Internet untuk Wilayah Pelosok
Sebagai negara kepulauan, Indonesia tidak bisa lepas dari pemakaian satelit. Satelit telekomunikasi dibutuhkan sebagai alat konektivitas hingga ke pelosok wilayah. Ketimpangan akses digital di Indonesia, terutama di pelosok wilayah, menjadi perhatian Pendiri sekaligus Direktur Utama PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso.
PSN yang didirikan sejak tahun 1991 telah menyediakan koneksi internet ke hampir 3.000 desa di pelosok wilayah. Perusahaan telekomunikasi satelit swasta pertama di Indonesia itu kini menyasar sekitar 25.000 desa di Indonesia yang belum tersentuh akses internet memadai.
Tanggal 21 Februari 2019, PSN meluncurkan satelit keenam, yakni Satelit Nusantara Satu, dengan nilai investasi 230 juta dollar AS. Dengan satelit itu, layanan internet di seluruh Indonesia ditargetkan dapat terpenuhi dalam kurun 1-2 tahun.
Adi meraih Lifetime Achievement Award dari Asia Pasific Satellite Comunication Council Oktober 2018.
Adi yang tahun ini genap 45 tahun berkiprah di industri satelit telekomunikasi meyakini layanan satelit tidak hanya berperan membuka akses informasi dan komunikasi, tetapi juga memajukan ekonomi wilayah. Hingga saat ini, ia sudah menggarap 13 proyek satelit, antara lain Satelit Anik A1, A2, A3 di Kanada, Satelit Palapa A1 dan Palapa A2, Palapa B1, Palapa B2, dan Palapa B3, Palapa C1 dan Palapa C2, Garuda 1, dan Nusantara Satu di Indonesia. April 2019, Satelit Nusantara Dua bakal diluncurkan.
Atas dedikasi dan komitmen terhadap kemajuan layanan satelit, Adi meraih Lifetime Achievement Award dari Asia Pasific Satellite Comunication Council (APSCC) pada Oktober 2018. Sebelumnya, tahun 2005, Adi juga memperoleh penghargaan Satellite Executive of The Year in Asia Pacific, penghargaan kedua kali yang diterima Adi dari APSCC. APSCC adalah asosiasi internasional yang mewakili industri satelit terkait dengan ruang angkasa.
Berikut ini petikan wawancara Kompas dengan Adi Rahman Adiwoso, di sela-sela peluncuran Satelit Nusantara Satu di Florida, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu:
Bagaimana Anda melihat kebutuhan satelit di Indonesia?
Sebagai negara kepulauan, Indonesia tidak bisa lepas dari penggunaan satelit. Banyak sekali lokasi-lokasi terpencil yang tidak ekonomis untuk ditarik kabel (jaringan telekomunikasi), sehingga pemakaian satelit merupakan solusi konektivitas ke seluruh wilayah Indonesia.
Daerah terpencil membutuhkan internet sebagai tulang punggung kemajuan ekonomi ke depan.
Bagi PSN, satelit adalah alat. Alat dengan tujuan tidak membedakan kenikmatan berkomunikasi dimanapun itu di Indonesia. PSN sudah mengelola lebih dari 10.000 stasiun bumi (sistem transmisi satelit), tetapi ketimpangan koneksi internet antar wilayah masih terjadi. Padahal, daerah-daerah terpencil membutuhkan internet sebagai tulang punggung kemajuan ekonomi ke depan. Kita sudah tidak bisa lagi hidup tanpa internet. Tren ini akan terus berlangsung. Internet juga semakin banyak dimanfaatkan oleh kaum masyarakat ekonomi rendah, sehingga harus dicarikan tools atau teknis yang memungkinkan konektivitas lebih cepat dan lebih murah.
Bagaimana kontribusi PSN untuk mendorong konektivitas?
