Ambang Batas Parlemen Menguji Parpol
Ambang batas parlemen menjadi ujian terberat bagi partai politik untuk lolos menduduki kursi legislatif tingkat nasional. Ujian ini terutama dirasakan oleh partai-partai menengah, termasuk di antaranya partai pendatang baru.
Kecenderungan pemilih menentukan pilihan kepada partai-partai yang sudah mapan juga menjadi tantangan tersendiri bagi kontestasi untuk merebut suara rakyat. Kecenderungan ini terlihat dari tren makin rendahnya suara pemilih di pemilihan umum yang tidak bisa dikonversikan sebagai kursi di DPR (nasional). Kecenderungan ini bisa terlihat pada dinamika hasil empat pemilihan umum yang digelar sejak era reformasi.
Pada Pemilu 1999, dengan jumlah partai politik peserta pemilu 48 partai, separuh lebih di antaranya (28 partai) gagal meraih kursi di DPR. Total suara parpol yang gagal masuk parlemen itu mencapai 4,6 juta (4,4 persen) suara. Artinya, jutaan suara tersebut ”tidak terwakili” dalam kursi di Senayan.
Sebagian dari partai yang gagal meraih kursi juga dibebani electoral threshold (ambang batas pemilihan) sebesar 2 persen dari kursi di DPR RI. Artinya, partai-partai yang gagal meraih suara minimal tersebut tidak berhak mengikuti pemilu lima tahun berikutnya.
Jumlah suara yang gagal terwakili ini justru meningkat padas Pemilu 2004 dengan jumlah peserta pemilu yang jauh lebih sedikit dibandingkan Pemilu 1999. Dengan 24 partai politik yang menjadi peserta pemilu, total ada 6,7 juta (5,9 persen) suara pemilih yang gagal terwakili di legislatif pusat.
Jumlah suara ini adalah akumulasi dari delapan partai yang gagal meraih kursi karena tidak memenuhi ambang batas parlemen yang naik menjadi 3 persen kursi DPR RI pada pemilu kedua era reformasi ini.
Potensi kenaikan suara pemilih yang tidak terkonversi dalam kursi juga terjadi pada kondisi jumlah partai peserta pemilu yang meningkat sebagaimana terjadi pada Pemilu 2009. Dengan jumlah peserta pemilu yang mencapai 38 parpol, total suara pemilih yang gagal terwakili juga meningkat menjadi 19,5 juta suara (18,7 persen). Persentase ini naik tiga kali lipat dibandingkan pemilu sebelumnya.
Tingginya jumlah suara yang gagal terwakili di parlemen nasional pada Pemilu 2009 ini tidak lepas dari mulai diberlakukannya ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen dari suara sah nasional.
Jika gagal memenuhi ambang batas ini, suara yang diraih partai tidak berhak diikutkan dalam penghitungan konversi suara menjadi kursi. Artinya, ambang batas parlemenlah yang menjadi faktor memengaruhi tingginya lonjakan suara ”terbuang” tersebut.
Menariknya, hal yang berbeda terjadi pada Pemilu 2014, dengan ambang batas parlemen naik menjadi 3,5 persen dari suara sah nasional, suara yang ”terbuang” malah menurun menjadi 2,9 juta (2,4 persen).
Hal ini mengindikasikan, selain faktor ambang batas parlemen, juga ada gejala yang di awal ulasan ini disinggung, yakni kecenderungan pemilih condong memilih partai-partai mapan. Dari 12 parpol pada Pemilu 2014, hanya ada dua partai, yakni PBB dan PKPI, yang suaranya gagal dikonversikan ke kursi DPR RI karena tidak lolos ambang batas parlemen.
Berbagai data ini menunjukkan, tidak ada korelasi kuat antara jumlah peserta pemilu dan potensi jumlah suara pemilih yang gagal dihitung dan dikonversi ke dalam perolehan kursi. Dengan jumlah partai peserta pemilu yang menurun, total suara pemilih yang tidak terwakili dalam kursi parlemen malah tetap naik.
Partai mapan
Partai mapan dimaknai sebagai partai-partai yang relatif konsisten meraih kursi di DPR. Jika merujuk peraih kursi DPR dari hasil Pemilu 2014, setidaknya ada sembilan partai yang masuk kategori ini, yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PKS, PAN, PPP, dan Hanura. Nasdem juga meraih kursi di DPR RI pada Pemilu 2014, sedangkan pada Pemilu 2009 belum menjadi peserta.
