Impor Bahan Baku Tinggi Menandakan Investasi Terus Tumbuh
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam dunia perdagangan, menilai defisit tidak dapat hanya berkaca dari angka. Sejumlah kalangan menilai, selama barang yang diimpor merupakan bahan baku dan barang modal, berarti pembangunan dan investasi dalam negeri sedang bertumbuh. Dengan demikian, ke depan, ekspor pun akan semakin meningkat.
Badan Pusat Statistik mencatat, total nilai impor pada Januari 2019 mencapai 15,03 miliar dollar AS, lebih tinggi dari total ekspor, yaitu 13,87 miliar dollar AS. Meski demikian, porsi impor masih didominasi oleh bahan baku yang mencapai 11,45 miliar dollar AS, atau 76,21 persen dari total impor. Sementara impor barang modal sebesar 2,36 miliar dollar AS, atau 15,66 persen dari total impor.
“Tingginya impor bahan baku dan barang modal itu artinya ada peningkatan dalam investasi dan pembangunan yang hasilnya baru dapat dinikmati beberapa waktu ke depan. Namun, untuk jangka pendek, kita perlu terus mendorong investasi guna meningkatkan ekspor,” kata Menteri Perdagangan 2004-2011 Mari Elka Pangestu, di Jakarta, Senin (11/3/2019).
Paparan ini disampaikan dalam konferensi pers Bincang Siang prarapat kerja dengan topik “Diskusi Bersama Menteri Perdagangan Lintas Masa”. Dalam diskusi, Mari bersama para mantan menteri perdagangan membahas mulai dari persoalan pasar global hingga pasar lokal.
Porsi impor masih didominasi oleh bahan baku yang mencapai 11,45 miliar dollar AS, atau 76,21 persen dari total impor.
Selain Mari, para mantan menteri perdagangan yang hadir dan memberi masukan kepada Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita antara lain Menteri Perdagangan 1988-1993 Arifin Siregar, Menteri Perindustrian dan Perdagangan 1998 Mohammad “Bob” Hasan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan 1998-1999 Rahardi Ramelan, Menteri Perdagangan 2011-2014 Gita Wirjawan, Wakil Menteri Perdagangan 2011-2014 dan Pelaksana Tugas Menteri Perdagangan 2014 Bayu Krismurthi, serta Menteri Perdagangan 2014 Muhammad Lutfi.
Lebih lanjut, Mari menyampaikan, dalam meningkatkan ekspor untuk jangka pendek, pemerintah juga perlu mengidentifikasi hambatan yang dihadapi para eksportir sehingga dapat mempermudah dan memfasilitasi mereka.
Sementara untuk jangka menengah, peningkatan daya saing mutlak diperlukan. Sebab, perubahan yang terjadi semakin cepat, sehingga kita tidak dapat lagi hanya mengandalkan komoditas mentah dan hasil pertambangan.
“Kita harus berpikir bagaimana posisi Indonesia dalam rantai pasokan global. Misalnya otomotif, apakah kita akan meningkatkan investasi di bidang itu, sehingga kita dapat menjadi pusat. Sebab, kita memiliki skala pasar yang besar dalam bidang ini,” ujar Mari.
Daya saing juga tidak hanya dari manufaktur tetapi bagaimana produk jasa dapat bersaing baik di pasar dalam negeri maupun di tingkat global. Dengan begitu, ekspor akan meningkat.
Sosialisasi
Berbicara mengenai impor-ekspor, tentu tak lepas dari perjanjian perdagangan internasional. Dalam kesempatan yang sama, para mantan menteri mengapresiasi capaian Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat ini yang telah menyelesaikan beberapa perundingan, termasuk perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA).
“Selain penghapusan tarif impor, banyak keuntungan dari perjanjian perdagangan internasional. Misalnya dalam IA-CEPA, yaitu terkait investasi serta berbagai kesempatan dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dapat kita peroleh,” papar Mari.
Sejalan dengan itu, Enggartiasto menyampaikan, Kemendag bersama Kamar Dagang Indonesia (Kadin) serta asosiasi terkait akan terus menyosialisasikan mengenai keuntungan IA-CEPA kepada pelaku usaha. Termasuk di dalamnya informasi terkait hambatan nontarif agar para pelaku usaha dapat menyiapkan produk sesuai kualifikasi yang ditentukan Australia.
“Market intelligence sudah kami lakukan. Tentu dalam praktiknya, kita tidak bisa menerapkan berbagai hambatan yang pada akhirnya menimbulkan keterbatasan. Sebab, jika kita menghambat, maka di sana pun demikian,” kata Enggartiasto.
Selain itu, Enggartiasto mengatakan, dari sisi tarif impor pun, Indonesia lebih diuntungkan. Sebab, Australia sudah menerapkan 100 persen penghapusan tarif impor, sementara Indonesia baru 94 persen.
“Banyak keuntungan yang akan kita peroleh dari IA-CEPA ini, maka sosialisasi penting dilakukan agar para pelaku usaha dapat memanfaatkan berbagai peluang yang ditawarkan,” ujar Enggartiasto.