JAMBI, KOMPAS — Pembalakan ribuan meter kubik kayu dari hutan-hutan alam di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan kembali tak terkendali. Minimnya pengawasan dan penegakan hukum membuat para cukong leluasa mengalirkan kayu sepanjang sungai-sungai yang melintasi hutan.
Sebagian besar kayu dicuri dari kawasan Hutan Harapan yang keragaman vegetasinya masih kaya. Pembalakan pun merambah ke hutan-hutan di sekitarnya. Hasil curian berupa kayu bulian, meranti, kempas, dan sejumlah jenis lainnya yang bernilai jual tinggi.
Manajer Perlindungan Hutan Harapan TP Damanik mengatakan, penegakan hukum terpadu sangat mendesak untuk menyetop aktivitas ilegal itu. Sebab, tanpa dukungan aparat, para pembalak sulit dikendalikan oleh tim patroli di hutan itu. ”Mereka bahkan tak segan-segan bertindak kekerasan ketika tim kami tengah berpatroli,” katanya, Minggu (10/3/2019).
Sepanjang Jumat lalu, Kompas pun mendapati kayu-kayu curian sudah menumpuk di tepi-tepi sungai, mulai dari Sungai Meranti, Sungai Kapas, hingga Batanghari Leko. Selain yang menumpuk di tepian, sudah banyak pula yang telah dirakit di permukaan sungai.
Panjangnya jalinan kayu-kayu bulat itu hingga ribuan meter. Diameter kayu mulai dari 30 hingga 80 sentimeter. Diperkirakan lebih dari 1.000 meter kubik volume kayu yang tengah dialirkan sepanjang permukaan ketiga sungai itu.
Menurut Damanik, aktivitas liar ini diketahui marak kembali sejak Desember 2018 seiring meningkatnya debit air sungai pada musim hujan. Jalur darat sulit diakses sehingga para pembalak mengandalkan jalur sungai untuk mengantar hasil curian kayu ke tempat-tempat pengolahan.
Di hilir Sungai Batanghari Leko, ada setidaknya delapan unit usaha pengolahan yang menampung dan mengolah kayu-kayu curian tadi. Kayu diolah menjadi papan untuk selanjutnya dikirim ke bangsal-bangsal kayu ke beberapa tempat.
Warga suku pedalaman Batin Sembilan yang tinggal di sekitar Hutan Harapan, Pikal, mengatakan, cukup banyak masyarakatnya yang dimanfaatkan cukong kayu untuk membalak liar di hutan itu. Ia pun pernah didatangi seorang cukong. Cukong itu memodalinya mesin pemotong kayu agar lebih banyak kayu curian yang bisa dipasok. Cukong menuntut 2-3 meter kubik kayu per hari bisa didapatkan dari setiap pekerja.
Pikal mengaku memperoleh upah Rp 200.000 per meter kubik kayu. Setelah dikurangi biaya bahan bakar, tenaga angkut, dan makan, penghasilan yang didapatkan hanya sekitar Rp 100.000 per meter kubik kayu.
Di lain pihak, para cukong menjual hasil kayu kepada pembeli dengan harga fantastis. Kayu meranti di atas Rp 2 juta per meter kubik. Harga kayu bulian dua kali lipatnya.
Saat dihubungi lewat telepon, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Ahmad Bestari mengaku belum mengetahui maraknya pembalakan liar di sana. ”Dulu memang pernah marak (pembalakan liar di hutan itu). Tapi, untuk yang sekarang, saya belum mendapatkan laporan,” katanya.
Menurut Bestari, persoalan maraknya distribusi kayu curian lewat sungai pernah dibahas satuan kerjanya beberapa tahun silam. Saat itu muncul wacana untuk membangun pintu-pintu air agar kayu curian dapat tertahan. ”Jadi, kayunya tidak sampai mengalir ke lokasi penampungan kayu di bagian hilir sungai,” ujarnya.
Pihaknya akan mempelajari kembali masalah itu dan mencari solusi. Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan dinas kehutanan di wilayah Sumatera Selatan mengingat aktivitas liar itu berlangsung lintas provinsi.
Kelestarian hutan tropis dataran rendah tersisa di Sumatera, termasuk Hutan Harapan seluas 98.555 hektar di batas Jambi dan Sumatera Selatan, kian terancam oleh berbagai aktivitas ilegal. Pengamanan tak memadai diperparah belum optimalnya dukungan pemerintah dan aparat penegak hukum.
Pembalakan liar di wilayah itu berlangsung sejak 2007. Hingga kini, pengamanan yang ada belum mampu menghentikannya. Posisi hutan yang dikelilingi perkebunan swasta telah membuka banyak akses sehingga memicu masuknya para pembalak liar.
Selain pembalakan, marak pula perambahan liar. Saat ini sudah lebih dari 20.000 hektar areal dirambah setelah habis ditebangi kayunya.