Meski demikian, bukan berarti sembilan partai ini bertahan dengan mudah pada Pemilu 2019. Sejumlah partai pendatang baru, seperti Partai Garuda, Berkarya, Perindo, dan PSI, akan jadi penantang bagi mereka, selain tentu PBB dan PKPI yang sebelumnya juga menjadi kontestan di pemilu.
Data tren perilaku pemilih yang cenderung memilih partai mapan di atas kertas menguntungkan partai-partai mapan itu, terutama partai yang berada pada papan atas. Hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2018 menunjukkan, ada lima besar partai, yakni PDI-P, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PKB, yang memiliki potensi besar lolos ambang batas parlemen pada pemilu tahun ini. Partai-partai ini relatif mapan, baik secara elektabilitas maupun basis dukungan yang diraihnya pada Pemilu 2014.
Dari penguasaan daerah pemilihan misalnya, PDI-P dengan modal suara sah 18,9 persen pada Pemilu 2014, partai ini juga menancapkan penguasaan wilayah. Wilayah kemenangan PDI-P yang suaranya jauh melebihi suara nasionalnya berada di 31 dapil. Bali menjadi dapil lumbung suara terbesar PDI-P pada Pemilu 2014.
Suara yang diraih partai ini di Bali mencapai 43,1 persen, jauh melebihi suara nasionalnya. Selain Bali, basis lumbung suara PDI-P juga berada di dapil Jawa Tengah 5 yang meliputi Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Solo. Pada Pemilu 2014, di dapil ini PDI-P meraih 42,9 persen suara. Umumnya di suatu dapil ada 5-7 partai yang menerima insentif lumbung suara besar dari suara yang diraihnya pada Pemilu 2014.
Kemudian Gerindra, yang memiliki 32 daerah pemilihan yang suaranya di atas perolehan suara nasional. Jawa Tengah 7 menjadi dapil sekaligus lumbung suara terbesar partai ini. Di wilayah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen ini, Gerindra meraih suara 18,9 persen, jauh melampaui persentase suara nasionalnya yang mencapai 11,8 persen.
Sementara Golkar juga memiliki basis dapil yang menjadi lumbung suaranya, yakni di Gorontalo, dengan perolehan suara mencapai 48,8 persen, jauh melampaui suara nasionalnya yang ada di angka 14,7 persen.
Hal yang sama terjadi pada partai lainnya, terutama PKB dan Demokrat. Pada Pemilu 2014, PKB meraih 9 persen suara dan mencatatkan 23 dapil yang suaranya melebihi persentase nasional. Dapil Jatim 3 jadi basis suara terbesarnya. Di wilayah yang meliputi Kabupaten Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi ini, PKB meraih 27,7 persen suara, jauh di atas suara nasionalnya.
Sementara Partai Demokrat dengan modal 10 persen suara pada Pemilu 2014 memiliki 32 dapil yang suaranya melebihi persentase suara nasional yang diraihnya. Perolehan suara Demokrat tertinggi berasal dari dapil Papua Barat dengan capaian suara 25,1 persen.
Ambang Batas
Dari ilustrasi lima partai di atas, tampak ambang batas parlemen menjadi ujian bagi partai untuk lolos dan bisa mengantarkan suara yang diraihnya menjadi kursi di DPR nasional. Selain kelima partai di atas, partai-partai lainnya juga memiliki modal suara dan basis suara yang diraih di Pemilu 2014.
Rata-rata dari 10 partai peraih kursi di parlemen hasil Pemilu 2014, semua memiliki basis dapil yang perolehan suaranya melebihi persentase suara nasional yang diraih partai. Hal ini tentu menjadi modal bagi partai untuk bertarung mendulang suara pemilih di pemilu tahun ini.
Tantangan yang sama tentu harus dihadapi partai yang gagal meraih kursi pada Pemilu 2014 sekaligus bagi partai politik pendatang baru. Ambang batas parlemen menghantui mereka. Apalagi, sejumlah survei memperlihatkan bagaimana kelompok partai ini selalu berada di urutan paling bawah dari 16 partai politik nasional peserta pemilu tahun ini.
Meski demikian, kontestasi politik tetap terbuka dan membuka peluang bagi setiap kontestan, baik partai politik maupun calon anggota legislatif untuk meraih hasil yang maksimal.