Bekal Kehidupan di Balik Perpaduan Silat dan Sastra Kampar
Oleh
·3 menit baca
Menyatukan konsep silat dan sastra menjadi ide utama dalam seni pertunjukan Bokal karya Iwan Harun Ismail. Melalui karyanya itu, Iwan sekaligus ingin mengajak khalayak untuk mempersiapkan bokal kehidupan.
Bokal dalam bahasa Kampar, Riau, berarti bekal atau perbekalan. Bekal yang dimaksud dalam pertunjukan ini adalah tameng yang bisa digunakan oleh manusia untuk membentengi diri dari hal-hal negatif yang bersifat destruktif.
"Pertunjukan ini menggabungkan dua konsep besar yakni silat Kampar dan sastra lisan Kampar. Kedua hal ini sama-sama memiliki nilai yang luhur, berkenaan dengan kehidupan manusia" ucap Iwan saat ditemui usai pentas di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Sabtu (9/3/2019).
Bekal itu berupa nasihat kehidupan dari sisi agama dan adat istiadat Kampar yang penting untuk menjalin dan merekatkan hubungan dengan sesama manusia atau hubungan dengan Sang Pencipta.
Selama lebih kurang satu tahun, Iwan melakukan riset terkait nilai-nilai dalam silat dan sastra lisan. Ia kemudian menggabungkan persamaan-persamaan yang ada dalam dua hal tersebut dan menterjemahkannya ke dalam bentuk gerakan.
Iwan mencontohkan, di dalam silat Kampar, salah satu unsur yang perlu dimiliki oleh pesilat adalah insting kewaspadaan. Hal ini diperlukan agar pesilat tidak mudah lengah dengan tipu daya lawan.
Sementara dalam sastra lisan Kampar, kewaspadaan diwujudkan dalam nasihat yang berbunyi, "Kalau pahit jangan langsung dimuntahkan, kalau manis jangan langsung ditelan".
"Persamaan-persamaan filosofi dari dua unsur itu saya terjemahkan ke dalam bentuk gerakan dan iringan musik yang berdurasi 60 menit," imbuh Iwan.
Pertunjukkan dibuka dengan masuknya dua pria berpakaian serba putih ke atas pentas. Salah satu memainkan alat musik tiup, lainnya bersenandung sambil sesekali menyampaikan petuah-petuah dalam bahasa Kampar.
Petuah yang disebutkan antara lain ajakan untuk bertaubat, meminta ampun kepada Tuhan, dan meminta maaf kepada sesama. Intinya, kedua pria itu mengajak para penontonnya menyucikan diri dari sifat angkara.
Melalui pembukaan pertunjukan seperti itu, Iwan ingin menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat yang belakangan mulai dipenuhi dengan hal-hal negatif seperti kekerasan, narkoba dan perbuatan kriminal lainnya.
Jika tidak memiliki bekal yang baik, manusia bisa terjerembab ke dalam lubang kehidupan yang negatif tersebut.
Iwan menuturkan, sejak lahir, telinga anak Kampar sudah ditetesi dengan sastra lisan yang bisa menjadi bekal bagi dirinya untuk menghadapi kehidupan. Sayangnya, tidak semua anak Kampar menyadari tumbuh kembang sastra lisan tersebut.
Gambaran itu tercermin dari masuknya tiga orang penari berpakaian hijau. Para penari tersebut tampak mengabaikan sastra lisan yang disampaikan dua pria berbaju putih. Mereka tampak cuek dan sesekali bertikai satu sama lain.
Setelah menjalani rangkaian pasang surut kehidupan yang digambarkan dalam gerakan-gerakan silat, pada akhirnya para penari sampai pada masa akhir. Dalam masa itu digambarkan, penari mengambil pakaian serba putih dan susah payah memakainya.
Setelah berupaya cukup keras, semua pakaian putih berhasil terpasang. Dua pria berpakaian putih kemudian masuk ke pentas dan bergabung bersama para penari.
Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, Renitasari Adrian mengharapkan, pertunjukan ini bisa memperkenalkan penonton dengan tradisi kekayaan budaya di Indonesia, khususnya di Kampar, Riau. Selain itu, Renita ingin membantu membangkitkan ingatan anak-anak atau generasi muda Kampar tentang nilai-nilai sastra lisan dan silat.
Salah satu penonton, Anastasia Ambar (23) mengatakan, pada awalnya dirinya belum bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan itu. Namun, menjelang akhir pertunjukkan, dirinya mampu menangkap pesan bahwa untuk mencegah terjerembab pada perbuatan negatif, perlu bekal.
"Bekal yang dimaksud baru saya dapatkan di akhir pertunjukan. Saya mendapatkan wawasan bahwa, berproses meninggalkan perbuatan negatif itu tidak mudah. Perlu perjuangan panjang dan berat seperti saat penari berusaha mengganti pakaian menjadi serba putih," tutur Ambar. (KRISTI DWI UTAMI)