Trump Makin Terisolasi
Dua hari pertemuan yang bersejarah antara Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pekan lalu di Hanoi berakhir antiklimaks. Tidak ada kesepakatan yang dicapai. Trump menginginkan agar Korut melakukan denuklirisasi total sebelum mengharapkan AS mencabut sanksi ekonominya. Sebaliknya, Korut merasa telah melakukan upaya denuklirisasi, antara lain dengan menutup beberapa fasilitas nuklirnya, tetapi sampai saat ini tidak ada imbalan atas langkah itu.
Korut juga tidak akan melangkah lebih jauh selama AS masih menempatkan kekuatan militernya di Semenanjung Korea. Hanya beberapa hari setelah perundingan gagal, Kamis (7/3/2019) lalu, militer Korsel melaporkan adanya aktivitas baru di situs pengembangan rudal Korut di Sanumdong.
Sebetulnya, posisi yang dinyatakan Korut ini sudah lama diketahui. Oleh karena itu, pertemuan pekan lalu tak ubahnya ”buang-buang energi” karena tak ada terobosan apa pun yang dihasilkan. Namun, yang lebih menarik perhatian pengamat adalah penampilan Trump. Biasanya Trump tampil dengan enerjik, dominan, dan agresif. Namun, pekan lalu ia terlihat lelah, tak bersemangat.
Perhatian Trump memang terbelah. Pada saat bersamaan, di Washington, mantan penasihat hukumnya Michael Cohen, sedang memberikan testimoni di hadapan Komisi DPR terkait penyelidikan yang dilakukan Robert S Mueller mengenai intervensi pihak Rusia terhadap pemilu AS.
Cohen yang akan menjalani hukuman penjara selama tiga tahun itu menyebut Trump sebagai ”penjahat”, ”penipu”, dan ”rasis”. Dengan gamblang Cohen menjelaskan, antara lain, bagaimana ia diperintahkan untuk menyuap Stormy Daniels agar tutup mulut soal hubungan Daniels dengan Trump pada masa kampanye. Trump juga disebutkan sudah tahu lebih dulu bahwa WikiLeaks akan membocorkan jaringan surel Komite Nasional Demokrat (DNC).
Tentangan di DPR
Sepulang dari Hanoi, Trump menghadapi perlawanan dari Capitol Hill. Langkahnya untuk mendeklarasikan keadaan darurat di perbatasan Meksiko, sehingga negara wajib mengeluarkan anggaran untuk pembangunan tembok di sepanjang perbatasan, ditentang DPR yang dikuasai Demokrat. Saat ini, pembahasan masih berlangsung di tingkat Senat yang dikuasai Republik (52 berbanding 48). Namun, sejumlah senator Republik telah menyatakan akan menentang deklarasi itu. Kekalahan di Senat akan menjadi pukulan bagi Trump.
Trump berencana menjatuhkan veto jika Kongres AS menolak deklarasi daruratnya. Dibutuhkan dua pertiga dari Senat dan dua pertiga dari DPR untuk menggagalkan veto presiden, dan hal ini tentunya akan sulit dicapai kubu oposisi. Namun, oposisi akan menganggap ini sebagai ”kemenangan moral”.
Satu demi satu kebijakan Presiden AS Donald Trump menemui tembok buntu. Ia menghadapi perlawanan baik di dalam maupun di luar negeri.
Isu pembangunan tembok di perbatasan Meksiko menjadi penyebab kelumpuhan pemerintahan (shutdown) akhir tahun lalu yang berlangsung lebih dari satu bulan. Trump menginginkan agar dalam RAPBN dimasukkan anggaran sebesar 5,7 miliar dollar AS untuk pembangunan tembok perbatasan itu, tetapi DPR menolaknya karena dianggap tidak efektif. Kongres hanya menyetujui anggaran sekitar 1,7 miliar AS. Menanggapi itu, Trump kemudian menyatakan deklarasi darurat.
Rontok
Dalam dua tahun terakhir pemerintahannya, Trump telah mengeluarkan sejumlah keputusan kontroversial yang memengaruhi situasi politik dunia. Namun, satu demi satu keputusan itu mandek dan menjadi bumerang bagi AS.
