Operator Telekomunikasi Berharap Tahun Ini Lebih Baik
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kinerja sejumlah operator telekomunikasi seluler sepanjang 2018 tidak optimal. Kebijakan wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan, ketatnya persaingan harga layanan, serta menurunnya pendapatan produk SMS dan telepon disebut sebagai penyebab. Operator berharap, tahun 2019, ketiga isu tersebut bisa teratasi sehingga kinerja membaik.
Presiden Direktur dan CEO Hutchison Tri Indonesia (Tri) Cliff Wood, Jumat (8/3/2019), di Jakarta, bahkan, menyebut industri telekomunikasi seluler Indonesia tumbuh negatif pada 2018. Meski berada di tengah situasi sulit, Tri masih bisa menorehkan kenaikan pertumbuhan pendapatan sampai dua digit menjadi sekitar satu miliar dollar AS. Pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (ETBIDA) tumbuh empat kali lipat atau menjadi 200 juta dollar AS.
Kebijakan wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan mengurangi jumlah pelanggan Tri dari 63 juta orang awal 2018 menjadi 37 juta menutup tahun 2018. Perusahaan pun mau tidak mau mengubah pendekatan pemasaran layanan ke pelanggan.
"Kalau sebelum ada kebijakan wajib registrasi, tiga nomor prabayar dimiliki oleh satu identitas. Kini, hampir 95 persen dari total pelanggan adalah pemilik satu nomor prabayar. Kamipun dapat mengurangi ongkos penerbitan kartu perdana nomor prabayar," kata Chief Commercial Officer Tri, Dolly Susanto, menimpali pernyataan Cliff.
Berangkat dari situasi itu, lanjut Dolly, perusahaan mengupayakan berbagai strategi untuk menjaga loyalitas pelanggan. Metode isi ulang semakin dipermudah. Pengembangan aneka produk dibuat mengikuti masukan konsumen.
Sebelum ada kebijakan wajib registrasi, tiga nomor prabayar dimiliki satu identitas. Kini hampir 95 persen dari total pelanggan adalah pemilik satu nomor prabayar.
Kebijakan wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan dirasa sukar untuk mengakuisisi pelanggan baru. Oleh karenanya, cara yang pas adalah memperluas jangkauan pembangunan infrastruktur jaringan. Selama kurun waktu 2018, Tri membangun sekitar 8.000 unit pemancar berteknologi 4G LTE. Tahun 2019, rencananya akan ada penambahan pemancar 4G LTE dengan jumlah yang sama. Lokasi pembangunan menyasar ke Jawa dan luar Jawa. "Kami ingin masuk ke kabupaten/kota kecil juga," kata Dolly.
Mengenai ketatnya persaingan harga layanan yang cenderung "perang", dia menegaskan, Tri memilih mengedepankan kualitas layanan.
Cliff mengungkapkan adanya tren penurunan konsumsi produk SMS dan suara karena pelanggan beralih memanfaatkan layanan data. Dua tahun terakhir, misalnya, Tri mencatat penurunan pemakaian jaringan untuk dua produk itu mencapai 60 - 70 persen.
Dia mengklaim, perusahaan telah lebih cepat menangkap gejolak itu, sehingga memutuskan memaksimalkan pemasaran layanan data seluler. Modernisasi infrastruktur jaringan diarahkan untuk memenuhi konsumsi data.
"Mayoritas pelanggan kami sekarang anak muda. Kami berinvestasi besar untuk membesarkan bisnis layanan data," jawab Cliff saat ditanya nominal belanja modal tahun 2019 khusus alokasi infrastruktur jaringan.
Mengutip laporan riset MNC Sekuritas, Telecommunication Sector Update: Paving the Way for Better Performance (Oktober 2018), pada semester I-2018, sektor industri telekomunikasi di Indonesia tumbuh 7,26 persen, di bawah angka rata-rata tahunan pada 2012-2017 yang sebesar 9,56 persen. Kondisi ini mempertimbangkan penurunan pendapatan tiga emiten telekomunikasi, yakni 8,39 persen.
