Terinjak-injak di Kereta Khusus Penumpang Perempuan
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
Lilis Septiani (23) terbaring di ruang instalasi gawat darurat Rumah Sakit Salak, Bogor, Jawa Barat. Ia tidak menyangka kereta rel listrik atau KRL yang setiap hari mengantarkannya dari Kota Tangerang menuju Bogor anjlok.
”Sakit, Pak…Sakit…,” kata Lilis kepada dokter yang merawatnya, Minggu (10/3/2019). Dokter saat itu sedang memasang infus di tangan kanan Lilis. ”Saya takut jarum suntik,” katanya.
Lilis merupakan salah satu korban anjloknya KA 1722 relasi Jatinegara-Bogor, Minggu (10/3/2019) pukul 10.15. Kereta itu anjlok di lintasan kereta antara Stasiun Cilebut dan Stasiun Bogor, dekat pelintasan di Kebon Pedes, Kota Bogor. Vice President Corporate Communication PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Eva Chairunisa mengatakan, 17 orang mengalami luka-luka akibat kejadian itu.
Berdasarkan pemantauan Kompas, kereta paling depan adalah KA 1722 yang sekaligus menjadi kereta khusus untuk penumpang perempuan itu keluar dari jalur rel dan meluncur di atas gundukan tanah pinggir rel sisi kanan, lalu menghantam tiang listrik. Lilis berada di dalam kereta itu.
Lilis tidak mendengar pemberitahuan apa-apa menjelang kereta anjlok. KRL itu tiba-tiba keluar dari jalur rel dan KA 1722 terguling. Penumpang terlempar dari tempat duduk, dan berteriak histeris. Ia mengatakan, suasana di dalam kereta seperti terkena badai tornado waktu itu.
”Saat itu, saya hanya ingat dosa-dosa yang telah saya lakukan. Sebab, kereta itu menabrak tiang listrik, dan saya khawatir keretanya meledak,” katanya.
Ketika kereta terguling, posisi tubuh Lilis tertekuk. Kaki merapat ke perut. Tak lama, pintu kereta terbuka. Penumpang lain berlarian ke luar kereta. Karena takut, sejumlah kaki penumpang lain menginjak perut Lilis.
Lilis tidak kuasa melarang mereka. Sebab, kakinya sulit digerakkan. Ia hanya menjatuhkan diri ke dekat pintu, dan tergeletak di samping rel kereta yang penuh bebatuan.
Pandangannya lalu gelap. Lilis pingsan. Ia baru sadar ketika mendengar bunyi sirine ambulans yang memasuki pelataran parkir Rumah Sakit Salak. ”Saya tidak ingat petugas mana yang membawa ke rumah sakit. Saya cuma minta mereka menghubungi keluarga saya,” kata Lilis.
Terkejut
Telepon Nimin (50) berdering sekitar pukul 11.00. Ketika diangkat, orang yang menelepon mengaku dari Palang Merah Indonesia. Ia mengatakan, komuter yang dinaiki anaknya, Lilis, mengalami kecelakaan. ”Saya panik. Pikiran saya sudah buruk,” katanya.
Nimin membayangkan hidup anaknya antara ada dan tiada. Dalam bayangannya, kecelakaan kereta pastilah ada korbannya. ”Kereta ngerem mendadak saja ada korbannya, kok,” kata Nimin.
Sebenarnya rumah orangtua Lilis berada di Ciomas, Kabupaten Bogor. Namun, sejak menikah, Lilis tinggal bersama suaminya di Kota Tangerang. Setiap hari, kecuali hari Senin, karyawan klinik kecantikan itu naik komuter ke tempat kerjanya di Bogor.
Pada Sabtu kemarin, Nimin menyarankan Lilis agar menginap di rumah mereka saja di Ciomas. Nimin rindu karena ayah-anak ini jarang bertemu sejak Lilis menikah. ”Ketika saya telepon, eh, Lilis udah di kereta,” katanya.
Dari sekian jenis moda transportasi, Lilis berpendapat komuter yang paling aman. Bagaimana tidak, kereta ini sudah dioperasikan secara modern. Ada sistem sinyal kedatangan dan keberangkatan kereta. Di samping itu, kereta mempunyai jalurnya sendiri, berbeda dengan bus yang berebut jalan dengan pemotor.
Kendati demikian, moda ini juga tidak luput dari masalah. Selama bolak-balik dari Tangerang-Bogor, ia beberapa kali berada di dalam kereta yang bermasalah. Bulan lalu, KA 1647 tersambar petir di Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Lilis juga berada di kereta naas itu. Semua penumpang termasuk dirinya dievakuasi ke Stasiun Tanjung Barat. Dan, peristiwa itu pun tak sampai membuatnya dirawat di rumah sakit.
Meskipun demikian, ia belum kapok naik komuter. ”Yang namanya musibah, kita, teh, bisa apa. Pasrah saja sama Tuhan,” katanya. (INSAN ALFAJRI/AGUIDO ADRI)