Gerakan dari Mimbar hingga Pasar
Warga Kecamatan Silo mulai bisa tersenyum lega setelah dirundung kekhawatiran sejak Agustus 2018. Tekad yang bulat dan niat yang kuat untuk menolak keberadaan tambang mulai membuahkan hasil.
Kecamatan Silo merupakan salah satu kecamatan terluar Kabupaten Jember, Jawa Timur, berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi di sisi timur. Kecamatan dengan luas 30.998 hektar itu sebagian wilayahnya, 4.023 hektar, ditetapkan sebagai kawasan tambang.
Dari total 4.023 hektar, 3.000 hektar berada di Desa Pace. Tidak heran pergerakan tolak tambang muncul dari desa kecil di lereng perbukitan tidak jauh dari Taman Nasional Meru Betiri itu.
Penolakan warga terhadap tambang tidak hanya setahun-dua tahun terakhir. Sejak zaman kakek-nenek mereka telah ada kearifan lokal untuk melindungi lingkungan.
Ketua Forum Masyarakat Silo Hasan Basri, Senin (11/2/2019), menuturkan, masyarakat setempat percaya ada mahkota dan alas kaki yang terbuat dari emas tersimpan di perkebunan Curah Mas. Namun, peninggalan leluhur itu harus dibiarkan tetap tersimpan. Jika dilanggar, bisa terjadi bencana.
”Di atas Desa Pace ada perkebunan Curah Mas. Diyakini ada emas tersimpan di sana. Namun, hal itu dilarang diambil. Kalau dilanggar, nenek moyang yang menjaga desa akan pergi dan akan terjadi bencana,” ucapnya.
Upaya menjaga kearifan lokal dahulu dilakukan dengan sejumlah ritual. Salah satunya, Hasan mengutip cerita kakeknya, menggunakan lidi. Konon, saat ada petambang atau orang yang berburu emas, sesepuh desa akan meletakkan sebatang lidi di jalan desa. Hal itu membuat petambang menjadi linglung sehingga tersesat.
Sekarang, penolakan warga di Kecamatan Silo terhadap aktivitas tambang emas di daerahnya terus terjaga. Beberapa kali upaya membuka tambang ditolak warga.
Hasan mencatat, tahun 1967, 1984, 1991, 1996, dan 2005 warga menolak penelitian tambang. Tahun 2018, warga menyekap petugas Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur yang datang bersama tiga calon investor dari China untuk melihat lokasi.
Tidak hanya observasi tambang yang ditolak. Pada 2010, muncul tambang ilegal. Namun, kegiatan tersebut hanya bertahan dua minggu. Penolakan warga memaksa tambang ilegal itu tutup.
Tahun 1999, warga membakar alat tambang milik satu perusahaan tambang. Hasan mengatakan, kesadaran masyarakat akan dampak buruk tambang muncul karena warga tidak ingin lingkungan rusak.
”Hal itu muncul dari pengalaman warga. Saat musim tebang karet, debit sumur warga berkurang. Warga pun sadar jika pohon ditebang dan lingkungan dirusak, mereka akan kesulitan air,” ujar Hasan.
Peran ulama
Edukasi tentang bahaya tambang tidak hanya hidup melalui cerita rakyat. Edukasi yang dilakukan ulama dan tokoh berperan penting dalam penolakan tambang.
Sejumlah warga yang ditemui Kompas mengatakan mendapat informasi tentang bahaya tambang dari dakwah, khotbah, dan tausiah. Hal itu diakui Taufiq Nur Ahmadi, ustaz yang tinggal di Kecamatan Silo.
Ia dan sejumlah tokoh agama bersama masyarakat kerap menggelar istigasah setiap malam Sabtu dari mushala ke mushala. Tausiahnya kerap menyisipkan nilai agama tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Pemahaman mengenai hubungan Allah, manusia, dan lingkungan juga kerap dibahas. Menurut Taufiq, konsep habluminallah-habluminannas-habluminalalam dalam agama Islam menjelaskan bagaimana hubungan antara manusia dengan pencipta, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam.
Tidak hanya dakwah dari mimbar, tokoh-tokoh nahdliyin di Silo mengeluarkan fatwa bahwa kegiatan penambangan haram hukumnya. Fatwa tersebut tertuang dalam Bahtsul Masail Nahdatul Ulama Kecamatan Silo tahun 1998.
”Penambangan dinilai haram karena merugikan manusia dan merusak ekosistem lingkungan. Penambangan dianggap perbuatan zalim karena merusak tatanan alam dan sosial masyarakat. Penambangan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya,” ucap Taufiq.
Pengalaman buruk
Kepala Desa Pace Muhammad Farohan kerap menyisipkan edukasi tentang dampak tambang dalam setiap kesempatan bertemu warga. Menurut Farohan, ia mengetahui dampak penggunaan merkuri dalam aktivitas penambangan emas dari beberapa buku, surat kabar, dan berita di televisi. Informasi itu yang ia sampaikan kepada masyarakat.
”Merkuri yang digunakan di tambang emas bisa mencemari lingkungan. Kalau masuk ke tanah dan sungai, lalu kita mengonsumsi hasil kebun yang tercemar merkuri, zat-zat berbahaya itu bisa masuk dalam tubuh kita. Ini bisa menyebabkan kanker,” kata Farohan mencontohkan pidatonya saat pertemuan warga.
Tambang menyisakan luka di Desa Pace. Tambang ilegal yang pernah muncul di Desa Pace pada 2010 diikuti serangan difteri. Hampir seluruh warga Dusun Curah Wungkal, Desa Pace, sakit.
Farohan ingat betul, puskesmas tak mampu menampung warga yang sakit. Beberapa warga meninggal, termasuk seorang ibu beserta janin yang berusia tujuh bulan.
Gaung penolakan juga sampai ke perkebunan. Masyarakat Silo yang sebagian besar pekebun menolak tambang karena sudah cukup puas dengan hasil perkebunan.
”Saya punya 1 hektar kebun yang saya tanami kopi, avokad, duren, dan petai. Hasilnya cukup menghidupi anak istri saya,” kata Bowo (45), petani.
Di Pasar Lumbung, seorang pedagang makanan, Maidah (45), mengatakan, tambang akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Ia khawatir zat-zat berbahaya merusak hasil pertanian dan perkebunan di sekitarnya.
Gerakan masyarakat melindungi alam tersebut diapresiasi Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Muhammad Iqbal.
”Masyarakat Jember secara kultural adalah santri dan nahdliyin. Pesan yang disampaikan tokoh agama dan masyarakat mudah diterima dan dilaksanakan masyarakat di akar rumput. Mereka percaya, yang disampaikan tokoh masyarakat dan agama itu untuk melindungi masyarakat,” ujarnya.
Penolakan ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Kuatnya gerakan masyarakat dan kebijakan pemerintah yang sejalan berhasil melindungi daerah dari dampak buruk tambang.