Akhir Era Tambang Terbuka Grasberg
Truk-truk raksasa berkapasitas 350 ton tak lagi hilir mudik di puncak Grasberg, Kabupaten Mimika, Papua. Yang tersisa cekungan sedalam 1 kilometer, berdiameter 3,5-4,5 kilometer. Area tambang terbuka yang paling menakjubkan di dunia itu pun sudah di akhir masanya.
Digali sejak 1990, area tambang Grasberg di pegunungan terpencil di Timika itu telah menghasilkan 11,8 juta ton tembaga dan 4.600 ton emas. Dioperasikan PT Freeport Indonesia, tahun ini merupakan akhir dari tambang terbuka Grasberg.
Grasberg, yang punya terjemahan gunung rumput, merupakan bagian dari operasi kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia sejak 1967. Sebelum Grasberg ditambang, Freeport terlebih dahulu menggangsir Ertsberg atau gunung bijih sejak 1973 dan habis pada 1990. Baik Ertsberg maupun Grasberg adalah tambang dengan cadangan tembaga terbesar, termasuk emas dan perak, yang ada di permukaan.
Baca Lagi:
Liputan Mendalam Kompas tentang Tambang Freeport
”Tahun ini tahun terakhir pengangkutan sisa bijih dari penambangan terbuka Grasberg. Selanjutnya, kami berfokus penuh pada penambangan bawah tanah,” ujar Kepala Teknik Tambang PT Freeport Indonesia Zulkifli Lambali saat berbincang dengan Kompas di Grasberg, akhir Februari lalu.
Sejak ditambang 1991, produksi bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak dari Grasberg bervariasi. Pada tahun itu, produksi bijih Grasberg ”hanya” 58.000 ton per hari. Puncak produksi terjadi pada 2000 dan 2008 yang mencapai 238.000 ton bijih per hari. Tahun lalu, produksi bijih Grasberg mencapai 182.000 ton per hari.
”Sejak awal diproduksi, Grasberg menghasilkan sekitar 1,3 miliar ton bijih. Itu belum memasukkan volume tanah lapisan penutup dan batuan ikutan yang bisa mencapai tiga kali lipat dari bijih yang diproduksi,” ucap Zulkifli.
Selanjutnya, kami berfokus penuh pada penambangan bawah tanah.
Dengan produksi bijih 182.000 ton per hari sepanjang 2018, Grasberg memberikan harta karun berupa tembaga 569.500 ton, 85,6 ton emas, dan 117 ton perak.
Sebagai catatan, setiap ton bijih dari Grasberg yang ditambang menghasilkan rata-rata 9,9 kilogram tembaga, 1,59 gram emas, dan 2,23 gram perak. Royalti yang diterima negara dari hasil tembaga 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen. Itu belum termasuk pajak dan pungutan lain.
Gunung emas
Adalah pelaut berkebangsaan Belanda bernama J Carstensz yang melihat pantulan cahaya matahari di sebuah puncak gunung pada 1623. Saat itu, ia berlayar melintas dari Ambon menuju New Guinea.
Salju! Begitu pekik Carstensz saat mengamati asal pantulan cahaya matahari itu dengan teropong. Namanya diabadikan menjadi nama puncak gunung yang diselimuti salju itu dan kini lebih dikenal sebagai Puncak Jayawijaya.
Carstensz membawa cerita temuan salju itu ke Eropa. Ia justru dicemooh banyak orang. Bagaimana mungkin ada salju di garis ekuator? Namun, cerita itu justru melahirkan rasa penasaran sejumlah petualang.
Tiga abad kemudian, tahun 1907, sebuah ekspedisi besar yang dipimpin Dr AH Lorentz dan didukung militer Belanda berhasil menggapai puncak bersalju itu. Ekspedisi Lorentz menghasilkan peta dan informasi keanekaragaman hayati.
Dari ekspedisi itu pula, lahirlah ekspedisi berikutnya dan menemukan tambang Ertsberg. Pemuda Belanda, Jean Jacques Dozy, yang ”berjasa” menemukan Erstberg yang menjadi cikal bakal raksasa Freeport berada di Papua.
Janji kesejahteraan
Era masuknya Freeport diawali penandatanganan KK pertama pada 1967 sekaligus menandai masuknya modal asing ke Indonesia di awal pemerintahan Orde Baru.
Dalam KK itu, operasi Freeport di Papua berlangsung 30 tahun atau berakhir 1997. KK itu diperbarui pada 1991 dan Freeport kembali mengantongi masa operasi 30 tahun (sampai 2021) dengan opsi perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun atau hingga 2041.
Sebelum akhir 2018, pemerintah dan Freeport bersepakat mengubah KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Penyesuaian menjadi IUPK adalah amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam aturan turunan UU itu, yakni lewat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, Freeport diwajibkan mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada Indonesia. Sejak KK kedua ditandatangani, saham pemerintah di Freeport hanya 9,36 persen.
Melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, kepemilikan Indonesia di Freeport diperbesar menjadi 51,23 persen. Inalum menebus 3,85 miliar dollar AS atau hampir Rp 60 triliun.
Struktur kepemilikan saham PT Freeport Indonesia pun berubah. Pemerintah Kabupaten Mimika dan Pemerintah Provinsi Papua memiliki saham 10 persen, Inalum 41,23 persen, serta sisanya 48,77 persen milik Freeport McMoran Inc yang berkantor di Amerika Serikat.
Anggota DPRD Mimika, Aser Gobai, mengatakan, rakyat Mimika tak begitu ambil pusing soal divestasi saham Freeport. Hal yang paling penting, rakyat Papua selaku pemilik hak ulayat wilayah tambang harus sejahtera.
Kekayaan emas dan tembaga yang ditambang di Papua harus menyejahterakan rakyat Papua itu sendiri, bukan elite di Jakarta atau orang asing.
”Apa artinya 51 persen (saham Freeport dikuasai Indonesia) itu bagi kami? Belum berarti apa-apa. Kami butuh bukti, bukan rencana atau janji manis kesejahteraan,” ucap Aser di Timika.
Aser tak mengada-ada. Setelah lebih dari 50 tahun Freeport beroperasi, penduduk miskin di Kabupaten Mimika per semester I-2018 masih 14,55 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional 9,82 persen.
Ketergantungan perekonomian lokal terhadap operasi Freeport masih tinggi, yaitu 94 persen terhadap produk domestik regional bruto.
Presiden Joko Widodo saat mengumumkan divestasi saham Freeport mengatakan, peralihan saham kepada Inalum merupakan momen bersejarah.
Kepemilikan saham mayoritas itu akan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Presiden berjanji, pendapatan pajak dan nonpajak serta royalti akan lebih besar dan lebih baik.
Presiden berjanji, pendapatan pajak dan nonpajak serta royalti akan lebih besar dan lebih baik.
Menurut Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif, tantangan besar setelah divestasi adalah mewujudkan nilai tambah seoptimal mungkin di dalam negeri. Selain lewat pembangunan smelter, juga harus ada cetak biru dari hulu sampai hilir untuk pemanfaatan mineral tembaga yang diproduksi Freeport di Papua.
Penambangan terbuka Grasberg memang bakal segera berakhir. Inalum sebagai entitas nasional dalam pengelolaan tambang Freeport harus mampu menciptakan nilai tambah di dalam negeri untuk mewujudkan kemakmuran rakyat, khususnya Papua, sesuai amanat konstitusi.(APO/DKA/ENG/FLO/ICH)