Saya
Sudah sekitar dua bulan, cara hidup saya berubah. Bukan menjadi lebih baik, tetapi semakin tak peduli. Semua dimulai dari rasa malas yang sangat, yang saya lupa kapan serangan itu terjadi.
Perubahan itu telah membuat jadwal hidup yang selama ini baik-baik saja kini berantakan. Saya sendiri bingung apakah perubahan ini sejatinya sebuah jalan untuk menemukan siapa saya yang sesungguhnya?
Mereka
Perubahan menjadi malas itu membuat saya memiliki waktu bercakap-cakap dengan diri sendiri. Dalam percakapan itu saya menemukan bahwa mungkin saya ini sesungguhnya orang malas. Bukan hanya serangan malas yang sementara sifatnya, tetapi sepertinya saya itu memang malas.
Kalau selama ini saya rajin, mungkin itu bukan saya. Saya rajin bisa jadi karena terpengaruh dengan cara hidup orang lain. Saya mungkin rajin berolahraga karena saya takut tidak seperti semua orang yang rajin berolahraga.
Media dan cerita teman-teman saya telah memengaruhi saya untuk menjadi sehat. Dan cerita itu ditambah dengan peringatan ringan agar tidak mati cepat. Jadi, saya berolahraga dan menjadi sehat karena ikut orang lain. Bukan karena saya sendiri orang yang memang doyan sesuatu yang sehat.
Saya terpaksa harus menabung dan melakukan investasi karena saya melihat teman-teman saya dan klien saya yang muda-muda saja sudah memiliki gedung 15 lantai, usahanya sukses, bahkan jadi unicorn. Jadi saya mengikuti apa yang saya lihat. Belum lagi suara nurani saya suka sekali memanas-manasi hati.
Ia suka sekali membuat saya merasa seperti seorang pengecut. Acap kali suara nurani itu menyindir dengan mengatakan saya sudah berumur, masak kalah sama yang muda-muda. Kalah kaya dan kalah dalam segala hal, sehingga saya terpancing untuk menjadi seperti mereka, seperti orang yang bukan saya.
Saya berusaha menjadi manusia yang baik, mencoba untuk rendah hati, tidak mengumpat meski kadang jengkelnya setengah mati. Saya belajar mengampuni. Saya melakukan itu karena melihat teman-teman saya mulai mendekatkan diri mereka dengan Tuhan. Rajin ke rumah ibadah, rajin mengunggah ayat-ayat Alkitab yang semakin membuat saya keder.
Jorok
Saya menjadi rajin ke gereja, rajin membaca Alkitab karena saya melihat teman-teman seumur saya meninggal dunia. Dan kadang meninggal ketika sedang tidur. Itu mengapa setiap malam saya takut sekali kalau esok pagi saya tak bangun lagi, sehingga doa sebelum tidur selalu diakhiri dengan permohonan agar saya bisa hidup esok hari.
Maka saya mulai melakukan persiapan seperti yang mereka lakukan, dan bukan melakukan persiapan karena kesadaran diri saya sendiri. Ketika serangan rasa malas itu menjadi-jadi, saya justru mendapat kesempatan menjadi jujur. Saya menceritakan kepada teman-teman saya bahwa apartemen saya sudah tak dibersihkan selama dua minggu.
”Ih jorok, deh.” Demikian respons yang masuk ke gendang telinga saya. Kemudian saya makin membuat mereka menjerit kalau sudah dua minggu itu saya tak menyapu dan tak membersihkan kamar mandi.
Saya juga menceritakan bahwa saya juga sudah tidak berolahraga selama satu bulan karena malasnya setengah mati. Kebetulan juga pas niat untuk berolahraga datang, hujan turun dengan deras. Jadi saya tak diserang rasa bersalah.
Ketika serangan rasa malas itu terjadi, itu adalah sebuah momen saat saya menyadari bahwa selama ini saya menjalani gaya hidup contekan. Selama ini saya hidup dengan gaya hidup orang lain yang saya pikir cocok dengan saya.
Saya berpikir cocok itu adalah kalau mereka makan sehat dan jadi sehat, maka saya akan sehat seperti mereka. Saya pikir kalau saya punya investasi seperti mereka, rajin dan kerja keras seperti mereka, maka saya bisa punya gedung berlantai 15.
Saya pikir, kalau saya rajin beribadah, saya rajin membersihkan rumah, rajin berbuat baik, mengontrol diri dan menjadi orang yang rendah hati, saya akan menjadi tenang dan tenteram setiap tidur malam dan kematian mendadak tak akan menakutkan lagi.
Jadi sebetulnya saya menjalani semua yang saya sebutkan di atas dengan rasa takut. Saya menjadi sehat karena takut, saya berinvestasi karena rasa takut, saya berbuat baik dan rajin beribadah karena rasa takut.
Saya tak memungkiri bahwa apa yang saya contek dari gaya hidup mereka telah membuat hidup saya bertahun-tahun lumayan teratur dan terlihat ”sempurna”. Anda pasti tahu itu, karena berulang kali saya menulis bahwa saya cukup disiplin berolahraga dan menjaga asupan.
Sekarang saya mau dikagumi orang lain karena saya ini bisa malas, saya bisa tidak rajin ke rumah ibadah, saya masih susah memaafkan dan saya jorok. Saya mau memberi penghargaan kepada diri saya sendiri saat saya mati, karena perjalanan kehidupan saya benar-benar asli, dan bukan mengakhiri sebuah perjalanan hidup contekan yang sama sekali bukan saya dan bukan menjalani kehidupan dengan rasa takut.