Mengurai Tumpang Tindih Regulasi
Tumpang tindih puluhan ribu regulasi merupakan perkara mendasar di Indonesia yang belum teratasi selama bertahun-tahun. Namun, persoalan tersebut mulai diatasi dengan teknologi ”machine learning” yang dibangun dan dikembangkan ”start up” bernama Indexalaw.
Puluhan ribu regulasi berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan seterusnya dikumpulkan jadi satu. Setelah terkumpul, program komputer untuk mengenali kata demi kata puluhan ribu regulasi itu ditulis. Berikutnya, program tersebut mencari hubungan antar-regulasi. Pemetaan korelasi ini bisa menguak kecenderungan tumpang tindihnya antar-peraturan.
Tahapan berikutnya penilaian dan keputusan manusia, yakni apakah korelasi itu, secara kontekstual, dapat ditafsirkan sebagai tumpang tindihnya regulasi dan dengan demikian bisa dicabut salah satunya ataukah tidak. Di situ tak berhenti. Mesin ini juga bisa dipakai menelusuri putusan-putusan hakim. Para hakim pun akan terbantu memutuskan perkara dan menghindari putusan atas dasar aturan yang dicabut, misalnya oleh Mahkamah Konstitusi.
CEO Indexalaw Evandri G Pantouw saat ditemui pertengahan Januari lalu mengaku pernah menemukan kasus tersebut. Hal itu tak juga bisa dikatakan absurd. Sebab, dengan beban perkara yang banyak dan keterbatasan informasi di lokasi tertentu, waktu bagi hakim belajar dan memperbarui pengetahuan semakin terbatas.
Tak heran jika dalam waktu relatif singkat, Indexalaw beroleh kepercayaan sejumlah lembaga menangani penataan regulasi. Sejak November 2018, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan mulai menggandeng Indexalaw. Pihaknya juga bekerja sama dengan Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Di Kejagung, Indexalaw menemukan banyak regulasi internal yang bahkan belum dikodifikasi. Ini membuat, misalnya, ada peraturan yang dibuat dan cenderung bertabrakan dengan peraturan 1984 yang belum dicabut. Namun, ingatan banyak orang menyebut aturan itu sudah dicabut. Atau misalnya, adanya ingatan kolektif orang-orang di lembaga tersebut tentang peraturan tertentu, tetapi dokumen kertas yang memuat peraturan itu tak lagi bisa ditemukan.
Adanya ribuan peraturan, imbuh Evandri, dapat terjadi karena orang-orang suka mengira peraturan yang dibuat jumlahnya sedikit. Namun, sebagian orang cenderung melupakan peraturan itu punya turunan dan korelasi dengan regulasi lain dan membuat jumlahnya menjadi relatif banyak.
Program yang dikembangkan Indexalaw saat ini sudah bisa melakukan pengecekan ruang lingkup dan keterkaitan antar-perundang-undangan. Ruang lingkup inilah yang menjadi awalan mencari kepastian atas kesamaan antara satu produk hukum dan lainnya.
Selain itu, program ini dapat pula melakukan pemeriksaan silang peraturan-peraturan menteri yang merujuk ke undang-undang tertentu. Hal ini membuat pemetaan aturan jadi sangat mungkin. Apalagi, jumlah regulasi terus bertambah setiap tahun, baik UU; perpres; permen; maupun peraturan dirjen, sekjen, dan kepala-kepala lembaga yang dihasilkan hingga ke surat keputusan dan surat edaran. Jika berbagai regulasi itu tak dikenali korelasinya, peluang tumpang tindih bakal semakin besar.
Tantangan
Evandri memulai Indexalaw sejak 2016. Pengalamannya mengurus izin usaha dalam bidang teknologi informasi, dengan sejumlah keruwetan regulasi, menjadi salah satu latar belakangnya.
Awalnya, ia hanya ingin fokus mengumpulkan putusan-putusan pengadilan sembari memendam niat membuat program komputer menata regulasi. Belakangan, setelah melihat bahwa sejauh itu tak ada pihak yang benar-benar punya solusi menata regulasi, Evandri pun memutuskan terjun.
