JAKARTA, KOMPAS — Andono Warih, Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Jumat (8/3/2019), mengatakan, terkait hasil pemantauan Greenpeace, Dinas Lingkungan Hidup mengapresiasi hasil pemantauan tersebut.
Namun, untuk pemantauan kualitas udara tersebut, lanjut Andono, mesti dilihat dan dicermati parameter dan latar belakangnya. Jakarta dalam tiga tahun terakhir sangat masif dalam pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan MRT dan LRT.
Dari pembangunan masif, debu memang masih tinggi. Saat pembangunan selesai, diharapkan ada pengurangan kepadatan debu-debu itu. Untuk sumber polusi lain, seperti bahan bakar minyak, nantinya diupayakan diganti dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
”Untuk pemantauan kualitas udara pun kami terus memantau. Ada lima titik tempat pemantauan kita di seluruh Jakarta,” ujar Andono.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan, mengatakan, adanya laporan dari Greenpeace seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Provinsi DKI. Itu karena kualitas udara Jakarta yang kurang baik.
Data tersebut, lanjutnya, harus menjadi tantangan bagi gubernur dan jajarannya dalam tiga tahun depan bisa memperbaiki kualitas udara.
Apalagi, ujarnya, melihat dari program pembangunan infrastruktur angkutan umum yang siap beroperasi, bisakah angkutan-angkutan umum itu berperan dalam perbaikan kualitas udara?
”Artinya, menjadi tantangan bagi Pemprov DKI untuk bisa mendorong warga meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke angkutan umum. Itu juga bisa mendorong perbaikan kualitas udara,” ujarnya.
Artinya, menjadi tantangan bagi Pemprov DKI untuk bisa mendorong warga meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke angkutan umum. Itu juga bisa mendorong perbaikan kualitas udara.
Langkah lain, dalam konteks tata kota, apabila saat ini Pemprov DKI tengah gencar mencanangkan pembangunan kawasan berorientasi transit (TOD), Pemprov seharusnya mencermati, pembangunan itu lebih pada mendorong pembangunan properti di sekitar kawasan stasiun atau halte terdekat. Untuk menanggulangi kualitas udara yang tidak baik, seharusnya pemerintah memilih mengembangkan kawasan berorientasi komunitas atau masyarakat (transit oriented community/TOC).
Dalam TOC, Pemprov melakukan penataan kawasan yang berdekatan dengan jalur transportasi massal. ”Namun, yang dibenahi kawasannya sehingga masyarakat cukup berjalan kaki atau bersepeda dalam sehari-harinya,” ujar Nirwono.
Dalam TOC juga ada pembatasan kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Kendaraan umum tidak boleh masuk kawasan, tetapi cukup melingkar di sekitar kawasan. Itu sebabnya, harus ada perbaikan trotoar dan jalur sepeda sebagai akses masyarakat ke stasiun atau jaringan angkutan umum terdekat.
Dengan beberapa strategi itu, Pemprov DKI harus punya peta jalan menuju kualitas udara yang semakin baik. Ini menjadi panduan bagi DKI untuk melakukan perbaikan.