Jangan Lupakan Perempuan Papua…
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Demikianlah bunyi pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu berbicara tentang hak asasi.
Ketentuan dalam Konstitusi negeri ini jelas menjamin hak asasi setiap warganegara Indonesia untuk memperoleh pendidikan dan meningkatkan kualitas hidupnya, khususnya dalam bidang kesehatan. Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar yang seharusnya tidak bisa dikurangi. Keduanya akan langsung meningkatkan kualitas hidup warganegara.
Namun, perlindungan dalam UUD 1945, yang juga diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan peraturan lain, terasa ironis saat menyaksikan nasib perempuan di Papua. Nyaris kaum perempuan di provinsi seluas 316.553,07 kilometer persegi itu tak beroleh layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Baca juga: Banyak Anak Usia Sekolah Papua Belum Terjangkau Pendidikan
Bukan sepenuhnya karena kebijakan pemerintah yang membuat perempuan Papua tersisih. Tradisi di wilayah berpenduduk sekitar 3,32 juta jiwa itu, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua tahun 2018, hidup dalam kelompok suku. Situs Pemerintah Provinsi Papua menuliskan ada 255 suku asli di daerah itu. Sebagian besar suku itu menempatkan lelaki sebagai yang utama.
Perempuan harus bekerja di ladang serta menjaga anak dan ternak. Perempuan tak lebih dari "hak milik" lelaki, yang bisa didaku sejak dalam kandungan ibunya, seperti pada suku Korowai, yang mendiami dataran Danowage di Kabupaten Boven Digul.
Nyaris tiada anak perempuan dari suku Korowai yang bersekolah di Sekolah Lentera Harapan (SLH), yang dibuka di kawasan itu sejak tiga tahun lalu. Kalau ada anak perempuan yang bersekolah, mereka adalah anak suku lain, terutama suku Lani, yang memang datang untuk bersekolah di Danowage.
Menurut Guru SLH Danowage, Merry K Tobing, anak perempuan dari suku Korowai memang jarang yang bersekolah. Mereka tidak sedikit yang sudah berumah-tangga saat berusia kanak-kanak, dengan suami yang berusia jauh lebih tua. Tradisi di suku itu memang memungkinkan perkawinan pada usia dini.
Bahkan, bayi perempuan di suku Korowai bisa dimiliki oleh seorang lelaki saat masih dalam kandungan ibunya. Lelaki itu menitipkan sejumlah barang berharga, dan saat bayi perempuan itu lahir, dia tidak lagi merdeka. Bayi perempuan itu sudah menjadi milik pria yang "menitip" dan suatu saat menjadi istrinya.
Dokter Sri Haryati, Koordinator Klinik Siloam di Papua menambahkan, sebagian besar suku di Papua memiliki tradisi yang mirip dengan suku Korowai. Anak-anak perempuan suku Moi di kampung Daboto, Kabupaten Intan Jaya; suku Meg di kawasan Nalca, KabupatenYahukimo; dan suku Yali di daerah Mamit, Kabupaten Tolikara memiliki nasib yang tak jauh berbeda. Mereka tak leluasa bersekolah, seperti saudaranya yang laki-laki.
Warga suku Kimyal di lembah Korupun, Kabupaten Yahukimo lebih terbuka terhadap kesetaraan. Sri Haryati menuturkan, perempuan dari suku Kimyal lebih berkesempatan untuk menempuh pendidikan, dan mereka tak jarang menjadi tokoh perubahan dalam sukunya, terutama di bidang kesehatan masyarakat. Tak sedikit perempuan di Korupun yang menjadi kader kesehatan masyarakat.
"Bukan cuma di bidang pendidikan perempuan Kimyal bisa maju, tetapi juga di bidang kesehatan. Perempuan menjadi penggerak kesehatan masyarakat. Angka kematian ibu di Korupun nyaris nol, karena peran mama-mama (perempuan) di sana,"jelas Sri Haryati, yang lebih dari sepuluh tahun berkarya di Papua. Angka kematian ibu di Papua tahun 2015 sebesar 489 per 100.000 kelahiran hidup , lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup.
Bukan cuma di bidang pendidikan perempuan Kimyal bisa maju, tetapi juga di bidang kesehatan. Perempuan menjadi penggerak kesehatan masyarakat. Angka kematian ibu di Korupun nyaris nol.
