Eddy Pratomo Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Universitas Diponegoro
Diplomat senior sekaligus ahli diplomasi maritim Indonesia, Eddy Pratomo (65), dikukuhkan sebagai guru besar dosen tidak tetap hukum internasional Universitas Diponegoro di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (9/3/2019). Eddy menjadi guru besar dosen tidak tetap ketujuh di Undip.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Diplomat senior sekaligus ahli diplomasi maritim Indonesia, Eddy Pratomo (65), dikukuhkan sebagai guru besar dosen tidak tetap hukum internasional Universitas Diponegoro di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (9/3/2019). Eddy menjadi guru besar dosen tidak tetap ketujuh di Undip.
Eddy telah banyak makan asam garam dalam dunia diplomasi maritim. Dia pernah menjabat Direktur Jenderal Hukum Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Duta Besar untuk Republik Federasi Jerman, hingga utusan khusus Presiden RI untuk penetapan batas maritim RI-Malaysia.
Pada pengukuhan itu, Eddy menyampaikan orasi ilmiah berjudul ”Negosiasi Penetapan Batas Laut dalam Kerangka Diplomasi Berkelanjutan”. Hadir dalam pengukuhan itu antara lain Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi dan pakar hukum tata negara Mahfud MD. Selain itu, ada juga keluarga serta rekan-rekan Eddy.
Eddy menuturkan, perundingan penetapan batas wilayah laut dengan negara-negara tetangga bakal semakin kompleks di masa depan. Oleh karena itu, segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang. Salah satu metode yang ia ajukan adalah Pratomo Formula 5.10, rumusan yang diharapkan dijadikan pijakan para juru runding generasi berikutnya.
”Di sana ada banyak pesan, seperti sabar dan konsisten, menguasai hukum laut dengan detail, memahami sejarah perkembangan hukum laut, kerja sama solid, serta tak ada ambisi personal,” kata Eddy.
Eddy menyebutkan bahwa negosiasi batas laut adalah suatu proses penyampaian adu argumentasi tentang usulan garis batas laut yang berbeda dari para pihak. Tujuannya, mencapai kesepakatan garis batas wilayah laut.
Negosiasi dinilai sebagai opsi terbaik dalam proses sengketa batas laut dibandingkan proses lain, seperti arbitrase, konsiliasi, mediasi, dan pengadilan internasional. Namun, prosesnya memerlukan waktu panjang (long haul process) dan kompleks, bersifat multidisiplin, multisektor, serta multifaktor.
Semua itu, katanya, harus dilakukan secara berkelanjutan. Hal itu menjadi upaya mengoptimalkan potensi kelautan guna memenuhi kepentingan nasional secara berkesinambungan dan sistematis. Semuanya sejalan dengan prioritas diplomasi maritim, yaitu mengakselerasi penetapan batas laut dengan negara tetangga.
Akan tetapi, dia yakin, sejumlah tantangan berpotensi menghadang. Salah satunya adalah aspek obyektif yang terdiri dari kondisi area delimitasi, penetapan garis tengah, interpretasi aspek hukum dan aspek teknis dari batas laut, perbedaan doktrin dan metodologi, serta perbedaan mandat.
Ada juga aspek subyektif, yakni perumusan posisi nasional Indonesia dan aspek kepribadian juru runding. Perumusan posisi nasional Indonesia adalah sikap dasar Pemerintah Indonesia sesuai dengan agenda negosiasi. Adapun kepribadian juru runding sangat berbeda-beda karakternya, seperti emosional, sabar, ambisius, serta latar belakang pendidikan.
Rektor Undip Yos Johan Utama menuturkan, saat ini jumlah ahli hukum laut sangat sedikit, terlebih lagi juru runding batas laut. Tak cuma kepandaian, dibutuhkan pula kemampuan menghadapi tekanan mengingat ini berkaitan langsung dengan upaya mempertahankan kedaulatan NKRI. Dekan Fakultas Hukum Undip Retno Saraswati berharap, dengan pengukuhan ini, hukum internasional di Fakultas Hukum Undip makin berkembang, khususnya di bidang diplomasi kemaritiman, yang saat ini sumber daya manusianya masih terbatas.