Sarono Menyekolahkan Anak Yatim Piatu
Sarono (61) adalah sosok luar biasa. Ia tunanetra yang setiap hari giat bekerja keras memecah batu demi memperjuangkan masa depan anak-anak kaum duafa.
Pagi sekitar 07.00, tongkat bambu menuntun Sarono keluar dari kediamannya di Jalan Cipinang Jaya IIB Nomor 46, RT 003 RW 009, Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur. Ia melalui gang-gang sempit, menyeberang jalan yang penuh dengan lalu lalang kendaraan, hingga akhirnya sampai di tempat kerjanya dalam 10 menit.
”Terima kasih, kita sudah sampai,” kata Sarono kepada tongkat bambunya. Ia memang kerap ”berdialog” dengan tongkat bambu dan dua alat lain, yakni palu pemecah batu dan topi caping, yang selalu menemaninya ke mana ia pergi. Ia melakukan hal itu sebagai cara bersyukur kepada Allah karena telah memberikan tiga alat sederhana yang memberikan sumbangan besar pada hidupnya.
Sesampai di ”tempat kerjanya” yang merupakan tempat terbuka, ia duduk di pinggiran got dan meraba batu yang belum ia pecahkan. ”Sekarang giliran saya. Bapak tenang, batu sekeras apa pun akan saya hancurkan menjadi puing pasir,” kata Sarono yang menempatkan dirinya seolah-olah sebagai palu yang berbicara pada penggunanya.
Doa, usaha, iman, dan tawakal jika disingkat jadi DUIT. Dengan DUIT saya mampu menyekolahkan anak dari pekerjaan memecah batu.
Sarono yang tunanetra itu kemudian mulai bekerja memecahkan batu menjadi pasir halus. Beberapa kali ia kesakitan karena palu yang ia pakai mengenai tangan kirinya. Ia lantas kembali bekerja sambil mengalunkan zikir. Dengan begitu ia menjadi lebih tenang. Laku bekerja yang ia jalin dengan zikir dan doa, tampak seperti laku spiritual.
Ia mulai bekerja pukul 07.00 hingga pukul 11.00. Setelah makan siang, beristirahat, dan shalat, ia melanjutkan pekerjaannya pada pukul 14.00 hingga menjelang sore. Sarono mengaku tahan menjalankan pekerjaan yang menguras tenaga sebagai pemecah batu lantaran berpegang pada doa, usaha, iman, dan tawakal.
”Doa, usaha, iman, dan tawakal jika disingkat jadi DUIT. Dengan DUIT saya mampu menyekolahkan anak dari pekerjaan memecah batu,” kata Sarono diikuti tawa.
Cobaan
Sarono mulai mengalami gangguan penglihatan tahun 1994. Sejak saat itu, penglihatannya semakin parah, hingga akhirnya penglihatannya benar-benar buram pada 1998. Sarono menyikapi kejadian itu sebagai teguran dari Allah. ”Mungkin kehidupan yang saya jalani sebelumnya tidak benar,” kenangnya.
Meski demikian, Sarono tetap cemas. Ia takut tak bisa bekerja apa pun sebagai tunanetra. Ia berpikir satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan hanya menjadi pengemis. ”Godaan menjadi pengemis begitu kuat, tetapi saya coba ingat Allah. Saya masih kuat, sehat, kaki dan tangan yang kuat, pendengaran yang bagus. Akhirnya saya memilih jadi pedagang.”
Pada tahun 2000, ia berkeliling dengan gerobak menjajakan telur asin, lalu pisang. Tapi hasilnya jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ia kembali bingung dan cemas.
Godaan menjadi pengemis begitu kuat, tetapi saya coba ingat Allah. Saya masih kuat, sehat, kaki dan tangan yang kuat, pendengaran yang bagus. Akhirnya saya memilih jadi pedagang.
Suatu hari ketika hendak pulang dari berdagang, kaki Sarono terbentur batu hingga jempol kakinya berdarah. Ia berjongkok meraba batu yang membuat jempolnya luka. Ia pegang batu itu dan tiba-tiba ia melihat jalan. ”Ketika itu saya berpikir batu itu adalah rezeki saya. Batu jika saya pecah akan menjadi pasir dan saya bisa jual. Saya langsung bersyukur kepada Allah yang memberi jalan.”
