JAKARTA, KOMPAS — Paparan polusi udara dalam jangka panjang tidak hanya berisiko memicu penyakit pernapasan dan kanker, tetapi juga gagal jantung. Oleh sebab itu, upaya mengurangi polusi udara mesti jadi perhatian bersama agar risiko penyakit yang ditimbulkan bisa ditekan.
Pesan itu mengemuka dalam diskusi yang diadakan Koalisi Ibu Kota di Jakarta, Minggu (10/3/2019). Diskusi bertajuk ”Yakin Udara yang Kamu Hirup Bersih?” ini diikuti peserta pada acara hari bebas kendaraan bermotor di sekitar lokasi.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Ade Imasanti Sapardan menjelaskan, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Circulation baru-baru ini, polusi udara berpengaruh terhadap kondisi jantung. Orang yang tinggal di lokasi dengan polusi udara tinggi memiliki jantung lebih besar (bengkak) dibandingkan dengan orang yang tinggal di lokasi bebas polusi.
”Pembengkakan itu gejala awal gagal jantung. Jika terus-menerus menghirup udara yang tidak bagus ini, seseorang berisiko mengalami gagal jantung,” kata dokter yang sehari-hari berpraktik di Rumah Sakit Mayapada ini.
Pembengkakan itu gejala awal gagal jantung. Jika terus-menerus menghirup udara yang tidak bagus ini, seseorang berisiko mengalami gagal jantung.
Menurut Ade, selama praktik, dirinya sering menemukan pasien yang mengalami pembengkakan jantung yang diduga berkaitan dengan polusi udara. Dugaan itu muncul karena pasien tidak memiliki riwayat merokok ataupun penyakit lain yang bisa memicu pembengkakan jantung. Temuan pada penelitian tersebut memperkuat dugaan itu.
Ade melanjutkan, selain gagal jantung, penyakit lain yang bisa dipicu oleh polusi udara antara lain infeksi saluran pernapasan akut, penyakit paru obstruktif kronis, asma, bahkan kanker.
Ia menambahkan, penggunaan masker memang bisa mengurangi dampak polusi udara terhadap kesehatan. Meski demikian, tidak semua jenis masker bisa menyaring polusi, terutama debu halus berukuran 2,5 mikron atau PM 2,5. PM 2,5 hanya bisa disaring masker khusus, tetapi peredarannya masih terbatas dan harganya mahal.
Mengkhawatirkan
Perwakilan Koalisi Ibu Kota, yang juga pengampanye polusi udara Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan, kondisi udara di Jakarta mengkhawatirkan. Bahkan, Jakarta menjadi kota paling terpolusi di Asia Tenggara pada 2018, melebihi Hanoi, Vietnam.
Berdasarkan laporan kualitas udara dunia yang dibuat Air Visual, konsentrasi rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta pada 2018 sangat buruk (Kompas, 9/3/2019). Di Jakarta Selatan mencapai 42,2 mikrogram per meter kubik, sedangkan di Jakarta Pusat mencapai 37,5 mikrogram per meter kubik. Angka itu mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar WHO, yaitu 10 mikrogram per meter kubik.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait kualitas udara di Jakarta, angka PM 10 dan PM 2,5 pada 2018 mencapai 34,2 mikrogram per meter kubik. Adapun standar baku mutu PM 2,5 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 adalah 15 mikrogram per meter kubik. ”Angka itu lebih dari dua kali lipat dari baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Udara Jakarta sudah tidak sehat,” ucap Bondan.
Ia pun mengharapkan pengakuan pemerintah terkait buruknya kualitas udara, salah satu bentuknya merilis data kepada publik. Tanpa pengakuan, pemerintah akan menganggap kondisi udara baik-baik saja sehingga tidak ada kebijakan untuk menyelesaikan persoalan ini.
Adi Muslihin (20), warga yang baru setahun berdomisili di Jakarta Barat, merasakan perbedaan antara udara di Jakarta dan kampung halamannya, Banyumas, Jawa Tengah, yang jauh lebih bersih. Dia pun khawatir kondisi ini bisa berdampak terhadap kesehatannya dalam jangka panjang. Untuk mengurangi risiko, Adi menggunakan masker ketika berada di luar ruangan.
”Semoga pemerintah memperbanyak ruang terbuka hijau dan mengurangi sumber polusi, seperti kendaraan bermotor dan asap pabrik,” ujar peserta hari bebas kendaraan bermotor ini. (YOLA SASTRA)