SEMARANG, KOMPAS - Perundingan batas maritim antara Indonesia dan negara-negara tetangga harus melalui proses panjang dan penuh tantangan. Meskipun tim perunding berganti-ganti, soliditas dan keteguhan sikap pemerintah diperlukan demi kepentingan nasional. Perlu ada ide kreatif baru, keputusan politik yang cepat, dan keinginan kuat untuk meraih solusi terbaik.
Selama ini ada hambatan dalam perumusan posisi nasional. Pedoman delegasi yang dibawa untuk setiap perundingan, yang merupakan hasil rapat seluruh kementerian, dirumuskan berbulan-bulan. Salah satunya karena ego sektoral kementerian. Penentuan sikap dasar ini dianggap terlalu lama.
Hal itu disampaikan diplomat senior sekaligus ahli diplomasi maritim, Eddy Pratomo (65), pada pengukuhannya sebagai Guru Besar Dosen Tidak Tetap Hukum Internasional Universitas Diponegoro di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (9/3/2019). Ia berbagi pengalamannya sebagai juru runding.
"Kepada pemerintah dan akademisi, saya mengusulkan agar kita harus memiliki posisi nasional yang solid dan tak berubah-ubah, meski tim perunding selalu berganti. Lalu perlu ada ide-ide kreatif baru, keputusan politik yang lebih cepat, serta keinginan kuat untuk mencapai solusi lebih baik," ujar dia.
Peliknya situasi saat perundingan membuat kesepakatan tak kunjung tercapai. Dengan Malaysia, misalnya, ada lima segmen batas maritim yang mesti diselesaikan yakni Laut Sulawesi, Laut Tiongkok Selatan, Selat Singapura bagian timur, Selat Malaka bagian selatan, dan Selat Malaka. Laut Sulawesi menjadi salah satu lokasi terpenting karena kekayaan sumber daya alamnya.
Menurut Eddy, salah satu permasalahan yang dihadapi ialah dalam opsi penetapan garis tengah. "Untuk penetapan batas laut wilayah, prinsipnya, garis batas ialah garis tengah. Namun, selama negosiasi, kerap kali satu pihak tak menyetujui motede penarikan garis pangkal pihak lainnya," ujarnya.
Dalam kasus penetapan batas laut Indonesia-Malaysia, ada perbedaan interpretasi dari ketentuan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982. Perbedaan tersebut yang membuat perundingan lama hingga tak tercapainya kesepakatan.
Malaysia berpendapat Indonesia tak boleh menggunakan garis pangkal kepulauan untuk mentapkan garis tengah. Malaysia sendiri menggunakan menggunakan garis pangkal lurus, padahal negara tersebut tidak berhak menggunakan metode itu karena bukan negara kepulauan.
Eddy menambahkan, mandat yang diberikan kepada juru runding juga menjadi hambatan. "Saya diminta Menlu dan Presiden untuk merundingkan lima segmen, tetapi pihak Malaysia mengatakan hanya diberi mandat untuk berunding Laut Sulawesi. Ini juga membuat lama," ujarnya.
Ambisi pribadi
Dalam pidatonya, Eddy juga menyampaikan lima formula yang diharapkan dapat digunakan oleh para juru runding di masa medatang. Di antaranya yakni sabar dan teguh dalam pendirian, sering mendengarkan pendapat pakar, suka meneliti, serta mengetahui sejarah tentang negara kepulauan.
Selain itu, diperlukan kerja sama tim yang kuat dalam perundingan. "Serta, tidak ada ambisi pribadi. Sebab, apabila menang (dalam perundingan), ini bukan kemenangan seseorang, tetapi kemenangan tim dan jadi kemenangan Indonesia," kata Eddy.
Eddy merupakan mantan Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri. Pada 2009-2013, ia ditunjuk sebagai Dubes RI untuk Republik Federasi Jerman. Selanjutnya, pada 2015-2018 menjadi utusan khusus Presiden RI untuk penetapan batas maritim RI-Malaysia.
Rektor Undip Yos Johan Utama menuturkan, menjadi juru runding, terlebih untuk perundingan batas laut, bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, banyak tekanan yang harus diatasi. Undip pun mendorong lahirnya negosiator-negosiator batas laut baru, mengingat ini menyangkut kedaulatan negara.
Dekan Fakultas Hukum Undip Retno Saraswati mengatakan, pengukuhan Eddy Pratomo sebagai guru besar dosen tidak tetap diharapkan dapat mengembangkan bidang diplomasi maritim di Undip. "Kami akan membuat pusat studi, serta pelatihan-pelatihan tentang bagaimana menjadi juru runding batas laut," katanya.