Sejak 2003, Sarono pun menjadi pemecah batu hingga saat ini. Setiap hari, ia mencari batu-batu besar atau potongan batako di tepi jalan dan sudah tidak terpakai. Potongan batu dan bata itu ia kumpulkan lalu ia hancurkan hingga menjadi pasir. Pasir itulah yang ia jual kepada orang yang membutuhkan. Ia tidak menetapkan harga. Pembeli dipersilakan membayar seikhlasnya.
”Ada yang beli Rp 10.000 hingga Rp 15.000, saya syukuri dan berterima kasih. Uang yang saya dapat untuk kebutuhan sehari-hari, sisanya ditabung.”
Anak yatim
Suatu hari, Sarono berjumpa dengan seorang ibu yang menggendong anaknya di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Saat itu, ia sedang berdiri di pinggir jalan menunggu angkot. Tanpa sadar, ibu itu membantunya untuk memberikan tanda agar angkot berhenti. Saat itu, ia mendengar suara anak kecil yang meminta jajan kepada ibunya.
”Saya tergerak, saya beri uang kepada anak itu. Dalam perjalanan pulang, saya memikirkan anak itu terus. Akhirnya saya coba cari ibu dan anak itu. Saya datang ke rumah mereka. Dari para tetangga dan ketua RT, saya tahu kalau anak itu sudah yatim dan kehidupan ibunya sulit. Dari situlah saya mulai membantu anak-anak yatim-piatu,” tuturnya.
Meski Sarono sendiri termasuk warga tak berpunya, ia semangat membantu orang lain yang lebih susah. Seiring waktu, ia kian terdorong membantu anak-anak lainnya, bahkan ia mulai mencari anak-anak yatim piatu yang perlu bantuan dengan bertanya kepada tetangga dan pengurus masjid. Dari situ, ia menemukan dua anak yatim lainnya yang ia bantu.
Kabar ada seorang tunanetra pemecah batu yang berjiwa sosial segera tersebar hingga ke telinga para dermawan. Satu per satu mereka datang ke rumah Sarono atau ke tempatnya bekerja untuk memberi bantuan uang atau sembako. Sumbangan itu ia gunakan untuk membiayai anak-anak duafa bersekolah.
Di RW 009, tempat Sarono tinggal, hingga saat ini ada 75 anak yang ia sekolahkan dari tingkat PAUD hingga SMA/SMK. ”Sudah ada yang lulus sekolah dan, bahkan, sudah ada yang bekerja serta kuliah,” katanya sambil tersenyum dan mengucap syukur.
Sarono semangat membantu biaya anak-anak yatim-piatu untuk sekolah karena ia dulu orangtuanya hanya bisa menyekolahkan hingga kelas V SD. Dengan pendidikan tak tamat SD, Sarono sulit mendapat pekerjaan. Hidupnya jadi sulit. ”Saya nekat datang ke Jakarta tanpa bekal pengetahuan. Saya jadi buruh untuk menyambung hidup.”
Sarono tidak ingin anak-anak yatim-piatu yang hidupnya sulit mengalami kesulitan berikutnya. Karena itu, ia rela bekerja keras untuk membantu menyekolahkan mereka. Ia berpendapat, pendidikan adalah modal utama agar anak muda bisa berkarya dan bekerja untuk membangun keluarga dan bangsa.
Sarono juga bersedia mendedikasikan hidupnya untuk anak yatim-piatu dan kaum duafa karena ia tidak memiliki anak. Sarono berpikir, dengan merangkul mereka, kehidupan dia dan istrinya menjadi sempurna. Mereka berdua bisa merasakan menjadi orangtua yang berbagi cinta dan kasih, serta melihat kesuksesan anak.
”Menikah, menjadi orangtua, dan memiliki seorang anak adalah anugerah. Namun, Allah punya kuasa, kita hanya bisa menerima. Anak- anak ini adalah titipan Allah kepada kami agar kami sempurna menjadi orangtua,” katanya.
Sarono bukan sekadar tunanetra pemecah batu, ia juga pemecah kebuntuan yang dialami anak-anak duafa. (E20/Aguido Adri)
Sarono
Lahir: Kebumen, 19 Juli 1954
Istri: Sriningsih
Pendidikan: Kelas V SD Kabekelan,
Kebumen