Hak Pilih dan Integritas Pemilu
Mahkamah Konstitusi kini menjadi tumpuan publik dan Komisi Pemilihan Umum untuk bisa memberikan jalan keluar bagi sejumlah persoalan terkait dengan hak pilih warga negara. Akankah MK menjawab harapan itu?
Tidak bisa dimungkiri, validitas daftar pemilih tetap (DPT) dan penyediaan logistik ataupun kaitannya dengan penggunaan kartu tanda kependudukan elektronik hari-hari ini menjadi tantangan besar bagi integritas Pemilu 2019.
Pada Jumat (8/3/2018), Badan Pengawas Pemilu merilis temuan baru terkait dengan jumlah warga negara asing (WNA) yang terdata dalam DPT. Dari penelusuran faktual yang dilakukan jajaran Bawaslu di daerah, ada 158 WNA yang masuk DPT. Jumlah ini lebih besar daripada yang dikemukakan KPU sebelumnya, yakni 103 orang. Dari 103 WNA, hanya 101 yang identitasnya telah diverifikasi sesuai catatan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Mereka pun dicoret KPU dari DPT.
Adapun untuk 158 WNA temuan Bawaslu itu masih ditelusuri kebenarannya. Apakah dari 158 WNA itu termasuk pula di dalamnya 101 WNA yang telah dicoret KPU, ataukah mereka merupakan orang yang berbeda. Tim tripartit dibentuk antara KPU, Bawaslu, dan Dukcapil Kemendagri untuk memastikan hal itu. Tim menyisir kebenaran data dan membersihkan DPT dari WNA.
Kendati jumlahnya kecil dibandingkan total DPT 192.828.520 orang, ratusan WNA yang masuk DPT itu menjadi potret belum rapinya upaya pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih dalam Pemilu 2019. Banyak hal diduga menjadi latar belakang terjadinya hal itu, antara lain ketidakcermatan petugas pendaftaran pemilih (pantarlih) yang keliru memersepsi KTP elektronik (KTP-el) WNA tersebut sebagai KTP-el WNI karena bentuk fisiknya sama.
Di tengah masih adanya pemilih yang berpotensi kehilangan hak pilih karena belum merekam dan mencetak KTP-el, masuknya seratusan WNA dalam DPT tersebut mesti disikapi serius oleh penyelenggara pemilu dan pemerintah. Problem WNA yang masuk dalam DPT ini sekaligus menjadi contoh belum siapnya pendataan pemilu berbasis KTP-el.
Dalam permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay; dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, penggunaan KTP-el dalam pemilu digugat. Penggunaan KTP-el sebagai satu-satunya identitas yang diakui untuk mencoblos dalam Pemilu 2019 dinilai berpotensi menghilangkan hak pilih warga negara. Kuasa hukum pemohon, Denny Indrayana, menyebutkan, masih ada sedikitnya 4 juta orang yang belum memiliki KTP-el.
”Masih ada, misalnya, sekitar 5.000 orang yang pada hari H berusia 17 tahun dan belum memiliki KTP-el karena mereka perlu waktu untuk mengurus perekaman data dan pencetakan fisik KTP. Dengan ketentuan ini, mereka tak bisa memilih karena tidak memiliki KTP-el. Begitu pula untuk orang-orang yang belum mencetak KTP-el, apakah hak pilih mereka hilang?” ujar Denny, Selasa (5/3/2019), di Jakarta.
Basis pendataan
Peraturan KPU Nomor 3/2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara memang memberikan keleluasaan bagi warga yang terdata dalam DPT untuk menggunakan identitas selain KTP-el untuk memilih. Namun, aturan tersebut tidak berlaku bagi warga yang belum terdata dalam DPT atau masuk dalam daftar pemilih khusus (DPK). Warga yang masuk dalam DPK tetap harus menunjukkan KTP-el untuk memilih di tempat pemungutan suara sesuai alamat di KTP-el. Selain itu, basis pendataan warga untuk masuk DPT pun menggunakan KTP-el.
