JAKARTA, KOMPAS — Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI mengimbau kepada tiap tim kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden untuk menjaga kesejukan kampanye menjelang pemilu 17 April 2019. Hal ini perlu dilakukan supaya mencegah meluasnya polarisasi di masyarakat.
Ketua Umum PGI Henriette Hutabarat Lebang, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (11/3/2019), mengatakan, kondisi sosial dan politik yang berkembang saat ini cenderung melemahkan nilai-nilai dan semangat demokrasi. Hal ini terlihat dari maraknya penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan politisasi isu suku, agama, dan ras.
Untuk itu, lanjut Henriette, baik calon anggota legislatif (caleg) maupun tim kampanye capres-cawapres agar berkomitmen menjaga kesejukan pada sisa waktu kampanye. Komitmen ini perlu diwujudkan agar pemilu dapat memupuk komitmen kebangsaan dan mencegah polarisasi masyarakat dalam menghadapi pesta demokrasi ini.
”Hendaklah mereka (caleg dan capres-cawapres) tidak menghalalkan cara-cara yang melanggar hukum atau memanipulasi isu jender, etnik, gereja, atau agama yang bersifat sektarian dan primordial sempit demi mengejar kepentingan pribadi dan kelompok,” ujarnya.
Menurut Henriette, kekuasaan merupakan sarana untuk melayani, komitmen memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat, khususnya yang miskin, termarjinalkan, dan terdiskriminasi, seyogianya diwujudkan dengan cara-cara jujur serta berintegritas.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Henrek Lokra menyebutkan, polarisasi pada kehidupan masyarakat semakin tampak di sisa waktu kampanye pemilu. Masa kampanye akan selesai pada 13 April 2019.
”Polarisasi karena maraknya politisasi agama untuk kepentingan politik akan merusak kondisi masyarakat ke depan,” katanya.
Situasi yang kerap berulang saat pemilu/pilkada ini dianggap dapat melemahkan semangat kemajemukan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hasil riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), polarisasi di masyarakat saat ini merupakan residu dari tajamnya polarisasi dan politisasi isu-isu identitas yang terjadi ketika Pilpres 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Selain itu, fenomena konsultan politik, influencer, dan buzzer turut mempercepat perluasan dan penyebaran isu identitas. Kondisi ini terlihat dari maraknya penyebaran isu nonprogramatik yang terus diproduksi oleh cyber army kubu masing-masing.
Wakil Direktur Puskapol UI Hurriyah menyatakan, tim kampanye setiap kandidat bertanggung jawab dalam mengontrol manajemen isu kampanye. Ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan penyimpangan informasi dan kampanye liar di media sosial.
Dibutuhkan pula komitmen elite dan partai politik untuk merevisi Undang-Undang Pemilu yang bertalian dengan syarat ambang batas presiden. ”Agar memungkinkan terbukanya peluang kandidat yang lebih besar sehingga mengurangi polarisasi di masyarakat,” ujarnya.
Ayo memilih
Di sisi lain, PGI mendorong seluruh jemaatnya untuk hadir di tempat pemungutan suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya secara bertanggung jawab. Hal ini diharapkan mampu meminimalkan potensi penyalahgunaan kertas suara oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
”Jangan golput! Kami mendorong seluruh warga jemaat untuk proaktif mengecek daftar pemilih tetap dan memastikan namanya tercantum di sana,” kata Henriette.
Imbauan ini juga mendorong calon pemilih agar mengambil keputusan sesuai dengan rekam jejak caleg serta capres-cawapres. Dia meminta pemilih mengutamakan pemimpin dengan integritas, menghargai kemajemukan, menjunjung hak asasi manusia, kebebasan beragama, serta kesetaraan jender.
Henriette menambahkan, seluruh elemen masyarakat juga perlu melaporkan pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanpa takut.
Sementara Henrek Lokra berharap, penyelenggara pemilu, yakni Bawaslu dan KPU, mampu melaksanakan mandat ini secara profesional, bertanggung jawab, jujur, adil, transparan, dan tidak memihak.
”Masa depan demokrasi kita bergantung pada integritas, kejujuran, dan komitmen mereka (Bawaslu dan KPU),” lanjutnya. (DIONISIO DAMARA)