Standard Chartered: Nilai Tambah Pengembalian Modal Masih Negatif
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun membukukan laba bersih hingga Rp 536 miliar, dari sisi economic value added (EVA) atau ukuran untuk melihat nilai tambah pengembalian modal Standard Chartered Bank Indonesia masih negatif. Jika hal itu berlanjut, ke depannya Standard Chartered Bank Indonesia ada kemungkinan mengubah bentuk usahanya.
Laba bersih Standard Chartered Bank Indonesia (SCBI) sepanjang 2018 dicatat mencapai Rp 536 miliar, atau tumbuh 371 persen dari tahun 2017. Capaian itu diperoleh dari restrukturisasi yang dilakukan, yaitu pada pertengahan 2017, SCBI mengubah segmentasi penyaluran kredit dari ritel konsumer ke korporasi (Kompas.id, 4 Maret 2019).
Restrukturisasi sejak 2017 itu membuat pendapatan dari segmen korporasi meningkat 36 persen sepanjang tahun lalu. Presiden Direktur SCBI Rino Donosepoetro menyampaikan, ada konteks di balik pencapaian hasil itu.
”Capaian ini merupakan batu peringatan dalam perjalanan selama 155 tahun sejak 1863. Ini bukan akhir, tetapi merupakan jaminan bagi progres yang akan lebih baik lagi, baik di perbankan digital maupun perbankan korporasi,” ujar Rino dalam acara Belt and Road Relay and Goal CSR Program di Jakarta, Minggu (10/3/2019).
Namun, di sisi lain, Rino menyampaikan, EVA dari SCBI masih negatif. Hal itu terlihat dari return on equity (ROE) yang terus berada di bawah 6,5 persen sebagai target minimum nilai tambah pengembalian modal yang diinvestasikan pemegang saham.
Dari target ROE 6,5 persen, sejak 2016, realisasi oleh SCBI masih di bawah target, yaitu 3 persen pada 2016; -1,5 persen pada 2017; dan 4,1 persen pada 2018. Melalui hasil ini, para pemodal di London sebagai kantor pusat dari Standard Chartered Bank berpikir pengembalian modal oleh Indonesia tidak bisa positif.
Dari target ROE 6,5 persen, sejak 2016, realisasi oleh SCBI masih di bawah target, yaitu 3 persen pada 2016; -1,5 persen pada 2017; dan 4,1 persen pada 2018.
”Investasi di Indonesia akan dinilai tidak lagi menguntungkan, dan jika terus begini, di 2021, SCBI harus berubah. Namun, bukan berarti SCBI akan tutup, melainkan mungkin ke depannya kami tidak lagi menjadi bank universal seperti saat ini,” kata Rino kepada para karyawannya.
Maka, terus berinovasi dalam berdisrupsi guna mencapai target besar dalam tiga tahun ke depan dinilai menjadi kunci memperbaiki keadaan perbankan SCBI. Rino menargetkan, dalam tiga tahun ke depan, ROE dapat tumbuh 6,5 persen pada 2019; 8,4 persen pada 2020; dan 11,2 persen pada 2021.
”Target ROE berjalan seiring dengan peningkatan operating profit (laba operasi) yang ditargetkan mencapai 61 miliar dollar AS pada 2019; 81 miliar dollar AS (2020); hingga 105 miliar dollar AS (2021),” kata Roni.
Untuk itu, sesuai dengan tema acara ”Innovation and Disruption”, Rino menilai, dalam menghadapi tantangan saat ini, SCBI dituntut untuk terus berinovasi dalam disrupsi. Langkah ini merupakan kunci dalam perbaikan kinerja perbankan ke depan.
Terkait hal itu, Director of Compliance Standard Chartered Bank Indonesia Chesna F Anwar menilai, dunia kini telah berubah, termasuk dalam dunia finansial dan di Standard Chartered Bank. Salah satu inovasi yang diperlukan dalam disrupsi adalah menyederhanakan beragam prosedur.
”Saat ini, kami sudah memiliki tim akselerator yang bertugas mengembangkan semua produk dan layanan terbaru yang kami luncurkan. Salah satunya yang juga masih dalam tahap pengembangan adalah robot appliance yang berguna untuk membantu memberikan saran dunia bisnis intelijen,” ujar Chesna. (SHARON PATRICIA)