SOLO, KOMPAS — Anak-anak siswa sekolah dasar pengidap HIV/AIDS yang sebelumnya terpaksa meninggalkan bangku sekolah dasar karena ditolak orangtua siswa di Solo, Jawa Tengah, kini telah bersekolah kembali. Mereka terdaftar di sejumlah sekolah yang berbeda.
”Anak-anak sudah diterima sekolah semuanya. Mereka sudah masuk di beberapa sekolah, tidak satu sekolah,” ujar Puger Mulyono, pengelola Yayasan Lentera, Solo, yang mengasuh anak-anak dengan HIV/AIDS, dalam acara diskusi publik ”Kilau Generasi Bebas HIV/AIDS dan Napza” di Solo, Jawa Tengah, Selasa (12/3/2019).
Meski demikian, lanjut Puger, dari 14 anak dengan HIV/AIDS (ADHA), ada dua anak yang belum mulai masuk sekolah. Kedua anak yang duduk di bangku kelas I SD tersebut saat ini masih harus menjalani pengobatan penyakit kulit. ”Kalau sudah pulih, mereka nanti masuk sekolah,” ujarnya.
Ia mengatakan, saat ini sudah tidak ada lagi kendala yang dihadapi. Walaupun anak-anak harus bersekolah di beberapa SD yang berbeda, hal itu tidak menjadi persoalan. ”Komisi Penanggulangan AIDS Solo membantu antar jemput sekolah anak-anak itu,” ujarnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat Solo Widdi Srihanto mengatakan, Pemerintah Kota Solo berkomitmen memenuhi hak anak-anak dengan HIV/AIDS kembali dapat mengenyam pendidikan formal. Pihaknya memastikan tidak ada diskriminasi terhadap ADHA di Solo. ”ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dan ADHA tetap mendapatkan hak-haknya dalam kehidupan bermasyarakat,” katanya.
Widdi mengatakan, masyarakat masih memiliki stigma terhadap pengidap HIV/AIDS sehingga ada penolakan terhadap ADHA. Ini, misalnya, saat Pemerintah Kota Solo hendak menyiapkan rumah singgah bagi ADHA, masyarakat sekitar lokasi yang hendak dipilih menolak karena khawatir tertular. Kondisi ini karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap penyakit HIV/AIDS.
Masyarakat masih memiliki stigma terhadap pengidap HIV/AIDS sehingga ada penolakan terhadap ADHA.
Karena itu, Pemkot Solo akan kian menggencarkan sosialisasi tentang HIV/AIDS. Sosialisasi, antara lain, telah dilakukan pada Forum Anak Solo. Selain itu, kegiatan serupa juga akan diadakan di SMP dan SMA/SMK. ”Mengubah stigma itu sulit, ini tugas kita bersama-sama,” ujarnya.
Widdi mengatakan, Solo memiliki risiko relatif besar dalam penularan HIV/AIDS. Ini karena Solo merupakan kota tujuan wisata sekaligus pusat perekonomian di wilayah eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. ”Sejak tahun 2006 tercatat ada 2.857 kasus HIV dan AIDS di Solo, meninggal 885 orang,” katanya.
Sebelumnya diberitakankan, 14 siswa sekolah dasar yang mengidap HIV/AIDS terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah karena ditolak orangtua siswa lain. Kejadian itu berawal ketika SD tempat mereka bersekolah sebelumnya, yakni SDN Bumi 2, digabung dengan SDN Purwotomo pada Januari 2019.
Setelah penggabungan sekolah itu, banyak orangtua siswa di SDN Purwotomo mengajukan keberatan jika siswa dengan HIV/AIDS tetap bersekolah di SDN Purwotomo. Akibatnya, 14 ADHA siswa kelas I-IV yang merupakan anak asuh Yayasan Lentera itu terpaksa meninggalkan bangku sekolah.