Selama ini, solusi yang ditawarkan pemain lain baru sebatas pengumpulan basis data peraturan perundang-undangan dan regulasi terkait, tanpa ada sistem otomatis untuk mengorelasikannya. Sejumlah solusi yang sebelumnya ada sifatnya lebih sebagai ”buku digital” berisi kumpulan regulasi.
Memulai sesuatu yang belum ada, sebut Evandri, sebagai sesuatu yang ”sangat sulit.” Ia mesti sering berkunjung ke berbagai kementerian dan lembaga untuk mengetahui tolok ukur melihat korelasi dan harmonisasi regulasi. Sebagian pengumpulan regulasi dilakukan lewat laman elektronik setiap lembaga. Namun, data di laman elektronik tak lengkap sehingga pengumpulan data juga harus dilakukan manual. Hal ini mesti dilakukan perlahan-lahan demi memenuhi kelengkapan. Sebab, untuk membangun dan mengembangkan machine learning dengan kemampuan spesifik, basis data yang lengkap jadi sumber daya utamanya.
Salah satu tantangan terbesar Indexalaw adalah ”mematematikakan” bahasa-bahasa dan frasa hukum. Dalam suatu delik hukum, terkadang ada kesenjangan pemahaman. ”Ketika kita ingin membuat pemahaman ini jadi kontekstual, kita harus tanya dulu, ini kontekstual menurut sudut pandang siapa,” urai Evandri.
Tantangan ini tercakup dalam pengembangan Natural Language Processing (NLP) agar komputer bisa paham secara utuh bahasa dan istilah-istilah hukum. NLP menjadi dasar bagi komputer beroperasi dan memungkinkan menyajikan informasi tertentu yang dapat dipergunakan manusia. Sejumlah bahasa pemrograman komputer digunakan untuk membangun sistem tersebut.
”Mesinnya (program komputer) tidak 100 persen automated. Cukup banyak kerjaan yang dilakukan manusia pada awal-awalnya. Ini bagian dari mengajari mesin biar semakin pinter,” ucap Evandri lagi. Program komputer dalam sistem tersebut memang didesain untuk terus melakukan perbaikan sehingga dinamai machine learning.
Mengumpulkan konteks yang berbeda-beda inilah yang juga cukup menyita waktu. Karena itu, Evandri dan timnya mesti bertanya langsung kepada para pembuat aturan ihwal latar belakang, konteks, dan lainnya dari pembuatan aturan.
Manfaat
Pemangkasan regulasi memang tak bisa dilakukan begitu saja. Sebab, dampak yang terjadi akibat dicabutnya sebuah aturan juga mesti diukur. Demikian pula jika hendak membuat aturan baru, perlu analisis cost and benefit. Hal ini yang saat ini tengah dikembangkan Indexalaw bersama Bappenas.
Penasihat Senior Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Diani Sadiawati mengatakan, sistem yang tengah dikembangkan Indexalaw memungkinkan keterkaitan atau korelasi antar-regulasi bisa diotomatisasi. Ini membuat banyak penghematan waktu dan energi. Selain itu, pemangkasan berbagai regulasi dengan korelasi dan derajat tumpang tindih tertentu juga memungkinkan. Pertanyaan berikutnya, lembaga mana yang akan menjalankannya.
Diani mengatakan, Sekretariat Kabinet mendorong proses ini sejak November 2018. Ini membuat pembuatan regulasi pun ditempatkan jadi satu, tak dilakukan setiap kementeria/lembaga. Pengajuan pembentukan peraturan perundangan berdasarkan analisis cost and benefit. ”Di sini sistem (otomatisasi Indexalaw) tersebut penting,” ujar Diani.
Dikutip dari buku Strategi Nasional Reformasi Regulasi: Mewujudkan Regulasi yang Sederhana dan Tertib yang diterbitkan Kementerian PPN/Bappenas (2016), ada 12.471 regulasi pada periode 2000-2015. Adapun jumlah peraturan
daerah sejak era reformasi hingga 2015 tercatat 3.111 perda untuk tingkat provinsi dan 25.575 perda di tingkat kabupaten/kota.
Menilik banyaknya aturan, Indexalaw barang kali bisa menjadi solusi bagi kebuntuan tumpang tindihnya regulasi.