Semangat Memilih di Pemilu Kian Besar
Tiga puluh tujuh hari jelang pemungutan suara, hampir semua responden sudah terpapar informasi Pemilu 2019. Keinginan menggunakan hak suara juga dinyatakan mayoritas responden. Akankah tingkat partisipasi di pemilu 17 April meningkat?
Partisipasi pemilih cenderung turun sejak Pemilu 2004. Pada Pemilu 2014, partisipasi pemilih menyentuh 75,11 persen untuk pemilu legislatif dan 69,58 persen untuk pemilu presiden-wakil presiden. Kini, target baru telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni tingkat partisipasi hingga 77,5 persen.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 5-6 Maret 2019 dengan melibatkan 567 responden di 16 kota besar di Indonesia menunjukkan, hampir semua responden (97,9 persen) menyatakan akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Persentase responden yang menjawab seperti itu meningkat 4,5 persen dibandingkan respons dari responden pada jajak pendapat Kompas sekitar enam bulan silam (Kompas, 24 September 2018).
Hanya saja, belum semua responden menunjukkan kesiapan untuk memilih. Hal ini, antara lain, bisa dilihat dari jumlah responden yang menyatakan sudah memeriksa namanya dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019.
Dari 97,9 persen responden yang menyatakan akan memilih, baru 82,2 persen responden yang sudah memastikan namanya masuk dalam DPT. Sebagian besar responden itu memeriksa DPT di desa/kelurahan dan sebagian kecil melihat melalui laman daring KPU. Ada 15,3 persen responden yang memeriksa DPT sekaligus di kantor pemerintahan setempat dan di laman daring KPU.
Setali tiga uang, pengetahuan publik tentang kelengkapan syarat memilih juga masih lebih rendah dibandingkan antusiasme menggunakan hak pilih. Sebanyak 12,7 persen responden masih belum mengetahui bahwa kepemilikan KTP elektronik (KTP-el) atau surat keterangan pengganti KTP-el menjadi syarat untuk memilih.
Oleh karena itu, di minggu-minggu terakhir jelang hari pemungutan suara, kesadaran calon pemilih untuk memeriksa hal teknis terkait pemilihan makin menjadi kebutuhan.
Hak memilih
Di tengah antusiasme penggunaan hak pilih, sejumlah kerisauan masih menyelimuti persiapan jelang Pemilu 2019. Penjaminan terhadap hak pilih bagi warga negara yang belum memiliki KTP-el dan ketersediaan surat suara bagi pemilih pindahan yang masuk daftar pemilih tambahan (DPTb) masih belum bisa diselesaikan oleh penyelenggara pemilu.
Menurut catatan Kompas, hingga 20 Januari 2019, masih ada 5,38 juta warga negara Indonesia yang belum merekam data untuk KTP-el. Total pencapaian pencetakan KTP-el saat itu baru 97,21 persen.
Merespons keadaan ini, dua mahasiswa dari Bogor, Jawa Barat, serta Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity), awal Maret lalu, mengajukan uji materi UU Pemilu terkait hak pilih ke Mahkamah Konstitusi.
Hasil jajak pendapat juga menunjukkan, masih ada 2,2 persen responden yang belum punya KTP-el. Selain itu, secara umum responden jajak pendapat juga khawatir hal ini akan menjadi kendala dan menghilangkan hak pilih. Sebanyak 54,7 persen responden menyatakan keresahan itu.
Sementara itu, sampai 17 Februari 2019, KPU mencatat ada 275.923 pemilih DPTb yang tersebar di 87.483 TPS. Jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah karena pengurusan pindah memilih baru berakhir pada 17 Maret 2019.
Pemilih pindahan diprediksi akan menyebar dan terkonsentrasi di wilayah yang memiliki banyak perantau, misalnya Jakarta dan Yogyakarta, daerah dengan jumlah mahasiswa cukup besar. Ketersediaan surat suara cadangan yang hanya 2 persen dari DPT dikhawatirkan tidak cukup untuk mengakomodasi pemilih pindahan yang terkonsentrasi dalam jumlah besar di wilayah tertentu.
Dalam jajak pendapat juga terekam bahwa 2,1 persen responden menyatakan akan pindah lokasi memilih. Hanya saja, setengah dari responden itu masih belum mengurus form A5 sebagai bukti pindah memilih. Padahal, tata cara mengurus pindah memilih relatif mudah. Separuh lebih responden (56,4 persen) menyatakan prosedur pindah memilih yang dibuat KPU sederhana dan tak membingungkan.
Tidak bisa dimungkiri, makin dekatnya hari pemungutan suara membuat kekhawatiran muncul. Sebanyak 32,1 persen responden jajak pendapat pesimistis KPU mampu menyediakan surat suara yang cukup bagi pemilih pindahan.
Tidak golput
Penyelamatan hak pilih sejalan dengan niat untuk mendorong terciptanya demokrasi yang lebih baik. Mayoritas responden menunjukkan kecenderungan mendukung gerakan antigolput (77,8 persen).
Gerakan antigolput dinilai efektif meningkatkan partisipasi. Cara yang dilakukan bermacam-macam. Sebagian besar responden (59,4 persen) menyatakan sudah menyampaikan pentingnya menggunakan hak pilih dalam forum-forum diskusi. Kelompok lain (6,5 persen) menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyebarkan gagasan tentang hak pilih. Bahkan, 4,6 persen responden menyatakan aktif dalam gerakan antigolput.
Gerakan antigolput juga ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela Negara 2018-2019 yang memuat sosialisasi antigolput. Pemerintah menugaskan berbagai instansi untuk menyosialisasikan kesadaran memilih lewat media sosial, seminar, iklan layanan masyarakat, ceramah, serta dialog.
Langkah ini direspons beragam. Di satu sisi, gerakan antigolput didukung sebagai gerakan untuk memperbaiki demokrasi. Di sisi lain, golput dilihat kembali sebagai hak, yaitu hak untuk tidak memilih.
Pada akhirnya, publik yakin, di Pemilu 2019 target partisipasi pemilih bisa tercapai. Mayoritas responden meyakini, hal itu penting demi mewujudkan demokrasi yang berkualitas.