Dari 250 juta penduduk Indonesia, masih ada sekitar 25.000 desa atau 25 juta orang yang belum memperoleh akses digital memadai. Kami concern pertumbuhan konektivitas di negara ini masih ketinggalan. Pemerintah kan sekarang mau serba online. Kasihan dong kalau orang di desa sama sekali tidak bisa menggunakan OSS (sistem perizinan terpadu daring), dampaknya kebijakan pemerintah tidak bisa dijalankan, misalnya melaporkan dana desa dan seterusnya. Digital gap ini ingin kita hilangkan.
Mulai 2017, kami pakai satelit konvensional untuk layanan di desa-desa yang sama sekali tidak ada sinyal internet. Kami membangun logistik, delivery, layanan, hingga sistem penagihan. Kami sudah membuka akses internet di hampir 2.500 desa di seluruh Indonesia. Kami ingin ada gerakan 25 juta orang Indonesia tidak ketinggalan akses digital.
Baca juga: https://kompas.id/baca/utama/2019/02/22/satelit-nusantara-satu-untuk-penuhi-akses-internet/
Tahun 2019, kami meluncurkan Satelit Nusantara Satu. Dengan satelit ini, layanan akses internet akan diperluas ke 10.000 desa, dan tahun depan 15.000 desa. Target kami, layanan internet di seluruh Indonesia bisa terpenuhi dalam 1-2 tahun. Program untuk membangun negara nggak ada urusannya dengan peran pemerintah atau swasta. Ini tugas kita sebagai orang Indonesia.
Apa saja tantangan dalam pemerataan akses digital?
Ada tiga, konektivitas, ketersediaan listrik, dan pemberdayaan manusia. Teknologi memungkinkan konektivitas lebih baik dan terjangkau, tetapi listrik di pelosok wilayah rata-rata swadaya masyarakat dengan waktu operasional sangat minim mulai dari jam 5 sore sampai 10 malam. Akibatnya, lalu lintas (pemakaian) internet pada malam hari jadi tinggi sekali.
Indonesia sebagai negara yang memakai satelit berkewajiban membereskan ketimpangan akses digital. Kami bisa kerjakan itu, tetapi yang tidak bisa kami kerjakan adalah pasokan listrik. Bagaimana caranya agar ketersediaan listrik dari 6 jam per hari meningkat menjadi 10 jam per hari. Harus ada terobosan kebijakan listrik di pelosok tanpa harus mengandalkan jaringan PLN.
Ketiga, setelah listrik dan internet tersedia di pelosok daerah, baru dipikirkan bagaimana mendorong pemberdayaan manusia. Usaha mikro kecil menengah (UMKM) di desa-desa harus ditumbuhkan agar uang dari desa tidak lari ke kota. Tanpa pemberdayaan manusia, yang terjadi adalah pemborosan. Platform digital yang cocok untuk UMKM di desa perlu dipikirkan bersama dengan teman-teman di dunia teknologi informasi.
Bagaimana upaya menekan tarif layanan?
Saat ini, kami menjual layanan internet secara eceran, mirip pulsa prabayar. Biaya akses internet Rp 3.500 per 30 Megabita (MB), kalau di tingkat pedagang bisa menjadi Rp 5000 per 30 MB. Oleh karena itu, pemakaian internet di pelosok wilayah harus bijaksana supaya tidak mahal.
Kami nggak bersaing dengan operator telekomunikasi seluler (GSM). Kami masuk di wilayah yang tidak dimasuki oleh penyedia seluler. Jika penyedia GSM perlu membangun perangkat menara telekomunikasi BTS dengan biaya Rp 200 juta-Rp 400 juta per titik, kami membangun perangkat stasiun bumi cukup dengan biaya Rp 9 juta per titik. Memang daya jangkauannya seperti wifi biasa.
Kami terus berupaya mengurangi tarif pemakaian dengan inovasi teknologi. Pembuatan satelit dikhususkan agar biaya lebih rendah, misalnya biaya broadband dipangkas menjadi 40 persen dari biaya sekarang. Satelit ini bukan bisnis yang tidak menguntungkan. Investasi kami umumnya bisa dikembalikan kurang dari 2 tahun.