Tetap Mengayuh di Masa Senja
Perubahan moda transportasi publik yang kian modern, belum sepenuhnya menghapus keberadaan becak dari Jakarta. Meski kian terpinggirkan, becak masih beroperasi di sejumlah sudut kota. Sunargo (59), penarik becak asal Ngawi, Jawa Timur masih mengayuh di sekitar Jalan Muara Baru Raya, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Minggu (10/3/2019) dini hari.
Dia bekerja di tengah keheningan malam tanpa kebisingan. Kesenyapan itu seolah-olah menjadi gambaran keberadaan becak yang berusaha bertahan di tengah hirup pikuk transportasi massal yang kian modern.
Baca juga : Cerita Abu-Abu Becak di Jakarta
Sekitar pukul 05.00, atau saat tak ada lagi pelanggan, Sunargo bergabung bersama lima orang penarik becak lain yang tengah mangkal di depan Pasar Ikan Modern Muara Baru. "Jam begini sudah sepi. Ramainya itu tadi sebelum jam satu," kata lelaki asal Ngawi, Jawa Timur itu.
Tanpa menghiraukan temannya yang duduk mengobrol dan berkelakar, lelaki itu memilih menghitung puluhan lembar uang kertas yang sudah dikumpulkan. "Lumayan, cukup buat makan," katanya sembari memasukan kembali puluhan lembar uang kertas itu ke saku celananya.
Dari hasil kayuhannya, Sunargo setiap malam, bisa mengumpulkan uang Rp 50.000-Rp 100.000. Jika sedang beruntung, dia bisa meraup rezeki hingga Rp 200.000.
Warga memanfaatkan jasanya untuk mengangkut bahan belanjaan seperti ikan dan udang di Pasar Ikan Modern Muara Baru. Keberadaan ojek daring, ojek pangkalan, dan bajaj, yang beroperasi di wilayah itu tak mengurangi rezeki Sunargo, setiap malam.
Baca juga : Tetap Mengayuh di Masa Senja
Pendapatan itu masih memenuhi kebutuhan keluarga sejak dia memutuskan menjadi penarik becak awal 1990 hingga kini. Bedanya, dulu dia menunggu penumpang saat pagi hingga sore hari, kini dia menarik becak saat malam hingga dini hari. "Siang susah ada penumpang. Kalau malam kan lebih adem, enggak banyak angkutan lain, jadi ada yang mau naik," kata lelaki yang pernah bekerja sebagai buruh pikul di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara itu.
Bekerja sebagai penarik becak, kata Sunargo, tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan kehadiran moda transportasi lain. Dia juga pernah merasakan sulitnya bertahan di tengah penertiban becak yang marak dilakukan di tahun 1990-an. Bahkan becaknya pernah di razia dan dibuang di Teluk Jakarta.
Segala tantangan yang pernah dialami tak mengubah pilihan Sunargo untuk beralih mencari pekerjaan lain. Bekerja sebagai penarik becak lebih mudah ketimbang bekerja sebagai buruh proyek atau saat masih menjadi buruh pikul di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1980-an.
Penuturan berbeda dikatakan Tanya Wastam (55), warga asal Indramayu, Jawa Barat. Lelaki yang menjadi penarik becak sejak tahun 1985 itu, mengaku tidak memiliki keterampilan lain untuk beralih profesi dari penarik becak.
Baca juga : Peremajaan Angkutan Umum di Jakarta
Hanya bermodalkan pengalaman sebagai tukang semir sepatu saat masih berusia anak-anak dan tanpa bekal pendidikan, bertahan sebagai penarik becak satu-satunya pilihan. Menurutnya, menjadi penarik becak merupakan pekerjaan yang membanggakan. Dia bekerja tanpa menimbulkan kebisingan, apalagi polusi.
"Becak itu dulu pernah digunakan Presiden Soekarno. Lebih jauh lagi, becak dulu jadi alat transportasi melawan penjajah," ujarnya.
Penghisapan manusia
Pernah berjaya sebagai angkutan umum favorit di Jakarta, becak pertama kali dilarang beroperasi di Jakarta sejak tahun 1970 karena dianggap sebagai biang kesemrawutan lalu lintas. Penarik becak merupakan contoh nyata korban eksploitasi manusia atau penghisapan manusia atas manusia.
"Kasihan, sementara dia mengeluarkan keringat, orang yang duduk di atas becak enak-enak duduk dibuai angin," kira-kira begitu kata Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto saat masih menjabat sebagai gubernur pada periode 1987-1992.
Berdasarkan catatan Kompas, Kehadiran becak di Jakarta dan segala kontroversinya memiliki sejarah panjang. Becak masuk di Jakarta pertama kali sekitar tahun 1936 dan segera menjadi favorit. Dalam tujuh tahun, jumlah becak mencapai 3.900 unit dan terus bertambah higgga 160.000 unit pada tahun 1972.
Jumlah yang membludak itu berujung pada pelarangan untuk beroperasinya becak di zaman Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Upaya itu dimulai dengan terbitnya Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta Tahun 1965-1985.
Ali Sadikin merintis penghapusan becak pada tahun 1967 dengan perlahan-lahan mengurangi pemakaian becak di pusat kota. Tiga tahun kemudian, Ali Sadikin mengeluarkan instruksi yang melarang produksi dan pemasukan becak ke Jakarta.
Baca juga : Becak di Jakarta Terus Bertambah
Pada tahun 1990, melalui Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988, pemerintah memutuskan untuk menghilangkan becak dari Jakarta. Namun, upaya menghapus keberadaan becak melalui berbagai peraturan daerah dan penertiban saat itu tak serta merta mampu menghilangkan keberadaan becak di Jakarta.
Bahkan ketika krisis ekonomi 1998, becak kembali diizinkan beroperasi oleh Gubernur Sutiyoso. Izin itu berlaku tujuh hari saja lantaran becak berbondong-bondong masuk ke Jakarta, (Kompas, 18/3/2018).
Kini di zaman Gubernur Anies Baswedan, pada tahun 2018, becak diwacanakan untuk kembali beroperasi di Jakarta. Meski demikian, ada syarat tertentu, yaitu becak hanya diperbolehkan beroperasi di sekitar pasar dan tak boleh beroperasi di jalan protokol.
Wacana itu merupakan bagian dari janji politiknya bersama Sandiaga Uno sebelum terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tujuannya untuk memberi keadilan bagi pengayuh becak demi mencari nafkah di Jakarta, (Kompas, 19/10/2018).
Pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menilai, perkembangan transportasi publik yang kian modern sudah tidak layak mempertahankan keberadaan becak sebagai angkutan umum. Untuk mempertahankannya sebagai warisan transportasi publik yang pernah ada di Jakarta, becak sebaiknya diberdayakan sebagai angkutan wisata.
"Masa becak sudah berlalu. Aturan apapun tidak akan mampu lagi meningkatkan pendapatan penarik becak," kata dia.
Baca juga : Ironi Bajaj, Mantan Primadona Tergilas Ketidakpastian Aturan
Meski demikian, bertahan atau punahnya becak di Jakarta ditentukan sendiri oleh para penarik becak. Bahkan penarik becak di Muara Baru, dengan nada pesimis mengakui, mereka bisa jadi merupakan generasi terakhir penarik becak di Jakarta. (STEFANUS ATO)