Tekan Kecelakaan di Tol, Sejumlah Lembaga Bentuk Pokja
Oleh
Maria Clara Wresti
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semakin banyaknya jalan tol yang mulai dioperasikan dinilai harus dibarengi dengan upaya peningkatan keselamatan perjalanan. Sebab, kecelakaan di jalan tol terus terjadi dengan angka yang cenderung naik dan sebagian besar faktor penyebabnya adalah manusia.
Oleh karena itu, Kepolisian Negara RI, Badan Pengatur Jalan Tol, Direktorat Jenderal Bina Marga, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan bekerja sama membentuk kelompok kerja (pokja) untuk memetakan penyebab kecelakaan dan mencari cara mengatasinya.
Sepanjang tahun 2016-2018, misalnya, terjadi 2.853 kecelakaan di 15 jalan tol yang dikelola Jasa Marga. Dari kecelakaan itu, jumlah korban meninggal cenderung meningkat, yakni 89 orang tahun 2016, lalu tahun 2017 sebanyak 116 orang, dan tahun 2018 sebanyak 107 orang.
”Saat ini kami sedang mempersiapkan surat keputusan pembentukan pokja dan setelah itu tim akan bekerja dengan cepat agar keselamatan di jalan tol bisa ditingkatkan,” kata Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Ahmad Yani di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Yani mengatakan, penyebab kecelakaan tidak hanya karena kecepatan yang terlalu tinggi, tetapi juga kecepatan yang terlalu rendah sehingga menyebabkan tabrak belakang. ”Banyak kendaraan yang melanggar batas kecepatan. Kecepatan di tol itu 60-100 kilometer per jam, tergantung pengaturan setiap tol. Namun, banyak kendaraan yang melaju di atas batas kecepatan atau justru berjalan lambat di bawah 60 kilometer per jam,” kata Yani.
Pada akhir Februari hingga awal Maret 2019 setidaknya ada dua kecelakaan tabrak belakang truk. Kecelakaan pertama terjadi di Kilometer (Km) 349 Tol Batang dengan satu orang meninggal. Berikutnya terjadi di Km 604 Tol Madiun dengan tiga orang meninggal seketika. Kejadian di Tol Batang melibatkan kendaraan yang membawa Bupati Demak.
Pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, terhubungnya Tol Trans-Jawa diharapkan dapat melancarkan logistik. ”Namun, yang kurang dipahami adalah truk barang di Indonesia tidak dirancang untuk kecepatan tinggi. Banyak dari angkutan barang yang membawa muatan berlebih sehingga lajunya tidak bisa lebih dari 40 km per jam. Akibatnya, bisa terjadi tabrak belakang karena truk berjalan terlalu lambat,” kata Djoko.
Pemerintah sebenarnya telah membuat beberapa pengaturan, seperti perundang-undangan, dan memasang rambu-rambu lalu lintas. Tempat istirahat juga sudah dibuat sehingga pengemudi bisa mengistirahatkan diri dan kendaraannya. Namun, ujarnya, masih banyak pengemudi yang tidak disiplin dalam berkendara.
Untuk membantu penertiban, Direktur Prasarana Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Risal Wasal mengatakan, pemerintah akan menempatkan kamera pemantau kecepatan (speed camera) untuk membantu polisi lalu lintas melakukan tindak pelanggaran (tilang) terhadap pelanggar batas kecepatan. ”Kendaraan tidak akan ditilang di tempat, tetapi akan ditilang di akhir perjalanan, saat kendaraan keluar dari jalan tol,” kata Risal.
Selain itu, kendaraan barang dan bus juga harus dilengkapi dengan stiker khusus yang menyala sehingga bisa terlihat dari kejauhan. ”Stiker ini bisa terlihat dari jarak 200 meter dan akan tampak jelas saat hujan. Untuk kendaraan baru, stiker akan langsung terpasang dari pabrik. Tetapi, untuk kendaraan lama, mereka harus mengurusnya di dinas perhubungan setempat,” ujarnya.
Ditjen Perhubungan Darat sudah menerbitkan aturan alat pemantul cahaya tambahan (APCT). Aturan ini baru berlaku 1 Mei 2019 untuk bus dan truk baru. serta 1 September 2019 untuk mobil dan truk yang sudah beroperasi. Harapannya, APCT dapat mengurangi tabrak dari belakang, terutama pada malam hari, karena ada pantulan cahaya dari mobil tersebut.
Djoko menambahkan, pendidikan terhadap pengemudi juga harus dilakukan untuk mengurangi angka kecelakaan. Jalan-jalan tol yang nyaman pun bisa mengundang bahaya karena dapat mengakibatkan microsleep. Microsleep terjadi pada kisaran 4-5 detik, yang jika terjadi kecelakaan bisa fatal.
”Oleh sebab itu, setiap 2-3 jam berkendara di jalan tol, pengemudi harus beristirahat. Dapat di rest area yang sudah tersedia di sepanjang tol atau memilih keluar tol mencari rumah makan untuk beristirahat sejenak barang 30 menit. Kendaraan pun perlu beristirahat untuk menghindari pecah ban,” ujarnya.