Amerika Serikat Bantu Indonesia Bebas Penyakit TBC Tahun 2030
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS- Pemerintah Amerika Serikat telah menginvestasikan lebih dari Rp 1,8 triliun untuk akselerasi deteksi tuberkulosis (TBC) dan peningkatan layanan TBC di Indonesia. Investasi yang diberikan dalam 10 tahun terakhir tersebut, menyentuh lebih dari 700.000 penderita tuberkulosis.
Tidak berhenti sampai di situ, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R Donovan Jr mengatakan, investasi dan kerjasama untuk memerangi tuberkulosis di Indonesia, akan terus berlanjut.
“Kami masih akan terus mendampingi dan membantu mewujudkan Indonesia Bebas TBC di tahun 2030,” ujarnya, saat ditemui dalam peringatan Hari Tuberkulosis Dunia dan Perayaan 70 Tahun Kemitraan Amerika Serikat-Indonesia untuk memerangi TBC di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/3/2019).
Investasi tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan pendampingan teknis, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tenaga kesehatan, untuk meningkatkan layanan dan program penuntasan TBC di Indonesia.
Selain itu, pemerintah Amerika Serikat juga menginvestasikan dana penanggulangan tuberkulosis sebesar Rp 315 miliar per tahun, yang disalurkan melalui lembaga Global Fund To Fight AIDS, TBC, and Malaria.
Donovan mengatakan, Amerika Serikat sangat peduli terhadap perkembangan penyakit tuberkulosis karena penyakit ini masih menjadi penyakit yang mengancam kehidupan secara global. Jumlah kematian akibat tuberkulosis di dunia mencapai 1 juta orang per tahun.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, deteksi dan program penuntasan tuberkulosis difokuskan di daerah-daerah yang padat penduduk seperti kawasan perkotaan, dan tempat-tempat tertentu yang rawan penularan TBC karena tingkat huniannya yang padat seperti lembaga pemasyarakatan (LP), sekolah, madrasah dan pondok pesantren.
Khusus di LP, Anung mengatakan, deteksi tuberkulosis ini dilakukan bersamaan dengan deteksi infeksi HIV/AIDS.
“Screening atau deteksi HIV dan TBC bisa dilakukan secara sekaligus, karena penyakit tuberkulosis biasanya menjadi penyakit penyerta, yang mengikuti gejala penyakit HIV/AIDS,” ujarnya.
Melihat tingkat kepadatan penduduk dan angka prevalensi kasus, Anung mengatakan, daerah-daerah yang saat menjadi prioritas penanggulangan dan pengendalian penyakit tuberkulosis antara lain adalah Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.
Tahun 2018, jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia 842.000 orang, dengan angka prevalensi mencapai 142 kasus TBC per 100.000 orang.
Anung mengatakan, masih banyak kasus TBC belum terungkap. Oleh karena itu, upaya deteksi dan pengungkapan kasus terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak seperti kader puskesmas, PKK, dan organisasi di sekolah seperti Pramuka.
Ganjar Pranowo mengatakan, di Jawa Tengah, jumlah kasus tuberkulosis yang terungkap mencapai 49.616 orang. Karena angka tersebut baru sekitar 49 persen dari target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, pihaknya terus berupaya mengintensifkan upaya pengungkapan kasus TBC di masyarakat.
Ganjar mengatakan, Jawa Tengah telah memiliki 67 alat tes, yang bisa mendeteksi penyakit TBC secara cepat, yang tersebar di 35 kabupaten/kota. Keberadaan alat tersebut hendaknya dibarengi dengan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri.
Eriani (29), warga Kabupaten Semarang, mengatakan, dua anaknya yaitu Kristian Varel (8) dan Bintang Azka (4), sempat tertular TBC dari ayahnya, Agus Sriyanto (32). Sekalipun keduanya sudah menjalani pengobatan dan kini sudah dinyatakan sembuh, dua anak tersebut masih berisiko tertular kembali.
“Untuk menghindari tertular, dua anak saya terbiasa menggunakan masker saat di rumah. Namun, karena tinggal di rumah dan penderita adalah ayahnya sendiri, maka sampai sekarang, potensi tertular pun mungkin masih ada,” ujarnya.