Anggota KPU, Viryan Aziz, mengatakan, salah satu hal mendasar yang membedakan pendataan pemilih pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 ialah pada basis pencatatannya. UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu mengatur pendataan Pemilu 2019 berbasis alamat KTP-el. Hal ini berbeda dengan pendataan Pemilu 2014 yang berbasis domisili warga.
Perbedaan ini berdampak signifikan karena belum semua warga tertib administrasi. Ada sejumlah kasus yang menunjukkan alamat warga di KTP-el ternyata berbeda dengan domisili atau tempat tinggalnya sehari-hari. Akibatnya, warga tetap tercatat sebagai pemilih di alamat sesuai dengan KTP-el, sedangkan pada kenyataannya warga lebih sering tinggal di dekat tempat ia bekerja, bersekolah, atau menjalani tugas.
Kondisi berbeda ditemui pada Pemilu 2014 yang berbasis domisili. Saat warga didata, petugas pantarlih menanyakan di mana warga bersangkutan akan memilih atau tinggal. Dengan informasi itu, warga bersangkutan akan dicatat sebagai DPT di tempat ia berdomisili atau memilih. Pendataan berbasis domisili mengurangi risiko pemilih pindahan yang masuk daftar pemilih tambahan (DPTb).
Penumpukan pemilih
Penumpukan pemilih pindahan muncul menjadi persoalan ketika dalam rapat evaluasi DPTb yang dilakukan KPU pada 17 Februari 2019. Dari pertemuan itu terungkap, jumlah DPTb relatif besar dan terkonsentrasi pada titik-titik tertentu. Hingga 17 Februari, ada 275.923 pemilih pindahan. Mereka tersebar di 87.483 TPS di 30.118 desa/kelurahan di 496 kabupaten/kota. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga masa akhir pengurusan pindah memilih pada 17 Maret 2019 atau 30 hari sebelum pemungutan
suara.
Problem ikutan dari penumpukan DPTb ini adalah penyediaan logistik, terutama surat suara, serta kemungkinan pembentukan TPS khusus di lokasi-lokasi itu. KPU mengungkapkan secara teknis kesulitan untuk mendistribusikan surat suara dari TPS satu ke TPS lain di mana terjadi penumpukan pemilih DPTb. Di sisi lain, ada upaya teknis untuk mendistribusikan pemilih ke TPS terdekat kendati tetap ada kendala jarak bagi titik-titik yang secara geografis terisolasi. Bila persoalan ini tidak teratasi, potensi warga negara kehilangan hak pilihnya cukup besar.
Terkait DPTb ini pun ada celah di dalam UU Pemilu. Pasal 350 Ayat (3) mengatur surat suara yang ada di TPS terdiri atas surat suara sejumlah DPT, DPTb, dan 2 persen surat suara cadangan. Merujuk pada pasal ini, penyelenggara pemilu secara khusus harus menyediakan surat suara bagi DPTb. Namun, ketentuan ini tidak sinkron dengan pengaturan soal pencetakan surat suara. Pasal 344 Ayat (2) mengatur pencetakan surat suara hanya berbasis DPT, ditambah dengan 2 persen dari DPT sebagai cadangan. Artinya, Pasal 344 Ayat (2) itu tidak menyebutkan pencetakan surat suara dengan memperhitungkan DPTb. Pertanyaannya, surat suara untuk DPTb diambilkan dari mana? Sebab, UU juga mengatur surat suara itu harus ada di TPS.
Terlepas dari apa pun nantinya putusan MK, menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, KPU selaku penyelenggara pemilu diberi mandat konstitusi untuk menjamin hak pilih rakyat. KPU perlu berani dan percaya diri mengambil tanggung jawab tersebut. Upaya teknis atau upaya terobosan untuk menjamin para pemilih agar tetap bisa memilih sesuai hak yang dijamin konstitusi mesti disiapkan oleh KPU.
”Terjaminnya hak pilih rakyat menjadi pertaruhan bagi integritas pemilu,” katanya.
(RINI KUSTIASIH)