JAKARTA, KOMPAS—Musik Kamisan edisi Maret 2019 akan menghadirkan Rudy Octave berkolaborasi dengan pelaku-pelaku seni tutur lisan dalam pementasan bertajuk “Rap Nusantara“. Pementasan itu akan digelar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/3/2019) pukul 19.30 WIB.
Dalam rangka me“rap“kan pelantun syair, penembang mantra dan penutur kearifan lokal nusantara, pertunjukan itu akan menampilkan sejumlah pelaku seni tutur lisan antara lain : PM Toh (penutur cerita dari Aceh), Denon (rapper wanita), Ki Dalang Bubun Subandara, Dade Ndate (perempuan penutur lagu dari Sulawesi Tengah), penari Cachi dari Manggarai NTT, Nyanyian Hutan dan Gunung (Conrad dan Glen asal Nduga, Papua), Tabib Pengobatan dari suku Dayak Kanayatn Kalimantan Barat, Fery Sape dan Blur Stevan yang akan melantunkan mantra dalam musik hiphop.
Rudy Octave, musisi yang pernah menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta itu sudah menekuni dunia musik sejak remaja. Sampai saat ini Rudy Octave bekerja sebagai ilustrator musik untuk drama, teater, sinetron, iklan, dan film layar lebar.
Di Indonesia tutur atau lantun semacam ini pun sepertinya ada, akan tetapi sejarah menyebutkan pelantun syair di Nusantara tidak masuk dalam industri musik Indonesia.
Nyanyian rakyat
Musik hiphop yang biasa mengiringi gaya bernyanyi Rap bukan hal yang baru di belantika musik Indonesia. Rap adalah kependekan dari kata “Rhyme And Poetry“ atau “Rima, Artikulasi, dan Puisi“, merupakan nyanyian rakyat keturunan Afrika.
Dulu di daerah Afrika Barat ada seorang bernama Mande Jeli yang sangat dikenal sebagai pelantun dongeng kerajaan. Selain melayani dongeng rakyat, melestarikan silsilah raja, pelantun narasi sejarah, dia juga penasehat kerajaan, penghibur hati raja, bahkan cukup berperan dalam hal diplomasi. Orang yang berprofesi seperti Mande Jeli ini biasa disebut GRIOTS.
Para Griots makin lama kian terkenal, yang akhirnya jadi metode di masyarakat umum dalam pengungkapan cerita dengan kata-kata banyak, cepat, sekaligus menghibur. Karena banyaknya imigran Afrika datang ke benua Amerika, tradisi lisan ini datang dan berasimilasi dengan kultur setempat. Ketika industri musik meroket di Amerika Serikat, budaya tutur ini pun banyak dibuat dalam produksi rekaman musik, hingga akhirnya musik hiphop dan rap bisa mendunia.
“Di Indonesia tutur atau lantun semacam ini pun sepertinya ada, akan tetapi sejarah menyebutkan pelantun syair di Nusantara tidak masuk dalam industri musik Indonesia, sehingga proses industrialisasi ‘Rap’ di nusantara tidak berproses seperti di Amerika. Itu sebabnya pula mengapa semua produksi musik Rap di Indonesia meniru gaya rap di Amerika,”kata Direktur Program Bentara Budaya Frans Sartono, Minggu (10/3/2019), dalam siaran pers, di Jakarta.