Welhelmina Soll, perempuan suku Meg di Nalca mengakui, kesadaran akan pentingnya kesehatan dan pendidikan bagi perempuan di sukunya kini kian membaik, sejalan dengan masuknya pengetahuan dan pengajaran dari misi, pemerintah, dan masyarakat lain yang peduli. Dahulu, seperti yang dilakukannya pula, kalau ada ternaknya yang mati, dia memotong jarinya. Ia lambang kedukaan, serta dipercaya untuk menangkal roh jahat yang bisa mengganggu keluarganya.
"Saya pernah memotong jari ketika 17 ekor babi milik kami mati,"papar Welhelmina, sambil menunjukkan telunjuk kirinya yang terpotong dua ruas, pekan lalu. Namun, ia berjanji tidak akan melakukannya lagi, sebab bagian tubuhnya adalah mulia, seperti yang diyakininya kini. Dia juga menyekolahkan anak-anaknya agar tak tertinggal lagi. BPS Papua melaporkan, angka rata-rata lama sekolah perempuan di Papua tahun 2017 sebesar 10,24; lebih rendah dibandingkan laki-laki yang mencapai 10,65.
Perang suku
Aileen Hambali Riady, pengurus Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) menjelaskan, perempuan Papua dulu dilarang sekolah, sebab pada usia 10-12 tahun sudah dinikahkan. Di Daboto, pernah ada pempuan dinikahi waktu usia muda, tetapi lari kembali ke rumah ibunya. Suaminya marah dan membunuhnya.
"Perempuan di Papua berkerja di ladang dan menjaga anak, karena dahulu suami perang suku. Kini perang suku tak ada lagi, tetapi tradisi istri menjaga anak (dan ternak), serta bekerja di ladang terus berlanjut. Padahal, tak sedikit suami yang menganggur,"ungkap Aileen, yang lebih dari delapan tahun terakhir berkarya di Papua untuk pendidikan dan kesehatan. Perempuan Papua tak boleh lagi ditinggalkan, khususnya pada bidang pendidikan dan kesehatan.
Sejumlah orang dan lembaga, termasuk Misi internasional dan lokal, yang dilakukan oleh perintis dan penyebar agama Kristen Protestan dan Katolik, sebenarnya sudah lebih dari 50 tahun berusaha membuka keterisolasian dan ketertinggalan warga Papua. Pemerintah dengan berbagai program, termasuk menjadikan Papua dan Papua Barat sebagai daerah otonomi khusus, juga tidak lelah ingin memajukan Papua. Hasilnya mulai tampak, seperti indeks pembangunan manusia (IPM) Papua meningkat dari 54,45 pada tahun 2010, menjadi 59,09 pada tahun 2018.
Menurut BPS Papua, provinsi mencatat mengalami kecepatan pertumbuhan IPM tertinggi di Indonesia pada periode 2015-2016. Namun, IPM Papua memang masih terus lebih rendah dibanding IPM nasional, yang mencapai 70,81 pada tahun 2017.
Selain pemerintah pusat dan daerah, seperti YPHP, berbagai organisasi kemasyarakatan pun, termasuk yang berskala internasional, menaruh perhatian yang besar pada pembangunan di Papua. Uni Eropa pun kembali memperhatikan Papua dan Papua Barat, terlihat dari kunjungan Duta Besar Uni Eropa di Indonesia, Vincent Guerend ke kedua provinsi paling timur Indonesia itu pada Maret tahun lalu. Kunjungan itu untuk memastikan perkembangan pembangunan di Papua dan Papua Barat, khususnya dalam bidang ekonomi, politik, tata kelola pemerintahan, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Guerend pun mengunjungi beberapa proyek di bidang pendidikan, kesehatan, dan kehutanan yang pernah didanai Uni Eropa.
Pendiri YPHP James T Riady mengingatkan, Papua tak hanya membutuhkan dana. Uang tidak sedikit mengalir ke provinsi itu. Sepanjang tahun 2002-2018, dana otonomi khusus yang mengalir ke Papua mencapai Rp 75,1 triliun. Dana pembangunan infrastruktur untuk Papua, pada periode yang sama, tak kurang dari Rp 23,3 triliun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua tahun 2018 sebesar Rp 14,1 triliun, dan turun menjadi Rp 13,9 triliun pada tahun 2019. Seluruh dana itu jika dapat dimanfaatkan dengan baik, tentu akan membawa kesejahteraan bagi warga Papua.
Papua tak hanya membutuhkan dana. Uang tidak sedikit mengalir ke provinsi itu.
Tak cukup peduli, pembangunan di Papua juga memerlukan hati dari siapapun, khususnya bagi kaum perempuan. Harus ada keberpihakan pada perempuan di Papua. Apalagi, pada hari Perempuan Internasional, yang dirayakan setiap tanggal 8 Maret….