengah membangun bioskop rakyat di lokasi bekas Bioskop Angkasa.
Menurut rencana, harga tiket di bioskop rakyat akan dibanderol tidak lebih dari Rp 25.000. Dengan begitu, diharapkan warga sekitar akan mudah mengakses fasilitas hiburan itu.
”Kalau harganya segitu pasti penontonnya penuh dengan pedagang seperti kami,” kata seorang pemilik kios makanan kecil, Ida (48), sambil tertawa lebar.
Ketua Parfi 56 Marcella Zalianty menyatakan, bioskop rakyat itu akan dibuka pada April 2019. Di tempat itu, selain pemutaran film, nantinya juga akan rutin diselenggarakan diskusi dan seminar soal budaya dan seni sebagai upaya menghadirkan ruang edukasi bagi warga.
Masa lampau
Momen ditutupnya Bioskop Angkasa merupakan kenangan sedih bagi sejumlah warga Teluk Gong. Tanpa agenda menonton film di akhir pekan, hidup terasa lebih suram dari biasanya.
Seorang juru parkir Pasar Teluk Gong, Ian (58), mengatakan, pada jam pulang kerja, biasanya Bioskop Angkasa ramai dijejali para karyawan pabrik plastik dan tekstil. Ia merindukan suasana keramaian yang kini tak pernah lagi ada di tempat itu.
”Dulu senang rasanya melihat jalanan ramai para pegawai pabrik yang akan nonton film di bioskop. Setiap sore, suasananya akrab dan ceria,” kata Ian mengenang masa sebelum krisis 1998 itu.
Para pegawai pabrik mulai lenyap bersamaan dengan bangkrutnya perusahaan tempat mereka bekerja akibat dihantam krisis 1998. Tak lama kemudian, Bioskop Angkasa menyusul gulung tikar.
”Alhamdullilah kalau di tempat itu sekarang mau dibangun bioskop lagi. Biar anak muda kampung ini bisa ngerasain yang dulu dirasakan orangtuanya,” ujar Ian sambil tersenyum simpul. (PANDU WIYOGA)