Perdagangan Bebas Berpotensi Kurangi Penerimaan Kepabeanan
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan Indonesia dalam sejumlah perjanjian kemitraan ekonomi berpotensi mengurangi penerimaan negara di sektor kepabeanan kendati tidak signifikan. Situasi itu tetap perlu diimbangi dengan peningkatan penerimaan perpajakan dari kinerja eskpor dan investasi jangka panjang.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, perjanjian kemitraan ekonomi bertujuan memperkecil restriksi perdagangan. Salah satu fasilitas yang disepakati bisa berupa pembebasan bea masuk atau penurunan pajak impor.
Hal itu tentu saja akan berdampak pada penerimaan fiskal negara. Dampaknya bisa ditilik dalam jangka pendek dan jangka menengah-panjang.
"Pada jangka pendek, penerimaan negara yang bersumber dari bea masuk dan pajak impor akan berkurang kendati tidak signifikan,” kata Faisal yang dihubungi Kompas di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Pada jangka pendek, penerimaan negara yang bersumber dari bea masuk dan pajak impor akan berkurang kendati tidak signifikan.
Menurut Faisal, pemerintah tetap harus hati-hati menjalin perjanjian kemitraan ekonomi kendati pendapatan fiskal negara tidak berkurang signifikan. Untuk itu, di tengah perlambatan ekonomi global, karakteristik negara dan potensi pasar yang dibidik mesti jelas dan potensial.
Tujuannya agar perjanjian ekonomi dalam jangka menengah-panjang mampu mengakselerasi penerimaan negara. “Dalam 2-3 tahun setelah diratifikasi, dampak dari perjanjian seharusnya mulai terlihat dari peningkatan penerimaan ekspor dan investasi,” kata dia.
Salah satu perjanjian yang dinilai cukup menguntungkan adalah Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Australia (IA-CEPA). Pemerintah Indonesia dan Australia menandatangani perjanjian itu pada 4 Maret 2019 di Jakarta.
Faisal menilai, Indonesia mungkin tidak mendapat manfaat signifikan di sektor perdagangan barang karena jumlah penduduknya 10 kali lipat lebih banyak dari Australia. Namun, IA-CEPA akan sangat menguntungkan Indonesia di bidang perdagangan jasa dan investasi.
Baca juga: Pilar Penting RI-Australia
"Sektor tersebut perlu dioptimalkan guna mengimbangi potensi penurunan penerimaan di sektor kepabeanan," kata dia.
Sektor tersebut (perdagangan jasa dan Investasi) perlu dioptimalkan guna mengimbangi potensi penurunan penerimaan di sektor kepabeanan.
Sementara itu, pelaksanaan sejumlah perjanjian internasional dan kondisi ketidakpastian perdagangan global berpengaruh terhadap pelambatan penerimaan sektor kepabeanan.
Kementerian Keuangan mencatat, secara keseluruhan, penerimaan dari kepabeanan dan cukai per 31 Januari 2019 sebesar Rp 3,8 triliun. Penerimaan itu tumbuh tipis sebesar 6,7 persen dari periode sama 2018 yang sebesar Rp 3,5 triliun.
Dari pos penerimaan itu, realisasi bea keluar turun 10,4 persen menjadi Rp 300 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu. Sementara, realisasi bea masuk tumbuh melambat sebesar 5,2 persen menjadi Rp 2,9 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dinamika ekonomi global memang memengaruhi penerimaan bea masuk dan bea keluar. Bea keluar tumbuh negatif karena volume ekspor salah satu perusahaan tambang terbesar menurun.
"Adapun bea masuk tumbuh melambat. Salah satunya akibat kebijakan pengendalian impor," kata dia.
Dinamika ekonomi global memang memengaruhi penerimaan bea masuk dan bea keluar.
Di sisi lain, pemerintah akan berupaya meningkatkan ekspor yang saat ini tengah tumbuh melambat. Beberapa upaya yang dilakukan adalah melalui perjanjian internasional dan memberikan insentif perpajakan kepada industri untuk meningkatkan produktivitas ekspor.
Baca juga: Perlambatan Global Makin Berdampak
Mengutip Laporan Belanja Perpajakan 2016-2017 yang dirilis akhir September 2018, Sri Mulyani mengatakan, alokasi belanja pajak (tax expenditure) untuk insentif industri meningkat dari Rp 143,6 triliun pada 2016 menjadi Rp 154,7 triliun pada 2017.
Belanja pajak itu meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Penghasilan (PPh), serta bea masuk dan cukai yang diberikan pemerintah pusat dalam bentuk insentif atau pengurangan kewajiban perpajakan kepada pelaku usaha dan investor.
“Intinya, kami akan membuat kebijakan yang lebih kondusif bagi industri dalam negeri sehingga beban mereka baik dalam perpajakan atau kepabeanan tetap bisa diringankan karena tema besar Pak Presiden adalah investasi dan ekspor,” kata Sri Mulyani.
Untuk itu, pada tahun ini Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan negara yang bersumber dari bea masuk dapat mencapai Rp 38,9 triliun atau 2 persen dari total penerimaan perpajakan dalam APBN 2019 sebesar Rp 1.786,4 triliun. Sementara itu, pajak non migas—termasuk Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, ditargetkan mencapai Rp 1.511,4 triliun.
Realisasi PPh 22 impor dan PPN impor per 31 Januari 2019 masing-masing Rp 4,64 triliun dan Rp 13, 83 triliun. Pertumbuhan kedua pajak impor itu melambat dibandingkan periode sama tahun lalu. PPh 22 impor tumbuh sebesar 13,6 persen dan PPN impor tumbuh 6 persen.
Ratifikasi
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), dalam empat tahun terakhir, ada delapan perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Selain itu, ada dua perjanjian internasional dalam proses ratifikasi, lima yang sudah ditandatangani. Semua perjanjian internasional itu berpotensi meningkatkan ekspor sebesar 1,9 miliar dollar AS.
Pada 2019, pemerintah menargetkan ada 12 perjanjian perdagangan internasional yang akan diselesaikan. Dari jumlah itu, satu perjanjian yang sudah ditandatangani, yaitu IA-CEPA.
Perjanjian-perjanjian itu berupa perjanjian perdagangan bebas (FTA), perjanjian tarif preferensial (PTA), perdagangan jasa dan investasi, serta kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA). Perjanjian-perjanjian itu diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama di sektor perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi.
Lead Advisor Kementerian Perdagangan Lili Yan In, dalam sebuah diskusi Januari lalu, menuturkan, sepuluh tahun terakhir, Indonesia tertinggal dari Thailand, Malaysia, dan Singapura yang sangat aktif membangun perjanjian internasional. Untuk itu, sejak tahun lalu Indonesia mulai mereaktivasi sejumlah perjanjian internasional.
“Selain dengan negara mitra dagang, perjanjian juga dijalin dengan negara-negara pasar non-tradisional,” kata Lili.