Langkah yang paling mengundang pertanyaan adalah ketika Trump mati-matian ingin memperbaiki hubungan dengan Rusia, tetapi secara bersamaan mengendurkan relasi Trans-Atlantik dengan Eropa. Ini adalah relasi terburuk AS-Eropa pasca-Perang Dunia II. Selain gemar melecehkan pemimpin Eropa dan mengecilkan peran NATO, Trump juga memutuskan keluar dari Kesepakatan Iklim Paris.
Meski demikian, dalam perkembangannya, AS meyakini Rusia berada di balik serangan kimia terhadap mantan agen spionase Rusia yang membelot ke Barat, Sergei Skripal dan putrinya. Terkait hal itu, AS memerintahkan penutupan Konsulat Rusia di Seattle dan mengusir 60 diplomatnya. Langkah Trump dibalas dengan langkah resiprokal oleh Rusia. Alhasil, upaya untuk memperbaiki relasi dengan Rusia gagal, hubungan Trans-Atlantik memburuk, dan penyelidikan oleh Robert S Mueller perlahan mengungkap bahwa Trump kemungkinan besar memiliki kepentingan bisnis pribadi di Rusia.
Blunder juga terjadi dalam kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Keputusan Washington untuk menarik diri dari Kesepakatan Nuklir Iran yang ditandatangani Rusia, China, Inggris, Perancis, Jerman, dan AS tahun 2015 pada akhirnya membuat pengaruh AS semakin tergerus di Timur Tengah.
Blunder juga terjadi dalam kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah.
Washington yang kembali menerapkan sanksi ekonomi pada Iran ditentang oleh lima negara lainnya. Walaupun terancam dengan dampak sanksi AS; Inggris, Perancis, dan Jerman tetap melakukan transaksi dagang dengan Iran melalui program INSTEX, sebuah mekanisme finansial yang berada di luar sistem keuangan global yang didominasi AS.
Meskipun Iran skeptis dengan program ini, hubungan Iran dengan Rusia dan China semakin kuat. Dampaknya, aksis Rusia-China-Iran akan menggerus peran AS yang kini menggandeng Arab Saudi.
Tetapi, relasi AS dengan Arab Saudi pun kini terganggu pasca-pembunuhan kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi. Badan intelijen AS mengungkapkan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), kemungkinan terkait dengan insiden itu. Sikap Trump yang cenderung ”tutup mata” mendapat perlawanan dari Kongres.
Komite Kebijakan Luar Negeri Senat kini tengah menekan Gedung Putih untuk menyatakan bahwa Pangeran MBS bertanggung jawab atas pembunuhan Khashoggi.
DPR kini juga sedang menyelidiki apakah langkah AS untuk membangun sejumlah pembangkit tenaga nuklir di Saudi yang bernilai miliaran dollar atas dasar kepentingan keamanan nasional atau kepentingan kroni Trump.
Perang dagang
Keputusan Trump untuk melancarkan perang tarif antara AS dan China yang merupakan kekuatan ekonomi pertama dan kedua di dunia berdampak terhadap ekonomi global. Setelah berbulan-bulan perang tarif berjalan, kedua negara sepakat untuk ”gencatan senjata” dan melakukan negosiasi selama tiga bulan ke depan. Pembahasan antara lain akan mencakup masalah hak cipta intelektual dan pencurian siber.
Menurut BBC (2/12/2018), selama perang tarif terjadi AS telah menaikkan tarif terhadap sejumlah produk China sebesar 10-25 persen, dengan total pemasukan 250 miliar dollar AS. China membalas dengan menerapkan tarif terhadap produk AS dengan total mencapai 110 miliar dollar AS.
Jika AS menerapkan tarif terhadap produk China mulai dari tas sampai komponen rel kereta api, China secara strategis menerapkan tarif terhadap produk kimiawi, batubara, dan peralatan medis yang diproduksi oleh negara-negara bagian di AS yang dikuasai Partai Republik.
Perang dagang ini telah menimbulkan kesulitan bagi masing-masing produsen lokal karena produk yang dijual menjadi lebih mahal. Bagi China, kritik konsumen dan produsen di negaranya mudah diredam. Namun, bagi AS, protes dari produsen lokal di sejumlah negara bagian bisa memengaruhi popularitas Trump.
Masa kepemimpinan Trump masih dua tahun lagi. Di dalam negeri, sepak terjang Trump selama dua tahun pertama telah mengakibatkan kekuatan di DPR yang awalnya dikuasai Republik kini direbut Demokrat. Dan di panggung global, Donald Trump kini semakin terisolasi.