Caleg Milenial Bawa Angin Segar
JAKARTA, KOMPAS— Kehadiran calon anggota legislatif dari generasi milenial dianggap membawa angin segar dalam kontestasi Pemilu 2019. Hal ini menunjukkan adanya proses regenerasi yang sedang berjalan di tubuh partai politik.
Seperti diberitakan sebelumnya, lebih dari 1.500 caleg untuk DPR tergolong generasi milenial, yakni mereka yang lahir pada awal 1980-an hingga awal 2000-an. Keberadaan mereka diharapkan bisa menarik suara pemilih milenial (Kompas, 11/3/2019).
Peneliti politik dari Center for Strategic and International Studies, Noory Okthariza, Minggu (10/3/2019), mengatakan, kehadiran caleg milenial memberikan angin segar dalam dua hal. Pertama, kehadiran mereka mendorong parpol untuk melakukan regenerasi tokoh politik yang selama ini cenderung diisi oleh muka-muka lama.
Kedua, caleg milenial menjawab kebutuhan pemilih pada Pemilu 2019 yang sebagian besar adalah generasi muda. ”Namun, sebagai tokoh muda dan baru di politik nasional, mereka harus membuktikan mampu memberikan perubahan yang dibutuhkan masyarakat,” kata Noory, di Jakarta.
Pendapat serupa disampaikan AG Eka Wenats, pengajar Komunikasi Politik pada Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Paramadina. Menurut Eka, caleg-caleg milenial lahir dari kejenuhan terhadap situasi politik yang selama ini didominasi tokoh itu-itu saja. Dalam situasi politik seperti itu, terobosan yang ditunggu anak muda tidak akan muncul.
Maka, tidak ada pilihan buat anak muda selain mencemplungkan diri ke arena politik untuk memperjuangkan kepentingannya. ”Kalau banyak di antara mereka yang terpilih, mereka akan mewarnai parlemen,” ujarnya.
Kalaupun sebagian dari mereka gagal meraih kursi parlemen, caleg-caleg milenial mendapat pengalaman politik praktis yang amat berharga untuk mematangkan mereka pada masa depan. ”Anggap saja Pemilu 2019 itu ujian. Pertarungan sebenarnya buat mereka ada pada Pemilu 2024, saat mereka lebih matang dan jumlahnya makin banyak,” kata Eka.
Regenerasi saat ini memang menjadi kebutuhan partai politik untuk mengantisipasi tren pada Pemilu 2024 yang akan diwarnai dengan alih generasi secara besar-besaran.
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, untuk keperluan regenerasi struktural partai, tokoh-tokoh muda disiapkan dari sekarang, termasuk menjadikan mereka caleg yang berkontestasi dalam pemilu.
Para caleg milenial, lanjut Johnny, telah diberi pengertian bahwa mereka belum tentu langsung mendapat kursi pada kontestasi pertama. Namun, dari situ mereka mendapatkan pengalaman politik praktis.
”Namanya politik, butuh pengalaman praktis empiris. Tak hanya belajar ilmu politik di kampus. Di sini (pemilu) jadi kesempatan mereka menguji kemampuan, membangun jaringan, dan membangun trust publik,” kata Johnny.
Menurut Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno, Pemilu 2019 menjadi ajang pembekalan dan pemanasan bagi caleg milenial sebelum program regenerasi jangka panjang di partai berjalan.
”Kebetulan program regenerasi yang dilakukan partai bertepatan dengan banyaknya pemilih milenial yang terdata pada Pemilu 2019 ini, jadi eksistensi para caleg muda ini semakin menguntungkan.”
Bagaimanapun, para caleg milenial memiliki sejumlah keterbatasan. Eka Wenats melihat jam terbang mereka di bidang politik masih rendah sehingga akan memengaruhi kemampuan bernegosiasi, lobi, kompromi, serta membaca situasi sosial dan politik. Meski begitu, mereka tetap harus diberi kesempatan yang luas agar kapasitas dan kapabilitasnya sebagai politisi segera terangkat.
”Dinasti politik”
Abdul Hamid, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, mengingatkan, kehadiran caleg milenial menjadi sia-sia jika kebanyakan dari mereka merupakan bagian dari ”dinasti politik”.
Dia menemukan sejumlah caleg untuk DPR dan DPRD memiliki hubungan dengan tokoh partai atau pejabat. ”Mungkin saja mereka bisa menjadi calon anggota parlemen karena kekerabatan, bukan karena kaderisasi.”
Apa yang dikhawatirkan Hamid terjadi pada Pemilu 2009. Buku Wajah DPR dan DPD 2009-2014 mencatat, sebagian politisi muda berusia kurang dari 40 tahun yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009-2014 adalah anak-anak para politisi atau pejabat.
Mereka itu, antara lain, Verna Gladies Inkiriwang, putri Piet Inkiriwang (saat itu Bupati Poso); Aditya Mufti Ariffin, putra Rudy Ariffin (saat itu Gubernur Kalimantan Timur); Putih Sari, putri politisi Haryanto Taslam; Ahmad Mumtaz Rais, putra Amien Rais; Edhie Baskoro, putra Susilo Bambang Yudhoyono (saat itu Presiden RI); Puan Maharani, putri Megawati Soekarnoputri; dan Dodi Reza, putra Alex Noerdin (saat itu Gubernur Sumatera Selatan). (AGE/BAY/SAN/BSW)