MEDAN, KOMPAS – Bupati non aktif Labuhan Batu Pangonal Harahap, dituntut delapan tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider empat bulan kurungan atas kasus suap sejumlah proyek pekerjaan umum. Dia juga diminta membayar kerugian negara Rp 42,28 miliar dan 218.000 dolar Singapura serta dicabut hak politiknya untuk dipilih selama 3,5 tahun.
Tuntutan itu dibacakan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Senin (11/3/2019). Tuntutan dibacakan di hadapan hakim yang diketuai Erwan Effendi dan terdakwa.
"Kami meminta Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata jaksa penuntut umum Dody Sukmono.
Dody mengatakan, Pangonal melakukan tindakan korupsi secara berlanjut dari tahun 2016 hingga 2018. Pangonal juga menerima beberapa kali uang suap dari pihak swasta senilai total Rp 42,28 miliar dan 218.000 dolar Singapura. Uang itu diberikan peserta lelang proyek infrastruktur di Labuhan Batu melalui beberapa perantara.
Pangonal sebelumnya ditangkap penyidik KPK pada Juli 2018 di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Ia ditangkap setelah anak buahnya tertangkap tangan menerima uang suap dari pihak swasta di Labuhan Batu.
Dody mengatakan, Pangonal beberapa kali menerima uang suap dari Direktur PT Binivan Konstruksi Abadi Efendy Sahputra alias Asiong. Uang itu diterima melalui beberapa orang anak buah Pangonal yakni Thamrin Ritonga, Baikandi Harahap, Abu Yazid Anshori Hasibuan, dan Umar Ritonga. Umar kini masih menjadi buron dan masuk daftar pencarian orang.
Uang tersebut diterima Pangonal karena menjanjikan untuk mempengaruhi keputusan penentuan pemenang tender sejumlah proyek pekerjaan umum di Labuhan Batu.
Dody mengatakan, jaksa penuntut umum juga meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih selama tiga tahun enam bulan. Pencabutan hak politik itu terhitung sejak terdakwa selesai menjalani hukuman pokok.
“Untuk menghindari Indonesia dipimpin orang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi, kami menilai perlu dijatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa,” katanya.
Untuk menghindari Indonesia dipimpin orang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi, kami menilai perlu dijatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa
Dody mengatakan, hal yang memberatkan terdakwa yakni sebagai pejabat negara tidak mendukung program pemberantasan korupsi. Sementara, hal yang meringankan, terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya.
Majelis Hakim Erwan Effendi mengatakan, sidang tersebut akan dilanjutkan dengan pembacaan nota pembelaan atau pledoi dari Pangonal, Kamis (21/3/2019). Setelah itu akan diagendakan untuk sidang pembacaan putusan terhadap Pangonal.