XL Axiata
Sementara itu, per 31 Desember 2018, PT XL Axiata Tbk (XL Axiata) membukukan kenaikan penjualan dan pendapatan usaha sebesar 0,4 persen atau menjadi Rp 22,938 triliun. Kenaikan penjualan dan pendapatan usaha ini utamanya didorong oleh pendapatan layanan data seluler yang meningkat 13 persen dibanding setahun sebelumnya. Dengan demikian, kontribusi layanan data terhadap total penjualan dan pendapatan usaha tahun 2018 menjadi sebesar 80 persen.
Hingga tutup tahun 2018, pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (ETBIDA) XL Axiata naik 2 persen, diikuti kenaikan margin ETBIDA 1 poin menjadi 37 persen dibanding setahun sebelumnya.
Presiden Direktur dan CEO XL Axiata Dian Siswarini mengatakan, pencapaian tersebut merupakan bukti konsistensi perusahaan mengembangkan layanan data sebagai bisnis utama. Pada semester kedua, perusahaan menggenjot monetisasi layanan data.
"Hingga akhir tahun 2018, jaringan 4G LTE kami menjangkau 400 kabupaten/kota dengan total pemancar 30.000 unit. Pemancar berteknologi 3G telah mencapai 51.000 unit. Sejak awal tahun 2018, XL Axiata telah mulai mengurangi jaringan 2G di area tertentu mengikuti tren penurunan konsumsi penggunaan," ujar dia.
XL Axiata memiliki total 54,9juta pelanggan dan sekitar 43,9juta di antaranya pengguna ponsel pintar. Pelanggan XL Axiata yang aktif menggunakan layanan data saat ini juga telah mencapai 82 persen dari total.
Senada dengan Tri yang ingin memperluas jangkauan infrastruktur 4G LTE, XL Axiata pun demikian. Dian secara tegas menyebut pembangunan pemancar 4G LTE di luar Jawa akan terus dilanjutkan. Tujuan akhir yang ingin dituju adalah memperkuat fondasi bisnis, utamanya di produk data seluler.
"Sepanjang 2018 merupakan periode yang berat bagi industri telekomunikasi Indonesia. Semua operator harus menghadapi penerapan wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan dan diikuti ketatnya persaingan harga layanan. Operator pun menyongsong masa penurunan pendapatan layanan tradisional, yakni SMS dan suara," tambah dia.
Indosat Ooredoo
Pada tahun 2018, Indosat Ooredoo justru membukukan penurunan pendapatan sebesar 22,7 persen menjadi Rp 23,1 triliun dibanding 2017. ETBIDA pun menurun 49,1 persen menjadi Rp 6,5 triliun jika dibanding setahun sebelumnya, dengan ETBIDA marjin 28,1 persen.
Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo Chris Kanter menyebut pencapaian tersebut dipengaruhi oleh implementasi wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan. Ditambah lagi, antar operator saling bersaing ketat. Kejadian tersebut dia akui terjadi selama semester I-2018.
Namun, memasuki semester II-2018, kondisi industri mulai membaik. Dia menggambarkan, pada triwulan IV-2018, Indosat Ooredoo mengalami kenaikan pendapatan 11,7 persen dibanding triwulan sebelumnya. Kenaikan ini dikontribusi oleh pendapatan data yang tumbuh 6,0 persen.
Terkait basis jumlah pelanggan, Chris menceritakan, menutup akhir tahun 2018, Indosat Ooredoo memiliki 58 juta orang pelanggan. Meski total pelanggan itu turun 47,3 persen dibanding 2017, dia mengungkapkan sudah tampak gejala kestabilan jumlah pengguna.
"Loyalitas pelanggan lebih baik. Tingkat perpindahan pengguna atau churn rateterus turun dan stabil di kisaran 12 persen," tutur dia.
Chris menyebutkan, hingga akhir tahun 2018, perusahaan mengoperasikan 17.050 unit pemancar berteknologi 4G LTE di 376 kabupaten/kota, dengan cakupan 80 persen populasi. Tahun 2019 adalah saatnya ekspansi pembangunan infrastruktur jaringan 4G LTE.